Oleh: Denni Pinontoan
Dosen Fakultas Teologi UKIT Tomohon
Aktif di Mawale Movement
Tanggal 17 Agustus tahun 2010 ini, Indonesia genap berusia 65 tahun. Artinya, sekali lagi, rakyat di negara ini merayakan dan memperingati hari kemerdekaan negaranya. Tanggal 17 Agustus 1945, atas nama rakyat Indonesia Soekarno dan Hatta menyatakan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
“Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harusdihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan,”demikian bunyi paragraf pertama Pembukaan UUD 1945.
Sebuah penegasan, bahwa perihal kemerdekaan itu adalah hak. Kemerdekaan, yaitu bebas dari penjajahan adalah sesuatu yang hakiki, dasar dari sebuah kehidupan. Makanya, kondisi terjajah, adalah sesuatu yang tidak bisa diterima karena dia melanggar hak.
Kemerdekaan Indonesia yang dimaksud, ditegaskan oleh para pendiri negara ini dengan paragraf berikutnya dalam pembukaan itu. “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailahkepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
Ada kata-kata “merdeka”, “bersatu”, “berdaulat”, “adil” dan “makmur.” Kata-kata yang memang sengaja dipilih untuk menegaskan bahwa Indonesia yang merdeka ini mestinya dan harus berbeda dengan situasi terjajah, yang “terjajah”, “tercerai berai”, “tidak berdaulat”, “tidak adil”, dan “melarat” atau “menderita”.
Kondisi yang merdeka, adil, makmur dan lain sebagainya itu, sebenarnya itulah visi dari Indonesia merdeka. Sehingga dalam sidang BPUPKI, Soekarno sempat mengatakan bahwa tujuan dari perjuangan pergerakan kemerdekaan, tidaklah hanya sampai di penyataan Indonesia merdeka, tapi justru perjuangan lebih berat barangkali ada di seberang atau sesudah itu. “Kemerdekaan adalah jembatan emas,” kata Soekarno.
“Jembatan emas” itu telah ada. Tapi, harapan keadilan, dan kemakmuran diseberang jembatan itu belum sepenuhnya dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia di 65 tahun negaranya merdeka. Diskriminasi masih terjadi di mana-mana. Penggusuran, kemiskinan, korupsi dan berbagai persoalan lainnya, masih merupakan fakta yang dapat dilihat secara kasat mata di negeri beribu-ribu pulau ini.
Simak saja hasil survey The Wahid Institute yang menemukan adanya 232 pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama sepanjang tahun 2008 di Indonesia. Di tahun 2007, berdasarkan laporan Setara Institute, jumlah pelanggaran kebebasan beragama sebanyak 137 kasus, dan ini merupakan peningkatannya yang fantastis. Hasil riset Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi (Demos) menyimpulkan bahwa situasi kebebasan sipil pada umumnya sedang mengalami kemerosotan selama tiga tahun terakhir ini.
Kekerasan berbasis agama, dalam pemantauan The Wahid Institute selama tahun 2008, disimpulkan sebagai ancaman yang sangat serius bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Bagaimana tidak, kasus-kasus kekerasan tersebut begitu nyata dipertontonkan dan terus digunakan oleh kelompok orang yang tidak menginginkan semangat toleransi di masyarakat tumbuh dengan baik. Dan kelompok pelaku kekerasan ini tidak saja dalam wujud masyarakat sipil, tetapi juga dalam wujud negara karena ketidakmampuannya mencegah dan menindak pelaku kekerasan sehingga terjadi pembiaran yang terus-menerus. Mereka tidak saja melakukan kekerasan fisik yang berakibat kerugian materil tetapi juga dalam bentuk kekerasan psikis yang menimbulkan trauma dan ketakutan bagi para korban.
Diskriminasi terhadap kelompok agama dan hak-hak sipil, hampir setiap hari terjadi. Diskriminasi itu hadir dalam beragam bentuk, misalnya penutupan gereja, penyesatan individu atau kelompok agama, kekerasan terhadap agama atau kelompok agama dan kepercayaan tertentu, dan pembedaan status sosial dan politik pada suku dan ras-ras minoritas. Korbannya, kebanyakan adalah kelompok minoritas.
Fakta-fakta tersebut akhirnya mengajak kita, rakyat Indonesia untuk merenung dan mengevaluasi kembali makna kemerdekaan Indonesia, arti “jembatan emas” itu. Siapa dan apa yang salah? Apakah agama atau budaya kita? Atau, jangan-jangan akarnya adalah pembangunan “jembatan emas” itu, yang di masa-masa awalnya telah tergambar jelas, betapa yang berbeda itu berada dalam ketegangan.
Dan ketegangan itu, lebih parah ketika proyek membangun negara didasarkan pada cita-cita “homogenisasi”, penyatuan, penunggalan, penyeragaman yang konsekuensinya harus melewati pemberangusan keragaman. Dalam proses itu, nasib kaum minoritas di republik merdeka ini, selalu menjadi korban.