[Semarang –elsaonline.com] Ketika almarhum mantan Presiden Soeharto masih terbaring sakit di Rumah Sakiat Pertamina Pusat (RSPP) Jakarta, beberapa desa di sekitar Jawa Tengah –terlebih di Karanganyar dan Solo- melakukan ‘ruwatan’ untuk kepulihan mantan penguasa Orde Baru itu. Dengan menyelenggarakan ‘ruwatan’, masyarakat berharap Tuhan memberikan ‘kebaikan’ bagi Soeharto karena diyakini ‘acara kejawen’ itu mampu memberikan dukungan spiritual bagi Presiden RI ke-2 itu.
Bagi masyarakat Jawa, ritual ‘ruwatan’ diyakini mampu menetralisir anasir ghaib yang bersemayam dalam diri seseorang. Secara praktik, ritual ‘ruwatan’ dilakukan oleh masyarakat Jawa ketika ada seseorang mengalami ‘kesusahan’ atau mengalami sesuatu yang ‘tidak biasa’. Keyakinan ini tumbuh secara turun temurun dalam benak masyarakat Jawa dari nenek moyang mereka.
Ritual ‘ruwatan’ sendiri sebenarnya merupakan praktik keyakinan Kejawen. Antara Jawa dan Kejawen tentu tidaklah dapat dipisahkan. Kejawen boleh jadi merupakan kulit luar dari ajaran-ajaran yang berkembang di Tanah Jawa, semasa Hindhuisme dan Budhisme. Ketika Islam menyebar di tanah Jawa maka aspek-aspek ini tidak kemudian ditanggalkan, tetapi diakulturasikan sebagai langkah efektifitas penyebaran Islam sebagaimana yang dilakukan oleh Walisongo.
Maka yang terjadi kemudian adalah, unsur-unsur Islam dibenamkan dalam budaya-budaya Jawa seperti lagu-lagu, “ular-ular,” pertunjukan seni, babad, dan ritual-ritual Kejawen lainnya. Oleh Clifford Geertz, kelompok ini dikategorikan sebagai abangan, atau jika yang telah memeluk Islam kita kenal Islam abangan.
Hingga saat ini, aliran Kejawen masih banyak diikuti oleh masyarakat di Jawa, khususnya Jawa Tengah. Namun sebagai ‘agama lokal’, penganut Kejawen terkendala aspek administratif kependudukan. Sehingga kebanyakan dari mereka menganut dari 6 agama resmi yang diakui oleh pemerintah. Namun secara kepercayaan, kita harus mengakui, bahwa masyarakat Jawa –termasuk Jawa Tengah- masih memegang teguh ritual-ritual itu; entah yang murni ataupun yang telah berakulturasi dengan agama-agama lain.
Secara definitif, ‘agama lokal’ (local religion) sebenarnya tidak dikenal. Ini sebagai akibat legislasi pemerintah kita yang menyebutnya sebagai aliran kepercayaan sebagaimana Rancangan GBHN yang diajukan oleh pemerintah pada tahun 1977. Namun belakangan istilah aliran kepercayaan disebut-sebut sebagai nama lain dari aliran kebatinan yang juga banyak berkembang di Jawa Tengah ini.
Selain Kejawen, kepercayaan lain yang memiliki banyak pengikut adalah Samin. Telah banyak literatur yang membahas mengenai kepercayaan lokal ini. Orang Samin tidak dikenal membeda-bedakan agama, karena yang terpenting bagi mereka adalah tabiat manusia di dalam hidupnya. Sama halnya dengan Kejawen, orang Samin juga masih ada yang ‘murni’ tetapi tidak sedikit pula yang berakulturasi dengan agama-agama lain meskipun secara ritualitas masih melakukan.
Karena oleh pendukungnya Samin dianggap sebagai ‘agama’, maka mereka juga memiliki kitab suci. “Kitab suci” itu adalah Serat Jamus Kalimasada yang terdiri atas beberapa buku, antara lain Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, Serat Lampahing Urip, dan merupakan nama-nama kitab yang amat populer dan dimuliakan oleh orang Samin.
Di Jawa Tengah, komunitas Samin hidup di beberapa daerah seperti Blora, Kudus, Pati dan Rembang. Orang-orang Samin sendiri kurang ‘sreg’ dengan sebutan ‘wong Samin’ karena seringkali diasosiasikan sebagai kelompok perlawanan yang tidak mau tunduk kepada pemerintah, seperti yang dilakukan oleh Samin Surosentiko (1859-1914), sang pendirinya. Mereka lebih senang dikenal sebagai ‘wong sikep’ yang berarti orang yang bertanggungjawab, baik dan jujur (Titi Mumfangati, dkk., Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah, 2004).
Diskriminasi
Sebagaimana yang terjadi secara umum, kelompok-kelompok minoritas keagamaan selalu mendapatkan perlakukan yang ‘tidak semestinya’. Perlakuan diskriminatif ini akan terjadi ketika kelompok seperti Kejawen maupun Samin melakukan prosesi administrasi pemerintahan, seperti pembuatan KTP, akta Kelahiran, Pernikahan, dan sebagainya.
Karena posisi agama-agama lokal ini tidak diakui secara resmi oleh pemerintah, maka yang terjadi adalah negative image dari masyarakat agama lain yang mayoritas. Di Jawa Tengah, kelompok-kelompok semacam ini kurang bisa melakukan sosialisasi diri secara luas karena terbentur dengan keyakinan mereka sendiri. Agama-agama lokal ini memiliki kecenderungan ‘tertutup’ –untuk tidak mengatakan terisolir- dari masyarakat luas dan memilih beradaptasi secara terus-menerus dengan komunitasnya sendiri. Demikian pula dengan praktik-praktik keagamaan maupun peribadatan mereka lebih banyak dilakukan secara terutup.
Cara lain untuk menghindari kesulitan administrasi itu biasanya penganut agama-agama lokal ini ikut ‘bergabung’ dengan agama-agama resmi pemerintah meskipun secara keyakinan dan praktik tidak sama sekali. Langkah ini biasa ditempuh untuk mempermudah jalannya administrasi, karena jika tidak, para penganut agama lokal ini tidak dilayani, seperti dalam pembuatan KTP dan pernikahan.
Karena itulah, penting kiranya pemerintah –dari pusat hingga daerah (di Jawa Tengah)- merumuskan satu regulasi yang memberikan ‘suara’ bagi masyarakat penganut agama-agama lokal di negeri ini. Di sisi lain, di era otonomi daerah seperti sekarang ini, pemerintah Jawa Tengah sangat memungkinkan untuk memulainya; memberikan perlakukan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap penganut agama-agama lokal di Jawa Tengah. Semoga [elsa0l/Najib]