
Oleh: Sumanto Al Qurtuby
Saya ingin mengawali tulisan ini dengan mengisahkan pengalaman saya sewaktu studi master di Center for Justice and Peacebuilding, Eastern Mennonite University, Harrisonburg, Virginia (Amerika Serikat), beberapa tahun silam.
Untuk mendapatkan gelar Master of Arts di bidang “conflict transformation and peace studies”, waktu itu saya melakukan “praktikum penelitian” (research practicum) tentang kemungkinan mendirikan Center for the Studies in the Abrahamic Traditions di kampus Mennonite itu. Tugas saya waktu itu adalah melakukan survei di Internet tentang lembaga antar-iman, baik yang berorientasi pada kajian-kajian akademik-ilmiah di kampus-kampus Amerika, atau lembaga antar-agama berbasis aktifisme diluar kampus. Saya juga menggali informasi sebanyak-banyaknya dari para praktisi dialog agama, aktivis lintas-budaya, akademisi, sarjana dan tokoh agama baik dari kalangan Islam, Yahudi maupun Kristen, tentang perlu-tidaknya mendirikan lembaga antar-iman itu, dan jika perlu, lalu apa saja yang harus menjadi prioritas program kerja lembaga tadi.
Selain itu saya juga diminta oleh pembimbing praktikum riset, Dr. Dave Brubaker, untuk menjajagi respons dari “kalangan dalam” Mennonite sendiri tentang baik dan tidaknya membangun dialog dengan komunitas agama diluar Mennonite, termasuk dengan komunitas Protestan dan Katolik. Penjajagan ini penting mengingat Mennonite sebagai komunitas Kristen yang beraliran Anabaptis yang sangat konservatif dalam berteologi belum tentu menerima proposal pendirian pusat studi Agama Semit ini.
***
Penting untuk diketahui bahwa, di kampus-kampus Amerika, tradisi dialog akademik antar-agama khususnya dalam lingkungan “agama Semit” (Yahudi, Kristen, dan Islam) merupakan hal baru. Kampus-kampus di Amerika yang mempunyai pusat studi agama-agama Semit juga tergolong baru. Bahkan buku-buku ilmiah atau karya akademik yang membahas aspek-aspek keagamaan agama Semit (historisitasnya, kulturnya, ajarannya, dan seterusnya) dari sudut pandang yang positif dan berimbang juga bisa dikatakan sebuah fenomena baru di Barat dan Amerika khususnya.
Ada memang beberapa kampus di Barat yang menggaji profesor dari luar Kristen atau Yahudi, tetapi mereka dulu jarang melakukan kolaborasi ilmiah untuk menulis atau meriset aspek-aspek keagaman tertentu secara bersama-sama dengan pendekatan ilmiah dan tujuan yang positif. Pada umumnya kalaupun ada studi komparatif dilakukan untuk mengunggulkan agamanya dan merendahkan kualitas dan otentisitas agama lain. Jadi studi komparasi agama dilakukan dalam bingkai “subordinasi” dan semangat “untuk menundukkan” agama lain, bukan dalam kerangka “koordinasi” dan spirit untuk mengetahui keunikan dan keberbedaan agama lain.
Pula, ada sejumlah orientalis Barat senior ataupun “komentator Islam,” baik Yahudi, Kristen, agnostik dan lainnya, yang mendedikasikan sepanjang hayatnya untuk kajian-kajian keislaman sebut saja William Muir, Robert Spencer, Arthur Jeffrey, John Wansbrough, David Margoliouth, Abraham Geiger, Daniel Pipes, atau Bernard Lewis, untuk menyebut beberapa nama, akan tetapi pendekatan yang mereka lakukan pada umumnya kurang simpatik, bias, serta cenderung mendeskriditkan Islam dan kaum Muslim sehingga memantik emosi publik Muslim. Para orientalis Barat ini pada umumnya menggunakan data-data kesejarahan kekerasan Islam sejak era Nabi Muhammad terhadap komunitas Yahudi maupun Kristen sebagai basis membangun argumen bahwa Islam adalah agama yang secara inheren anti-Yahudi dan Nasrani.
Memang seperti ditulis para penulis awal biografi Nabi Muhammad seperti Ibnu Ishaq (w. 768), Ibnu Hisyam (w. 833), Al-Baladhuri (w. 892) dan yang paling fenomenal Al-Tabari (w. 922), Nabi Muhammad dan umat Islam pernah melakukan penyerangan terhadap orang-orang Yahudi dari Bani Qurayza di Madinah yang menyebabkan ratusan warga Yahudi terbunuh. Oleh orientalis Heinrich Graetz, kasus Bani Qurayza ini dianggap sebagai “bukti otentik” bahwa Islam adalah agama yang mengsponsori praktek genocide—sebuah istilah yang diciptakan oleh Raphael Lemkin yang belakangan berarti “kejahatan terhadap kemanusiaan”—sekaligus merefleksikan “Islam’s inherently anti-Jewish sentiment.” Dalam buku Muhammad and Its Conquests of Islam, Francesco Gabrieli juga menyatakan bahwa kasus Bani Qurayza tadi sebagai bukti bahwa Islam “tidak cocok bagi umat Kristen dan manusia beradab lain di muka bumi”.
Harus diakui memang Islam memiliki sisi “sejarah gelap” kekerasan terhadap Yahudi maupun Nasrani. Kekerasan terhadap bangsa Yahudi ini tidak hanya ditunjukkan dalam tragedi Bani Qurayza tadi tetapi juga dalam beberapa kasus lain, misalnya, pembunuhan terhadap sejumlah pentolan Arab-Yahudi (sebut saja Ibnu Abdul Huqaiq, Yusair, dan Ka’ab Bin Ashraf) serta pelarangan suku Yahudi dari Bani Nadir. Perang terhadap kaum Nasrani juga dilakukan oleh kaum Muslim sejak masa-masa awal kekhalifahan Islam. Meski demikian perlu dicatat bahwa kekerasan bukan monopoli Islam saja. Hampir semua agama di dunia ini—baik agama-agama yang lahir di kawasan “Near Eastern” maupun di India, China, Jepang, maupun”agama-agama suku”—tidak ada yang bersih dari konflik dan kekerasan.
Selain itu, disamping sisi-sisi gelap ini, agama juga memiliki “sisi terang” dan positif. Inilah yang sering dilupakan oleh orang. Meminjam istilah antropolog Cliff Geertz, selain berisi “sumber makna dan kebijakan”, agama juga bisa menjadi “sumber konflik dan kekerasan”. Senada dengan Geertz, President United States Institute of Peace Richard Solomon dalam pengantar buku Interfaith Dialogue and Peacebuilding dengan tepat menulis, “While religion can and does contribute to violent conflict, it also can be a powerful factor in the struggle for peace and reconciliation.” Inilah salah satu bentuk ambivalensi agama yang harus disadari masing-masing umat beragama ketika hendak membangun “dialog agama-agama” sebagaimana saya singgung di belakang nanti.
Pendekatan yang cukup simpatik terhadap kasus Bani Qurayza di atas dilakukan oleh Karen Armstrong dalam karyanya Muhammad, sebuah buku tentang biografi Nabi Muhammad, dan Norman Stillman dalam The Jews of Arab Lands. Keduanya berargumen bahwa kasus kekerasan terhadap etnis Yahudi itu harus dipandang dalam konteks sejarah sosial-politik waktu itu bukan dalam konteks doktrinal. Artinya, perang Islam-Yahudi pada waktu itu lebih karena dorongan aliansi politik-ekonomi ketimbang perdebatan teologi. Jelasnya, seperti dipaparkan sarjana Muslim Amerika-Iran Reza Aslan dalam bukunya No god but God, tragedi Bani Qurayza itu dipicu oleh “tribal partnerships and tax-free markets, not religious zeal”.
Sejarah memang memiliki banyak wajah dan tafsir. Sayangnya masih banyak para sarjana dan tokoh agama yang hanya bergairah mereproduksi “sisi gelap” agama ketimbang “sisi terang”-nya. Sejarah positif Islam khususnya yang berkaitan dengan perjumpaan dengan Yahudi atau Kristen yang berlangsung secara damai ini misalnya dipaparkan oleh Profesor Mahmoud Ayoub, yang ahli tentang agama Islam, Kristen, dan Yahudi (dulu menjadi profesor di Temple University sekarang pindah ke Michigan). Ia menjelaskan bahwa agama Kristen sampai ke Arab melalui jalur riwayat St. Paul (Rasul Paulus) ketika dia untuk pertama kali mendarat di padang pasir timur Sungai Jordan. Dari gurun Syria, agama Kristen kemudian masuk ke Selatan Arab melalui peranan para pendeta nomaden. Dari sinilah agama Kristen kemudian sampai ke Arab Utara (termasuk Mekkah dan Madinah) di mana agama ini berperan membantu mempersiapkan dasar-dasar moral dan spiritual Islam.
Profesor Ayoub lebih lanjut menjelaskan bahwa nilai-nilai spiritual dan moral Kristen Timur (misalnya, Syrian Orthodox Churches) telah mempengaruhi dasar-dasar atau basis spiritual dan moral agama Islam. Ketika Nabi Muhammad bersabda: “Saya merasakan nafs al-rahman dari Yaman,” yang dimaksud dengan “nafs al-rahman” itu adalah “ruh suci Tuhan” atau Jesus Kristus (Ayoub 2004, 313-319). Alqur’an juga menyatakan secara jelas bahwa,”…diantara mereka (kaum Nasrani) terdapat para rahib yang sederhana dan pendeta yang terdidik, dan sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri,” (Q.5:82). Para pendeta dan rahib yang disebut Alqur’an itu jelas merujuk pada kaum evangelis Kristen awal di semenanjung Arab. Tidak hanya di Arab dan Timur Tengah, para murid Jesus juga menyebarkan ajaran Jesus sampai ke Abyssinia (sekarang Ethiopia). Kita masih ingat dalam buku-buku sejarah Islam misalnya dikisahkan bahwa pada suatu saat Nabi Muhammad karena dikejar-kejar mau dibunuh oleh kaum kafir Quraisy, beliau kemudian menyelamatkan diri ke Abyssinia dan disana ia dilindungi oleh seorang pendeta Kristen bernama Negus atas Najasi.
Perjumpaan damai Nabi Muhammad dengan para rabbi Yahudi juga sudah mafhum dalam berbagai literatur keislaman. Bahkan banyak dari guru-guru Nabi Muhammad adalah para rabbi Yahudi sendiri sehingga tidak mengherankan jika kemudian Al-Qur’an banyak memuat aspek-aspek Judaisme. Peperangan dengan Bani Qurayza di atas itu terjadi karena sejumlah elit faksi Yahudi telah melakukan pelanggaran terhadap Perjanjian Hudaibiyah yang diteken antara Nabi Muhammad dan kaum Yahudi Madinah. Jika tidak ada pelanggaran, sudah dipastikan hubungan mereka akan baik-baik saja seperti terjadi sebelum “Perang Qurayza” itu. Bukti Nabi Muhammad tidak memiliki dendam kesumat terhadap Kristen maupun Yahudi adalah ketika beliau berhasil menaklukkan Makkah yang merupakan pusat ekonomi-politik Jazirah Arab waktu itu, ia tidak memerintahkan untuk membumihanguskan warga Yahudi dan Nasrani disana. Ia bahkan meminta para sahabat dan umat Islam untuk melindungi hak-hak keagamaan mereka. Ketika memasuki Ka’bah, Nabi Muhammad juga melarang umat Islam untuk mencabut simbol-simbol Kristen dan Yahudi.
Kisah dan apresiasi Nabi Muhammad dan Al-Qur’an yang positif terhadap ajaran dan umat Kristen dan Yahudi ini jarang diekspose ke permukaan. Orang lebih bergairah mereproduksi teks, wacana, dan sejarah kekerasan ketimbang eks, wacana, dan sejarah perdamaian perjumpaan Islam-Kristen-Yahudi sehingga yang tampak seolah-olah Islam ini “dari sono”-nya (inherently) anti Kristen dan Yahudi seperti didengungkan oleh kaum “unfriendly orientalists” tadi. Padahal jika teks dan sejarah perjumpaan agama Islam-Kristen-Yahudi yang berlangsung secara damai ini bisa dijadikan sebagai basis teologis-kultural untuk membangun “jembatan perdamaian dan pluralisme” di antara umat agama Semit ini yang sering terlibat pertikaian.
Tradisi akademik Barat yang lambat dalam merespons dialog agama-agama, khususnya agama Semit—baik dalam bentuk pendirian pusat-pusat studi keagamaan yang melibatkan berbagai agama maupun penulisan sejarah keagamaan dari sudut pandang yang empatik—seperti saya paparkan di awal paragraf ini diakibatkan karena dunia akademik Barat mewarisi “tradisi renaissance” Eropa yang menempatkan superioritas Kristen dan inferioritas Islam. Dalam lingkungan akademik Barat waktu itu, Islam dipandang tidak layak untuk dijadikan sebagai obyek kajian ilmiah karena wataknya yang terbelakang dan uncivil (baca, tidak berperadaban).
Selain itu, hubungan agama-agama khususnya antar-agama Semit masih diselimuti saling curiga dan penuh dendam kesumat sebagai imbas dari berbagai peperangan Islam-Kristen di Timur Tengah, Eropa, dan Asia maupun berbagai kampanye anti-Yahudi di berbagai belahan dunia. Faktor lain yang turut mempengaruhi dunia akademik Barat yang tidak bergairah mendiskusikan masalah keagamaan adalah tradisi sekularisme-modernisme yang telah menempatkan agama di nomor sekian. Sejak 1950-an, para teoretisi modernisme dan sekularisme memandang agama sebagai “biang kerok” kekerasan dan kehancuran peradaban dunia, dan karena itu mereka meramalkan akan terjadi “kebangkrutan agama” dan tersingkirnya agama dari panggung publik seiring dengan jenuh dan muaknya manusia terhadap agama serta aktor dan institusi-institusi keagamaan. Sejarah hubungan Islam-Kristen-Yahudi masa lalu yang begitu kelam itu telah membentuk semacam “memoria passionis” (ingatan penderitaan) dalam diri pemeluk agama Semit ini sehingga menciptakan watak dan sikap saling mencurigai satu sama lain.
***
Sangat menarik untuk disimak bahwa dalam American Academy of Religion (AAR) yang merupakan forum tertinggi akademik bagi para ahli agama sendiri baru pada tahun 1979 dilakukan untuk pertama kalinya pertemuan para sarjana Muslim, Kristen, dan Yahudi dalam satu forum. Inisiator “pertemuan historis” Muslim-Kristen-Yahudi yang disebut-sebut sebagai “a very unusual meeting” (pertemuan luarbiasa) itu adalah Ismail Raji’ Al-Faruqi (1921-1986), seorang sarjana Muslim ternama Amerika kelahiran Palestina dan pendiri International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang berbasis di Herndon, Virginia. Pada waktu konferensi AAR itu, ia mengundang para profesor Yahudi, Kristen, dan Muslim untuk berbicara, berdialog, dan berbincang satu sama sama lain tentang keagamaan mereka dalam satu forum yang disebut “Inter-Religious Peace Colloquium” yang belakang berganti nama menjadi Muslim-Jewish-Christian Conference.
Hasil dari dialog dan perbincangan akademik itu kemudian dibukukan dan diedit oleh Al-Faruqi sendiri dengan judul Trialogue of the Abrahamic Faiths. Buku ini saya kira merupakan embrio dari karya-karya akademik berikutnya yang mengkaji masalah tradisi keagamaan Islam-Kristen-Yahudi secara simpatik dan fair. Sejak itu, khususnya akhir 1980-an atau awal 1990-an kemudian lahir kajian-kajian akademik yang mengulas Islam-Kristen-Yahudi secara imbang dan ilmiah. Sebut saja Professor F.E. Peters dari New York University menulis Judaism, Christianity and Islam dari perspektif sejarah-sosiologis. Ia juga menulis sebuah buku yang sangat baik tentang Islam dengan judul Islam: A Guide for Jews and Christians.
Kemudian pada tahun 1994, Karen Armstrong menulis buku fenomenal: A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam yang mengubah image tentang Islam di Barat. Oleh umat Islam di Barat, Karen Armstrong ini sering dianggap sebagai “juru penyelamat” karena karya-karyanya (antara lain, Muhammad, A Short History of Islam, The Battle for God dan masih banyak lagi) yang sangat simpatik dan balanced dalam mengkaji tradisi, kebudayaan, dan sejarah keislaman yang turut memberi kontribusi positif bagi kajian keislaman di Barat.
Pada tahun 1997 terbit lagi sebuah buku komparatif yang sangat menarik untuk disimak: Jews, Christians, Muslims: A Comparative Introduction to Monotheistic Religions. Buku ini ditulis oleh John Corrigan, Fredercik M Denny, Martin Jaffee dan Carlos Eire. Karya-karya komparatif tentang agama Semit lain kebanyakan terbit pada 2000-an. Sebut saja The Ornament of the World: How Muslims, Jews, and Christians Created a Culture of Tolerance in Medieval Spain karya Maria Rosa Menocal. Kemudian Children of Abraham-nya Reuven Firestone atau A God Divided: Understanding the Differences between Islam, Christianity and Judaism yang ditulis Chris Catherwood. Buku komparatif lain yang cukup menarik adalah yang ditulis oleh Zachary Karabell, Peace Be Upon You: Fourteen Centuries of Muslim, Christian, and Jewish Coexistence.
Sebagaimana kesadaran untuk menulis comparative studies (dari sudut pandang yang positif) tentang Islam-Kristen-Yahudi yang datang terlambat, pusat-pusat kajian yang menggabungkan agama Semit baik di dunia kampus maupun non-kampus di Barat juga hadir belakangan. Itupun dalam jumlah yang sangat terbatas. Di antara segelintir kampus di Amerika yang mempunyai lembaga atau pusat studi yang menggabungkan agama Semit adalah Harvard University (the Abraham Path Initiative), University of Virginia (the Children of Abraham Institute), University of Wisconsin (the Lubar Institute for the Study of the Abrahamic Religions), dan Harford Seminary (Building Abrahamic Partnerships).
Menarik juga untuk dicatat bahwa meskipun terdapat sejumlah lembaga atau pusat studi Kristen-Yahudi (misalnya di Sacred Heart University) atau Muslim-Kristen (misalnya di Georgetown University), tetapi sejauh yang saya amati tidak ada lembaga kajian Muslim-Yahudi. Padahal jika dikaji secara lebih cermat Yahudi dan Islam memiliki banyak persamaan ketimbang Islam-Kristen, dalam hal sistem teologi maupun tradisi keagamaan. Banyak tradisi dan ajaran-ajaran Islam misalnya yang diambil atau diadaptasi dari tradisi dan doktrin agama Yahudi atau Judaisme ini (meskipun juga ada beberapa aspek keislaman—seperti tercermin dalam Al-Qur’an—yang diserap dari ajaran keagamaan “Kristen Timur”).
Respons publik Amerika yang cukup antusias untuk membangun dialog antar-agama Semit baru terjadi setelah peristiwa pengeboman Pentagon dan Word Trade Center yang dikenal dengan “Tragedi Sebelas September” itu. Peristiwa pengeboman yang konon direncanakan dan dilakukan oleh jaringan Osama Bin Laden dan Al-Qaidah-nya itu telah menimbulkan respons pro-kontra di kalangan masyarakat Barat. Ada yang menanggapi secara negatif, ada pula yang merespons secara positif. Bagi yang negatif, mereka mengaggap peristiwa tragis “Sebelas September” sebagai bukti “terorisme Islam” dan ketidaksimpatikan agama ini terhadap Barat (baca, Kristen dan Yahudi). Sementara bagi mereka yang “berhati lebar” menganggap peristiwa naas itu justru sebagai buah kebijakan politik luar negeri Amerika yang sering kali menyakiti umat Islam.
Tidak hanya itu, bagi mereka yang berpikiran positif ini, mereka kemudian menggalang pentingnya “dialog antar-peradaban” yang lebih konstruktif dengan Muslim. Tidak seperti kelompok yang merepons secara negatif dan reaksioner terhadap kasus pengeboman dan terorisme itu yang mereka lampiaskan dengan dukungan terhadap (mantan) Presiden George Bush untuk menggempur Iraq dan Afghanistan dan menangkap “kaum teroris” (Muslim), kelompok pro-perdamaian memilih jalan membangun dialog dengan kaum Muslim (di Amerika khususnya) guna mewujudkan kehidupan harmoni Islam-Kristen (dan Yahudi).
Almamater saya waktu itu, Eastern Mennonite University, termasuk yang merespons secara positif atas tragedi 11 September 2001 itu, oleh karenanya mereka mendorong pentingnya membentuk Center for the Studies in the Abrahamic Traditions seperti saya sebutkan di awal paragraf ini. Ide pembentukan pusat studi dalam lingkup agama Semit ini didasari pada sebuah fakta bahwa Muslim-Kristen-Yahudi dalam sejarah sering terlibat konflik dan kekerasan. Sejarah perkembangan agama Semit ini memang memiliki “track record” buruk dalam hal toleransi agama satu dengan lainnya. Ini tentu sangat mengherankan karena agama-agama yang masih serumpun dan memiliki nenek-moyang yang sama ini (yakni Ibrahim atau Abraham atau Avraham) justru terlibat dalam pertikaian abadi yang kadang susah untuk didamaikan.
Perseteruan sengit Islam-Kristen-Yahudi itu tidak hanya terjadi di Palestina (Hamas vs Yahudi), Lebanon (Syi’ah vs Yahudi), Sudan (Sunni vs Kristen), Mesir (Sunni vs Kristen Koptik), Bosnia (Kristen Ortodoks vs Muslim), Mindanao (Katolik vs Muslim), dan lain-lain tetapi juga sampai di Indonesia, termasuk di Maluku dan Poso serta “kekerasan berbasis agama” lain yang dilakukan kelompok “Islam pentungan.” Apakah konflik itu dimotivasi oleh semata-mata masalah “wordly issues” seperti ekonomi-politik atau ada problem yang lebih mendasar berkaitan dengan masalah teologi-keagamaan yang bersifat “unwordly” perlu kajian serius lebih lanjut.
***
Dalam perbincangan dan wawancara saya dengan sejumlah tokoh Yahudi, Muslim, dan Kristen (Protestan, Katolik, Mennonite, Quaker, dlsb) dihasilkan bahwa mereka sangat mendukung pembentukan Center for the Studies in the Abrahamic Traditions di Eastern Mennonite University guna membangun perdamaian global di masa mendatang, khususnya di antara ketiga agama ini. Sejumlah tokoh penting memberi komentar, dukungan, dan endorsment pembentukan lembaga ini.
Sarjana Yahudi Peter Ochs misalnya menyatakan bahwa pentingnya lembaga itu karena didasarkan pada realitas bahwa dunia saat ini menghadapi konflik dan kekerasan yang sering kali melibatkan ketiga agama Semit ini. Muhammad Abu-Nimer, Direktur Salam Institute of Peace di Washington, D.C. menegaskan pentingnya lembaga antar-agama dan kolaborasi antar-iman bagi masa depan proses peacemaking. Sementara itu tokoh international peacebuilding yang juga profesor di Joan Kroc Institute of International Peace Studies (Universitas Notre Dame), John Paul Lederach, juga menggarisbawahi pentingnya lembaga / pusat studi antar-agama Semit ini bagi proses pembangunan perdamaian antar-agama. “To those who have worked on peacebuilding projects know that inter-religious programs are very crucial,” tegas Lederach yang juga founding father program “transformasi konflik” di Eastern Mennonite University ini. Penegasan pentingnya pendirian lembaga studi agama Semit guna menciptakan “mutual understanding,” “mutual trust and respect”, dan “inter-religious conciliation” antar-pengikut Islam, Yahudi, dan Kristen ini juga dilakukan oleh para praktisi dialog agama, aktivis resolusi konflik, sarjana dan tokoh agama lain yang saya wawancarai waktu itu.
Meski begitu ada sejumlah pihak yang tidak setuju membangun dialog antar-agama ini. Sejumlah kelompok Kristen konservatif menolak membangun dialog antar-agama dan mendirikan pusat studi agama Semit ini karena kekhawatiran akan kehilangan “identitas keagamaan” mereka. Sebagian Mennonite (konservatif) khawatir tradisi dan identitas Anabaptis menjadi luntur seiring dengan proses perjumpaan dengan komunitas agama diluar mereka.
Lebih dari itu, dari perspektif kelompok konservatif Kristen ini, membangun dialog antar-agama serta mendirikan pusat-pusat studi keagamaan dipandang berlawanan dengan semangat evangelisme dan dianggap sebagai “dinding penghalang” atas doktrin-doktrin misionarisme yang sangat fundamental bagi mereka, yakni doktrin yang memuat kewajiban bagi setiap umat Kristen untuk membaptis non-Kristen. Alasan yang kurang lebih sama juga dikemukakan oleh sejumlah kelompok Muslim konservatif yang menganggap dialog antar-agama sebagai penghalang bagi upaya dakwah keislaman yang—menurut mereka—merupakan kewajiban bagi setiap Muslim untuk menyampaikan ayat-ayat dan pesan Ilahi.
Meski mereka berbeda pendapat tetapi perbedaan itu tidak dilampiaskan dalam bentuk aksi-aksi kekerasan seperti umumnya terjadi di Republik Indonesia ini. []