Nabi, Agen Perubahan

Foto: businessdailyafrica.com
Foto: businessdailyafrica.com

Oleh: Tedi Kholiludin

Sebagai suku besar, masyarakat Quraisy sangat berusaha untuk menjaga stabilitas ekonomi maupun politik. Posisi Makkah yang begitu strategis memaksa mereka untuk meminimalisir konflik dengan banyak pihak. Bagi suku yang mulai menetap di Mekkah sejak akhir abad ke 5 itu, eksploitasi terhadap sukunya merupakan ancaman yang akan terus hadir.

Posisi geografis Mekkah yang sangat menguntungkan bisa diilihat karena kota ini menjadi persimpangan di antara dua rute utama perdagangan Jazirah Arab; Hijaz yang memanjang di pantai timur Laut Merah dan menghubungkan Yaman dengan Syria, Palestina dan Transjordan serta Najd yang menghubungkan Yaman dan Irak.

Karen Armstrong, salah satu penulis biografi Nabi Muhammad menunjukan bagaimana caraa masyarakat Quraisy itu memapankan kekuatannya. Salah satu siasat yang ditempuhnya adalah menjalin aliansi dengan suku Badui yang nomad. Suku Badui merupakan tipologi prajurit tahan banting. Setidaknya mereka lebih baik ketimbang Quraisy dalam urusan perang.

Stabilitas keamanan itu cukup untuk menjaga kondusivitas Mekkah, meski bukan berarti tak ada tantangan tentunya. Dua kelompok besar sedang bertarung ketat di wilayah tersebut; Persia dan Byzantium. Quraisy berusaha untuk tidak memihak kepada keduanya. Tapi relasi Quraisy dengan Byzantium mulai memburuk. Itu terjadi kurang lebih di tahun 560an akhir. Kala itu, Arabia Selatan masih merupakan propinsi Abyssinia, sekutu Byzantium.

Gubernur Abyssinia untuk Arab Selatan, Abrahah mulai tidak suka dengan kehidupan Mekkah yang terlihat sejahtera. Abrahah kemudian berpikir untuk menerobos masuk ke Mekkah untuk menguasainya. Catatan penyerangan Abrahah ke Mekkah ini yang kemudian terpatri dalam sejarah umat Islam. Kegagalan Abrahah menaklukan Mekkah diabadikan al-Qur’an dalam surat al-Fiil. Pasukan gajah Abrahah takluk oleh burung-burung (al-fiil) yang menjatuhkan batu kerikil. “Tahun Gajah” inilah yang membuat Suku Badui semakin menghormati wangsa Quraisy.

Baca Juga  Edisi IX: Al-Ghazali Tak Mengkafirkan Filsuf

Kejadian tersebut membuat Quraisy menjadi lebih waspada. Kehidupan ekonomi dijaga agar selalu tetap stabil. Hasilnya, masyarakat Quraisy sangat mapan. Orang Quraisy jadi masyarakat kaya baru. Kehidupan yang jauh lebih baik dibanding ketika mereka hidup secara nomaden. “Uang mulai mendapatkan nilai yang nyaris seperti agama,” tulis Armstrong.

Hidup yang serba mewah ini menjadikan masyarakat Quraisy terjebak pada persaingan individu. Sistem sosial yang individualistik ini terang saja berlawanan dengan etika tradisional masyarakat Quraisy sebelumnya yang begitu mengagungkan komunalitas. Harta yang mereka miliki tidak lagi dibagikan kepada anggota suku atau klan, tetapi dinikmatinya sendiri. Singkat kata, kehidupan sosial masyarakat Quraisy bergeser dari pola komunalisme menjadi materialis-individualistik.

Dalam situasi masyarakat seperti inilah Islam hadir. Jadi Islam hadir di kota besar, bukan desa. Islam hadir dalam lingkungan budaya yang hedonis, materialistik dan sangat kapitalistik. Kehidupan kota-kota besar ini yang sejatinya menjadi latar lahir dan berkembangnya agama-agama dan pikiran-pikiran besar. Rasionalisme Yunani berkembang di kota. Nabi-nabi Yahudi juga berceramah di kota besar. Hal yang sama juga terjadi pada Khonghucu, Buddha, Jainisme dan Hindu yang mendapatkan “tempat” di wilayah ramai.

Dengan begitu, Nabi Muhammad sedang berhadapan dengan masyarakat yang begitu mengagungkan harta dan nyaris kehilangan energi untuk berbagi. Nabi sendiri tidak mengkritik mereka yang mencari harta. Bahkan Nabi Muhammad menganjurkan umatnya untuk mengumpulkan harta.

Situasi yang didapati oleh Nabi adalah masyarakat yang kaya, mewah dan hidup berfoya-foya sementara tetangganya hidup dalam keadaan lapar. Makanya dalam ajaran Islam, zakat ditempatkan sebagai rukun penting kedua setelah shalat. Dari sekian banyak ayat dalam Al Quran, perintah shalat dengan perintah zakat selalu bergandengan. Shalat dan zakat memiliki wilayah yang berkaitan erat. Shalat merupakan media untuk menimbulkan rasa kesetaraan kelas sosial (egalitarianisme, equality), sementara zakat menimbulkan rasa persaudaraan kelas sosial di antara masyarakat, dengan tindakan nyata pihak berkecukupan untuk menyantuni si miskin.

Baca Juga  Sinar Damai di Sudut Kebon Dalem

Nabi Muhammad mengkritik praktek masyarakat Arab yang individualistik itu. Ia menggaungkan perubahan sosial yang nyata. Sebuah landasan yang semangatnya adalah mereduksi nafsu duniawi. Nabi menjadi agen perubahan. Tantangannya, pasti tak ringan. Dilecehkan, dikucilkan, dipandang sebelah mata menjadi konsekuensi dari seruangnya yang revolusioner itu. Kebijakan itu memang tak populis bagi mereka sang pemilik harta dan tahta. Tapi ia begitu disanjung oleh, terutama, kaum papa. Rakyat miskin yang ditindas oleh tirani.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Militansi di Level Mikro dan Tausiah Politik yang tak Berdampak

Oleh: Tedi Kholiludin Ada dua catatan yang menarik untuk dicermati...

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini