Tradisi Grebeg Besar dan Simbol Keberagaman

Oleh: Ceprudin

“Ngenani anane somawono kiprah mekare tsaqofah Hindu ing nusa salaladane, juwajiban poro wali arep alaku tut wuri angiseni. Darapun supoyo sanak-sanak Hindu malah lego-legowo manjing Islam”.

Artinya: Dengan adanya perkembangan ajaran Hindu di pulau wilayah ini, tugas para wali dakwah menyesuaikan adat istiadat setempat sambil mengisi nafas Islam, agar supaya masyarakat Hindu hatinya rela dan tulus ikhlas mengikuti Islam.

–Sunan Bonang—

Di atas adalah hasil keputusan sidang ditulis Sunan Bonang dengan Huruf Arab Gondil, bentuknya notulen singkat. Pada tahun 1938 M, masih tersimpan di dalam mushola Astana Tuban (wisatademak.wordpress.com), (23/10).

Dari hasil keputusan sidang di atas kemudian alternatifnya realisasi para Wali mengadakan sebuah hajatan bersama ketika Idul Adha dengan nama, Grebeg Besar. Adanya Grebeg Besar ini tentu tidak sekonyong-konyong bisa diwujudkan oleh para penyebar agama Islam masa lalau. Terlebih dahulu, para wali mengambil hati orang Jawa dengan mencoba mendekati dari sisi kultur dan tradisi orang-orang Jawa.

Cerita itu tentu bukan cerita ilmiah yang kebenaranya bisa dipastkan. Tapi cerita ini lebih mengarah kepada dongeng atau cerita rakyat. Meskipun demikian, hingga saat ini, tradisi Grebeg Besar terbukti masih lestari. Setiap tahun, acara ini selalu diadakan di beberapa kota di Jawa seperti Demak, Jogjakarta dan Solo.

Gambaran positif untuk melukiskan kegiatan Idul Adha ini tentu selalu kental dengan nuansa tradisi agama Islam. Umat Islam khususnya di Jawa, percaya bahwa dengan mengadakan acara ritual tahunan berupa Grebeg Besar dapat membantu menciptakan keharmonisan antar umat beragama. Semua agama (tanpa terkecuali) bisa merasakan kegembiraan saat menghadiri acara Grebeg Besar.

Bahkan umat Islam di Jawa jauh-jauh hari menjelang Idul Adha sudah melakukan ritus-ritus selain acara Grebeg Besar. Lebih jauh dari itu, seiring dengan perkembangan budaya Jawa aksesoris menjelang Idul Adha juga menggunakan simbol-simbol adat Jawa. Tujuan itu adalah agar pada hari besar Idul Adha dapat dipahami bukan hanya milik umat Islam, melainkan juga semua masyarakat turut merasakanya.

Baca Juga  Mengenal Paguyuban Sedulur Sikep Kudus

Ritus yang tak kalah pentingnya menjelang Idul Adha selain Grebeg Besar adalah nyekar. Nyekar merupakan kegiatan berkunjung ke makam-makam yang dianggap punya kelebihan semasa hidupnya di dunia.  Meskipun ini masih dalam perdebatan, namun umat Muslim di Jawa sebagian besar masih mempercayai bahwa ritus ini akan membawa keselamatan dan keberkahan dunia dan akhirat.

Idul Adha bukan hanya dimaknai hari raya kurban berupa binatang sembelihan. Namun dalam keseharian  ketika menjelang hari raya Idul Adha menurut orang Jawa harus benar-benar ikhlas berkurban dengan cara apa pun di jalan Tuhan dan agamanya secara konfrehensif. Paling sederhana misalkan, warga memulai dengan tradisi bersih lingkungan. Menjelang Idul Adha lingkungan harus bersih dari kotoran sampah dan juga dipahami bersih dari perbuatan abmoral.

 

Makna Pluralisme

Grebeg Besar, karena ritual umat Islam maka barang tentu yang mempunyai hajat adalah para penganut agama Islam. Tradisi yang sudah turun temurun ini merupakan hasil cipta rasa ulama masa lalu. Tugas generasi muda (umat Islam) adalah melestarikan warisan para leluhur tersebut. Untuk tetap bisa menjaga agar tradisi Grebeg Besar tidak usang dimakan waktu, kiranya para penerus tradisi leluhur harus lebih kontekstual dalam melakaukan ritual Grebeg Besar. Seperti halnya pada masa lalau, para perintis ritual Grebeg Besar adalah untuk meraih hati umat Hindu seperti yang tertera dalam keputusan sidang.

Umat Hindu pada masa itu penganutnya mayoritas. Sebaliknya, penganut agama Islam masih sangat sedikit dibanding dengan penganut agama Hindu. Dari itu, para ulama mencoba merintis sebuah ritual yang bisa menyatukan kebutuhan sosial antara ajaran Islam dan ajaran Hundu. Dibuatlah sebuah ritual Grebeg Besar. Dari cerita di atas, nampaknya ulama terdahulu sangat cinta akan perdamaian. Bahkan syiar agama pun (sebagai misi besar kala itu) dilakukan dengan sangat “santun dan elegan”. Mereka menyebarkan ajaran Islam tidak dengan pemaksaan dan kekerasan.

Baca Juga  Sekte, Modernisme dan Multikulturalisme

Namun sebaliknya, para penyebar ajaran Islam di tanah Jawa untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat (yang pada waktu itu mayoritas Hindu) melalui pendekatan hati. Nurani yang digunakan, nukan fisik. Sehingga masyarakat pada masa itu banyak tertarik mengikuti ajaran Islam karena cara penyampaian para ulama yang santun dan elegan tadi. Mereka bersikap indah dan ramah terhadap orang yang belum masuk Islam. Sehingga banyak diantara bangsawan masa itu yang tertarik dan simpati untuk mengikuti ajaran Islam.

Jika demikian, pesona Grebeg Besar saat ini harus lebih kontekstual lagi. Grebeg besar yang dulu dilakukan untuk meraih simpati dari penganut agama Hindu, sekarang pun sejatinya demikian. Namun, saat ini tentu “bukan untuk meraih simpati orang-orang Hindu agar masuk Islam” seperti pada masa lampau. Namun sekarang ini, umat Islam yang masih merayakan tradisi Grebeg Besar harus lebih menekankan untuk menjaga keharmonisan antar pemeluk agama. Tidak hanya antara Islam dan Hindu semata, lebih jauh dari itu, semua agama harus bisa merasakan bahagianya merayakan suatu tradisi umat Islam.

 Generasi pemula Islam di Jawa yang sudah berhasil menyebarkan ajaran Islam harus dirawat oleh gererasinya dengan sebaik-baiknya. Dulu mereka dengan susah payah membangun keharmonisan antar pemeluk agama dan juga terhadap masyarakat yang belum beragama. Keharmonisan yang dulu pernah dibangun oleh para pendahulu umat Islam, jangan sampai dikotori oleh tindakan-tindakan kekerasan atas nama agama oleh generasi umat Islam sekarang ini. Terlebih lagi dengan aksi terorisme.

(Tulisan ini dimuat di Harian Jateng Pos, Senin, 29/10/12)

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini