
[Semarang –elsaonline.com] Jauh sebelum berdirinya bangunan Gereja Gedangan, telah ada rumah yatim piatu. Rumah yatim piatu itu telah didirikan untuk memenuhi suatu kebutuhan yang mendesak. Dalam tahun 1809 dua anak yatim diserahkan kepada PGPM di Semarang.
PGPM menitipkan dua anak itu kepada koster untuk ditampung di rumahnya. PGPM kemudian menyanggupi diri untuk membiayai pendidikan mereka. Tetapi kemuain bertambah lagi anak-anak yang perlu ditampung. Pada tahun 1830 sudah ada 60 anak.
Bak gayung bersambut, pada tahun 1828 PGMP bisa menemukan lokasi khusus untuk anak-anak dengan membeli sebuah rumah besar dengan kebun yang luas. Seabad sebelumnya, dalam tahun 1732, rumah itu didirikan sebagai rumah sakit untuk Kumpeni.
Pembelian bekas rumah sakit itu berhasil dilaksanakan karena usaha Pastoor Scholten, yang menaruh perhatian besar pada anak-anak yatim. Atas dasar usaha pastoor itu juga situasi sandang pangan anak-anak itu bisa diperbaiki. Sedang kehidupan mereka menjadi lebih teratur.
Meskipun demikian, dalam tahun 1834 Residen Semarang memecat PGPM sebagai pengurus rumah yatim piatu, atau lebih enak dinamakan anggota Katolik dan Protestan. Ia malah menunjuk sepasang suami isteri Protestan sebagai pamong anak-anak itu.
Sebab apa dan dengan wewenang apa? Maka dengan keadaan itu segera diprotes di Betawi. Lalau dalam tahun 1838 kepengurusan dikembalikan kepada orang Katolik dan Pastoor Scholten menjadi ketua pengurus. Perkembangan itu terjadi karena usaha Mgr Lijnen Pr yang menjadi pastoor di Gedangan dari 1858 sampai 1882.
Mgr Lijnen menyadari bahwa Gereja di Semarang membutuhkan tenaga-tenaga khusus, bukan hanya untuk mengurus panti asuhan, tetapi juga untuk mendirikan sekolah-sekolah Katolik. Maka dalam tahun 1868 ia pergi ke negeri Belanda untuk mencari tenaga baru.
Setelah usahannya berkali-kali gagal, akhirnya ia pergi ke rumah induk para Suster OSF di Heythuisen dan berhasil membujuk pimpinan mereka untuk mengutus rombongan sebelas suster ke Indonesia di bawah pimpinan Ibu Alphonse. Mereka tiba di Semarang pada 5 Februari 1870 dan mulai menempati komplek panti asuhan.
Bekas rumah sakit itu yang kemudian sekarang masih utuh dan merupakan bagian tertua dari komplek susteran Gedangan. Kemudian sejak tahun 1874 panti asuhan itu dengan resmi diakui sebagai yayasan swasta yang disubsidi oleh pemerintah.
Karya para suster berkembang dengan cepat. Lama kelamaan urusan panti asihan yang untuk anak laki-laki dan perempuan itu malah menjadi beban yang tertlalu berat untuk para suster. Maka Yayasan RK Weeshuis mendirikan panti asuhan baru di Candi Lama (Karangpanas) untuk menampung anak laki-laki.
Pembangunannya dimulai dalam tahun 1912 dan diselesaikan pada 26 September 1915. Kompleks panti asuhan itu meliputi juga gereja Hati Kudus, yang merupakan Gereja Katolik kedua di Semarang dan sejak permulaan merangkap sebagai gereja paroki Karangpanas.
Dengan begitu pada tahun 1998 dibangun gereja baru dan kemudian pastoran baru berada di sebelahnya. Buku paroki Karangpanas mulai pada 13 Juni 1915. Bersykur para Bruder Santo Aloysius (CSA), yang sejak 1862 sudah berkarya di Indonesia, bersedia datang untuk membantu.
Mula-mula mereka mengambil alih pemeliharaan anak-anak laki-laki, ketika masih tinggal di komplek susteran Gedangan. Bagian selatan yang sekarang sudah menjadi kantor Yayasan Kanisius Pusat dan Yadapen. Ketika panti asuhan baru, bernama Santo Vincentius, di Karangpanas sudah selesai, para bruder dengan anak-anak asuhannya pindah ke tempat itu.
Panti asuhan untuk anak putri (kebanyakan keturunan Belanda) asuhan suster di Gedangan masih diteruskan sampai sesudah kemerdekaan dan baru dibubarkan pada tahn 1960. [elsa-ol/Cep-@Ceprudin]
apakah kita bisa mendapatkan data di panti asuhan. karena kami mendengar cerita bahwa kakek buyut (orang belanda) kami menitipkan 2 anak laki nya di panti asuhan pd tahun 1920 an, sampai terpisah dengan adik perempuannya (nenek kami). kami hanya ingin catatan nya saja, karena sekarang tentang ke 2 anak laki2 tersebut sudah kami temukan dengan keturunannya.