Oleh: Tedi Kholiludin
Ludwig Feurbach, bapak ateisme modern meluncurkan tesis bahwa kesadaran manusia tentang Tuhan yang maha segalanya, tidak lain adalah kesadaran akan dirinya sendiri. Tidak ada perbedaan antara kualitas Tuhan dan hakikat dari kehidupan, bahkan, manusia itu sendiri. Ide Feurbach ini mengilhami para penggempur agama lainnya seperti Nietzsche, Freud, Kierkegaard dan Karl Marx. Nietzsche dengan nada tegas mengistirahatkan Tuhan, Requiem Aeternam Deo!
Hujatan terhadap terhadap agama tak berhenti hingga di situ. Marx mengidentifikasi agama sebagai nafas makhluk yang tertindas hati dari dunia yang tak berhati, jiwa dari kebekuan tak bernyawa dan candu masyarakat. J.D.Garcia mendeklarasikan agama sebagai lembaga penindas kemerdekaan dan perusak kesadaran manusia. Nada sinis tentang agama juga diutarakan Solomon Reinarch. Sejenis sopan santun yang mengekang kebebasan kemanusiaan kita, begitu tutur Reinarch tentang agama.
Kritikus agama itu sedemikian skeptis terhadap institusi ini, karena agama adalah sumber dari segala bentuk alienasi (Hegel). Dan bahkan agama itu sendiri adalah produk dari keterasingan seperti diungkapkan Marx.
Kritik terhadap agama, bergerak meluas setelah Renaisans (abad 16) sampai Revolusi Industri (abad 19). Berbagai paham sekuler seperti Humanisme, Kapitalisme, Rasionalisme hingga Ateisme bermunculan. Paham ini bereaksi keras terhadap dominasi Tuhan dalam setiap aktifitas kehidupan manusia. Isme-isme itu hendak menjadikan manusia sebagai ukuran setiap sikap hidup.
Definisi Minimal
Agama, sejauh yang menjadi bahan kajian dalam studi agama-agama didefinisikan mulai dari yang sederhana hingga kompleks. E.B. Tylor menyajikan agama dengan definisi minimal sebagai belief in spiritual Being. Sementara definisi kompleks dituturkan Emile Durkheim sebagai a unified system of belief and practices relative to sacred things, that is to say, things set apart and forbiden – beliefs and practices which unite into one single moral community called a Church, all those who adhere to them.
Baik definisi minimal maupun maksimal, tetap tidak membuat kritikus bergeming. Karena kepercayaan yang terbangun dari sebuah ”kesadaran” religius sungguh-sungguh telah menciptakan kesadaran palsu akan realitas. Untuk membuat pemeluknya taat, agama menghadirkan berbagai hiburan spiritual yang lebih mirip dengan mitos pada zaman dahulu kala. Agama menjanjikan pahala bagi yang sering beramal plus jaminan masuk surga, atau siksa neraka bagi yang berbuat jahat. Tak hanya itu, agama juga menghadirkan kisah heroik para Nabi sang “pahlawan kebajikan” dengan berbagai mukjizatnya.
Tak hanya itu, agama bekerja cukup sistematis dengan menciptakan kurikulum teologis yang mapan. Dengan kurikulum itu, agama membangun fondasi pengetahuan tentang Tuhan, manusia, alam serta konsep eskatologis. Hebatnya itu dilakukan dengan sungguh sistematis dan membuat umat beragama larut dalam teka-teki kehidupan yang disutradarai agama itu.
Kejahatan sistemik yang dilakukan oleh agama, membuat para sekularis itu berpikir untuk mencapai kebahagiaan tanpa agama bahkan tanpa Tuhan. Alasan inilah yang semakin mengukuhkan wacana ateisme dalam timbangan diskursus pemikiran keagamaan yang paling mendapat banyak sorotan. Tentu karena kritik tajamnya terhadap agama dan Tuhan.
Bagi para ateis, kehadiran Tuhan bukanlah suatu hal yang penting untuk dibicarakan, termasuk ketiadaanNya. Kesan itulah yang saya tangkap ketika membaca karya Andre Comte-Sponville, ”Spiritualitas Tanpa Tuhan”. Sebagai seorang ateis, Sponville hendak memberikan argumen yang masuk akal mengenai ketiadaan Tuhan.
Meski ia tidak percaya Tuhan dan skeptis terhadap agama, Sponville bukanlah orang yang tidak butuh spiritualitas. Tetapi spiritualitas yang ia inginkan bukanlah pemenuhan spirit yang berasal dari sesuatu yang lain, baik dari agama maupun Tuhan. Manusia, kata Sponville bisa hidup tanpa agama, tapi ia tidak bisa hidup tanpa komune, ketaatan atau cinta. Bahkan manusia tidak bisa hidup tanpa spiritualitas. Inilah landasan asasi mengapa Sponville tetap menginginkan hidupnya diwarnai spiritualitas.
Spiritualitas menurut Sponville adalah kehidupan dengan ruh. Ruh itu sendiri, dengan meminjam uraiannya Rene Descartes dikatakan Sponville sebagai sesuatu yang berpikir. Ruh itulah yang berpikir, mencecap, mengetahui, merasakan, dan sebagainya. Sesuatu itu dalam pandangan Sponville adalah otak sementara Descartes meyakininya sebagai substansi material.
Saya ingin mengutip agak panjang paparan Sponville yang bisa memperkuat argumen ketiadaan Tuhan (Sponville, 2007: 157-158). ”Ruh bukanlah substansi. Lebih tepatnya ruh merupakan sebuah fungsi, kapasitas, tindakan (tindakan berpikir, berkehendak, berimajinasi, membuat lelucon cerdik…)- dan tindakan ini, setidaknya tidak dapat disangkal karena tidak ada yang dapat dibuktikan keliru tanpanya…Kita adalah makhluk fana yang terbuka terhadap keabadian, dan mahluk relatif yang terbuka pada yang absolut. ”Keterbukaan” ini adalah ruh itu sendiri. Semua agama melibatkan spiritualitas, paling tidak sampai pada titik tertentu. Tetapi tidak semua agama bentuk spiritualitas bersifat keagamaan…Menjadi seorang ateis bukan berarti mengingkari eksistensi yang absolut, melainkan lebih kepada mengingkari aspek transendensinya, spiritualitasnya, dan sifat-sifat yang dimilikinya, yakni mengingkari bahwa yang absolut adalah Tuhan.”
Kebutuhan akan spiritualitas itulah yang kemudian mendorong Sponville menawarkan spiritualitas tanpa Tuhan atau spiritualitas ateis. Kebutuhan akan spirit atau ruh bukanlah kepentingan akan sesuatu yang ada di luar manusia. Tuhan atau agama tidak selalu memberikan spirit. Karena itulah spiritualitas bisa dipenuhi tanpa melibatkan agen eksternal.
Pertanyaannya kemudian, pasca kritik pedas kalangan ateis terhadap agama, bagaimanakah Tuhan dikonseptualisasikan?
Saya hendak menganggukkan kepala tanda setuju terhadap beberapa argumentasi Sponville mengenai bagaimana semestinya Tuhan diasumsikan. Seperti halnya Feurbach, saya kira apa yang kita gambarkan sebagai Tuhan, bukanlah Dia yang ada di atas sana. Manusia adalah Tuhan sekaligus.
Pasca agama, Tuhan tidak lagi selalu hadir sebagai entitas yang abstrak. Ia harus menyatu dan menjadi bagian tak terpisahkan dari komunitas. Kalau kita baca karya Emile Durkheim, “The Elementary Forms of Religious Life”, ada entitas yang ia sebut sebagai the sacred thing. Dan perlu diingat, bahwa sacred thing yang dimaksud Durkheim disitu sama sekali tidak menyinggung Tuhan. Yang sakral, semoga saya tidak salah membaca Durkheim, tidak lain adalah komunitas itu sendiri. Masyarakat adalah sesuatu yang sacral. Dengan totemisme, seperti dalam kasus suku Aborigin, masyarakat memiliki kode-kode moralitas sendiri.
Kode-kode itu dengan sendirinya terbentuk dalam lingkungan mereka. Bukan sesuatu yang dihadirkan dari luar dirinya.
Online games happens to be both a cerebral activity along with a fun experience not merely intended for children but for everybody. Each and every one of us may find at least 1 online game that fascinates us all in some way found on the web. A majority of internet surfers come on the internet to relax and play some remarkable online game to refresh their selves.