Promosi Jilbab dan Pengajian di Parabola

Oleh: Tedi Kholiludin

Saya hendak memulai tulisan ini dengan dua cerita yang saya alami di dua ruang berbeda dengan rentang waktu sekitar 20 tahun-an. Namun, keduanya memiliki benang merah.

***

Hari itu, akhir dari kegiatan orientasi pengenalan siswa baru di sekolah menengah negeri terbaik ketiga se kabupaten. Sekira tahun 1996. Sesaat sebelum kegiatan ditutup, empat orang siswa senior perempuan masuk ke ruangan kelas. Keempatnya berjilbab. Pada tahun-tahun itu, siswa perempuan yang mengenakan jilbab, mungkin bisa dihitung dengan jari. Dari 20 siswa perempuan, hanya satu atau dua orang saja yang berjilbab.

Setelah mengucapkan salam, salah satu diantara empat senior itu kemudian menyampaikan maksudnya, “kami disini bermaksud untuk mempromosikan (pemakaian) jilbab.” Entah karena imbas dari sosialisasi atau sebab yang lain, ketika aktivitas sekolah dimulai seminggu kemudian, sekitar 4 hingga 5 orang penghuni kelas itu menggunakan jilbab.

Tahun 2018, di sebuah ruangan berkumpullah tiga orang berusia 50-an; satu laki-laki dan dua lainnya wanita. Mereka tinggal di pusat kota kategori menengah. Percakapannya agak berat; ihwal Kristenisasi. “Sekarang, orang-orang Kristen mulai banyak di televisi. Gereja-geraja juga banyak,” seorang ibu membuka cerita.

Bapak 4 putra kemudian mengambil kacamata yang ia taruh di atas meja untuk kemudian dikenakannya. “Orang-orang Kristen itu tidak Cuma belajar Agama Kristen, mereka juga mempelajari Islam. Calon-calon pendeta itu belajar Islamologi,” katanya menjelaskan. Rupanya ia seorang sarjana dan mengetahui sedikit soal pendidikan teologi. Ia seorang berlatar pendidikan teknik.

“Makanya, kita perlu terus mengaji untuk memperdalam ilmu agama Islam kita. Toh para ustadz sudah banyak,” ia melanjutkan. Saya menduga ia hendak menyarankan dua wanita di hadapannya itu untuk ikut pengajian di kampung atau pesantren yang ada di sekitar tempat tinggalnya. “Pasang parabola, banyak pengajian di televisi,” sarannya.

Baca Juga  “.... Aku akan Menjadikan Penolong Baginya”

***

Bagi sebagian kelompok, mengajak seseorang untuk hidup sesuai tuntunan agama (yang diyakininya), adalah kewajiban. Levelnya bisa berbeda-beda. Tapi intinya, harus ada upaya untuk mengajak yang lain. Itulah esensi dari apa yang dikenal sebagai dakwah, yakni ajakan, mengajak.

Secara sosiologis, fenomena untuk mengajak seseorang yang berada “di luar” untuk masuk “ke dalam” adalah natural belaka. Mencari teman untuk sama-sama hidup di dalam satu rumah yang sama merupakan sesuatu yang sangat alamiah. Itulah dasar dari aktivitas misi atau dakwah.

Dalam teori marketing, dakwah itu bagian dari “metode pemasaran,” yakni promosi. Tentang siapa yang berdakwah, ada pergeseran disini. Setidaknya hingga tahun 2000-an, Orang-orang yang dipercaya sebagai juru dakwah, penyebar dan pengajar agama adalah mereka yang betul-betul memiliki kapasitas. Namun, era sekarang, sepertinya, siapapun bisa menjadi pendakwah. Artis, figur publik, komedian dan lainnya, bisa melakukan itu dengan cara dan modal pengetahuan yang masing-masing dimilikinya.

Medium pun bergeser. Jika dulu instrumen sebaran agama ada di ruang yang konvensional; pengajian, madrasah, sekolah minggu dan lainnya, kini, titik-titik semakin banyak dijumpai. Mulai dari ruang fisik hingga virtual. Dari sekadar selebaran hingga baligo besar di tengah kota.

Dua narasi yang saya sampaikan di awal tulisan, menggambarkan tentang pergeseran “ruang pemasaran kesalehan” (the space of marketing piety). Kasus pertama menunjukkan bagaimana promosi jilbab itu dilakukan dengan sangat intim; menawarkan secara verbal dan perjumpaan langsung antara subjek dan objek. Target dalam kasus ini sangat terbatas. Mereka yang ada di dalam ruangan sajalah yang mampu menerima pesan.

Kasus kedua terjadi karena soal perkembangan teknologi yang semakin cepat. Bahkan sudah banyak ditemukan model-model dakwah digital yang lebih canggih dari sekadar ceramah-ceramah agama di televisi. Penerima pesan dari model ini jauh lebih besar, karena daya jangkaunya melewati batas-batas teritorial. Mereka terhubung satu dengan lain.

Baca Juga  Empat Tantangan Agama Sipil
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini