
Semarang -elsaonline.com Dari sudut pandang identitas, Kalang, selain sebagai personal identity, juga sekaligus sebagai social identity. Sebagai identitas personal, Kalang dikonstruksi berdasarkan darah keturunan, sebagai sesuatu yang esensialis dan melekat pada dirinya. karenanya tidak bisa ditolak. Sementara, sifat dasar dari identtias sosial, disamping mempunyai dinamika pada sisi internal juga terjadi dialektika dengan lingkungan mereka yang heterogen.
“Konsep budaya yang melekat pada orang Kalang ini membentuk persepsi unik dari orang non Kalang bahwa mereka adalah entitas yang berbeda dengan Jawa,” Abdul Kholiq, peneliti masyarakat Kalang menjelaskan dalam diskusi Dwimingguan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA), Senin (9/4).
Secara umum, orang Kalang dapat dibedakan dalam dua kategori, “Kalang obong” dan “Kalang komplang”. Kalang obong atau juga disebut sebagai Kalang inti adalah orang-orang Kalang yang secara geneologis lahir dari darah kalang dan secara kultural mengikatkan diri pada kepercayaan masyarakat Kalang. “Bisa dikatakan, mereka adalah kalang sejati yang bisa dilihat dari kesetiaannya terhadap ritus yang masih diabadikannya,” terang doktor alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo tersebut.
Sementara Kalang komplang atau kalang luar merupakan istilah yang dikonstruksi oleh orang Kalang sendiri untuk menyebut orang-orang dari keturunan salah satu orang tuanya Kalang, ibu atau bapaknya. Umumnya, anak-anak mereka cenderung mengadaptasikan diri dengan tradisi Jawa, sehingga identitas kekalangannya menjadi luntur.
Tidak ada batasan yang objektif seputar Kalang, dan karenanya satu-satunya cara jalan untuk menentukan apakah seseorang benar-benar Kalang adalah mencari tahu apakah ia mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai Kalang atau diidentifikasi sebagai Kalang oleh orang lain. Menurut orang Kalang, Kalang sebatas “ngetutke getih”, artinya identitas yang dikonstruksi oleh darah keturunan. Orang yang dilahirkan dari darah Kalang, maka otomatis akan menjadi kalang.
Meski berinteraksi dengan dunia luar, atau katakanlah Islam misalnya, proses yang terjadi kemudian menghasilkan Islam Kalang. Ada batas-batas dimana kalang, mana Islamnya.
Apakah Islam Kalang itu sinkretis seperti dalam pandangan Clifford Geertz atau akulturatif seperti gambaran Woodward?
Di Kalang, mereka bisa menemukan Islam yang tidak dihadapkan dengan Kalang. Kalang itu naluri atau darah sementara Islam itu wahyu. Jadi ini seperti bumi dan langit. Langit dan bumi itu bagian yang tidak bisa dipertentangkan. Ilustrasi tersebut bisa dilihat dari ritual 7 hari. Selesai dipimmpin oleh kyai, baru kemudian prosesi obongan sampai subuh. Sehingga, masing-masing memiliki ruang yang berbeda.