Oleh: Tedi Kholiludin
Ada dua istilah yang menggambarkan tentang bagaimana relasi antara individu (dan dalam banyak kasus, juga kelompok) dengan konteks kebudayaan yang terus berubah. Keduanya adalah enkulturasi dan akulturasi. Yang pertama merujuk pada pengertian mengenai individu atau kelompok yang melakukan penyesuaian dengan tata budaya dan lingkungannya. Sementara yang terakhir adalah penggambaran tentang bagaimana individu dan juga kelompok masyarakat tertentu merespon konteks budaya yang berubah. Kita fokuskan untuk menelisik yang terakhir serta strategi-strateginya.
Akulturasi merupakan salah satu bentuk perubahan budaya yang dipicu oleh kontak dengan budaya lain. Tidak mudah untuk menelusuri pangkal dari perubahan tersebut; apakah faktor eksternal atau internal yang lebih dominan.
Secara konseptual, strategi untuk melakukan akulturasi tidak termanifestasi dalam satu langgam. Meminjam analisis Berry et.al (2002), setidaknya ada empat cara dimana strategi akulturasi itu bisa berjalan dalam kelompok non-dominan (kelompok etno-kultural); integrasi, asimilasi, separasi dan marginalisasi. Empat strategi akulturasi juga bisa didapati pada kelompok dominan (kelompok masyarakat yang lebih luas); multikulturalisme, segregasi, “melting pot” dan eksklusi.
Keempat model itu dihasilkan dari dua pertanyaan pokok; (i) apakah ada kehendak yang kuat untuk menjaga warisan, kebudayaan dan identitas mereka? (ii) bagaimanakah preferensi pada konteks relasi serta partisipasi dalam masyarakat etnokultural dan masyarakat yang lebih luas?
Integrasi adalah strategi akulturasi yang dijalankan ketika individu atau kelompok berkeinginan untuk menjaga identitasnya dan disaat yang sama melakukan perjumpaan dan berinteraksi dengan kelompok kebudayaan yang lain. Asimilasi menjadi pilihan dalam proses akulturasi jika interaksi tetap berlangsung namun tidak ada kehendak untuk mempertahankan warisan budaya.
Separasi menjadi pilihan ketika individu atau kelompok hendak mempertahankan budayanya, namun memisahkan diri untuk melakukan interaksi dengan kelompok lain. Sementara, marginalisasi adalah bentuk akulturasi yang diambil oleh kelompok yang memiliki sedikit kemungkinan untuk memelihara kebudayaan karena proses penghilangan paksa misalnya, dan juga hasrat yang sedikit untuk berinteraksi dengan kelompok lain karena eksklusi atau diskriminasi, maka itulah bentuk marginalisasi.
Pada masyarakat yang lebih luas, dengan merujk pada dua pertanyaan pokok yang sama, Berry juga memetakan empat model akulturasi. Multikulturalisme merupakan strategi akomodasi bersama dimana integrasi bisa diterapkan dalam konteks budaya yang lebih luas dengan memperhatikan prasyarat tertentu; penerimaan atas nilai multikultural, prasangka yang rendah, dan seterusnya. Jika proses asimilasi oleh kelompok skala besar yang ditandai oleh hadirnya interaksi dengan kelompok lain, namun minim kehendak untuk mempertahankan strategi, maka disitulah kita menjumpai “melting pot.”
Segregasi terjadi ketika kelompok dominan menuntut dan memaksakan proses separasi. Marginalisasi yang dilakukan secara paksa oleh kelompok dominan adalah eksklusi yang dalam formatnya paling kelam adalah etnosida.
Empat strategi akulturasi (dalam kelompok non dominan dan dominan) tersebut bisa kita gunakan untuk membaca tingkatan atau level dari akulturasi. Jika muncul pertanyaan seberapa tinggi atau rendah level akulturasi sebuah masyarakat, maka pilihan muncul salah satu dari empat, meski dalam batas-batas tertentu bisa saja terbaca lebih dari satu strategi. Pun, empat (plus empat) strategi itu bisa jadi mengharuskan kita untuk membaca ulang aspek-aspek sosial, kebijakan atau wacana umum yang seperti menjadi premis.
Sebagai contoh, kita mengenal bagaimana pemerintah orde baru di Indonesia memberlakukan kebijakan terhadap masyarakat Tionghoa. Misalnya, Ketetapan MPR Sementara (TAP MPRS) nomor 32 tahun 1966, pemerintah melarang penggunaan aksara dan bahasa Tionghoa untuk media massa dan nama toko/perusahaan, Keputusan Presidium Kabinet No. 127/ 4/ Kep/ 12/ 1966/ mengenai ganti nama WNI yang memakai nama Tionghoa; c. Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa dan lain sebagainya.
Kebijakan tersebut biasa kita kenal sebagai cara pemerintah melakukan asimilasi; strategi untuk menghilangkan identitas lama sembari terus (dipaksa) melakukan adaptasi sehingga Indonesia menjadi “kuali peleburan.” Namun, kita bisa menelaah dari sudut pandang yang lain, atau setidaknya bisa mengajukan hipotesa berbeda tentang apa yang diasumsikan sebagai asimilasi ini. Tidakkah yang terjadi, pada praktiknya, adalah sebentuk marginalisasi yang mengarah pada eksklusi?
Konsepsi tentang level akulturasi ini menolong kita, sekali lagi, untuk melihat bagaimana keinginan sebuah kelompok atau individu dalam mempertahankan identitas, dan di sisi lain, membaca interaksi, adaptasi dan partisipasinya baik pada kelompok non dominan maupun dominan.