
[Bogor –elsaonline.com] Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) M. Imdadun Rakhmat mengakui bahwa isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) masih merupakan isu pinggiran. “Saya kemudian berusaha untuk membawa ke tengah isu KBB,” terang Imdad, Senin (24/3).
Imdad menyampaikan hal tersebut di hadapan korban pelanggaran kasus KBB di Desa Wisata Candali, Kabupaten Bogor. Menurut Imdad, sejak saat itu, ia kemudian menjadi special rapporteur (pelapor khusus) dalam isu KBB di Komnas HAM.
“Memang hingga sekarang masih banyak kegundahan tentang tidak maksimalnya peran Komnas HAM,” ungkap Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dalam kesempatan itu, Imdad mengatakan bahwa sebagai salah satu komisioner HAM ia justru merasa perlu untuk berbicara dengan korban dan pendampingnya tentang strategi gerakan bersama untuk KBB.
Imdad menambahkan bahwa Komnas HAM adalah lembaga negara yang independen yang sifatnya sebagai pengawas. Wewenangnya dibatasi oleh fungsi pengawasan dan monitoring. “Sedikit sekali masuk dalam ranah pelaksanaan,” tutur pria kelahiran Rembang, Jawa Tengah itu.
Dalam pelaksanaannya, Komnas melakukan beberapa wewenang antara lain, melakukan riset dan kajian. Dalam riset itu misalnya dicermati mana Instrumen Internasional yang strategis untuk diratifikasi di Indonesia. Komnas juga melakukan kajian terhadap tata aturan mana yang harus disesuaikan dengan prinsip atau norma dan aturan yang ada di ranah Internasional.
Selain melakukan riset Komnas juga melakukan pendidikan dan penyuluhan. “Kami ingin merubah mindset aparat negara untuk sensitif pada HAM untuk paham terhadap prosedur yang in line dengan HAM,” terang alumnus program doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia itu.
Komnas berjalan untuk melakukan pemantauan atau monitoring, penyelidikan dan penilaian. Komisioner turun ke lapangan untuk melihat langsung peristiwa; menganalisis peristiwa apakah dalam suatu peristiwa ada pelanggaran HAM atau tidak. “Kita mencermati aspek HAM apa yang dilanggar, pelakunya siapa dan rekomendasinya seperti apa?” tukas Imdad.
Apa yang didapati di lapangan ini kemudian menjadi data. “Data ini digunakan oleh Komnas mengusulkan kepada yang berwenang untuk memberikan punishment dengan dasar bahwa ia telah melanggar HAM. Tapi itu sifatnya morally binding,” papar laki-laki kelahiran 6 September 1971. “Jika rekomendasi Komnas HAM tidak digubris, memang disitulah batas wewenang Komnas HAM,” kata terang Imdad. Jika pada perkembangannya apa yang direkomendasikan Komnas itu tidak direalisasikan, maka komnas hanya bisa melakukan audiensi, memanggil pihak terkait dan mengumumkan kepada publik. “Tidak ada kewenangan menghukum,” ujar Imdad.
Tugas Komnas yang lain adalah melakukan mediasi untuk perkara perdata, bukan pidana. Kalau pidana harus dilakukan melalui pengadilan terbuka. Mediasi komnas HAM sebagian morally dan sebagian lagi legally binding.
Jurus Mabuk
Terkait dengan pelanggaran HAM berat, Komnas bisa melakukan hal yang berkaitan dengan Pro Justisia. Komnas bisa melakukan penyelidikan di sini. Dan lembaga ini juga bisa memberikan rekomendasi hasil penyelidikan dan diserahkan kepada Kejaksaaan Agung yang kemudian dilanjutkan dengan penyelidikan dan penuntutan. “Tapi itu juga tidak akan berjalan, kalau tidak ada political will dari DPR untuk mengusulkan kepada presiden agar dibentuk pengadilan HAM berat”, lanjut penulis buku “Ideologi PKS: Dari Ideologi Masjid Hingga Gedung Parlemen.”
Inilah yang membedakan Komnas HAM dengan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. KPK memiliki fungsi dari pengawasan hingga penindakan, sementara Komnas hanya menjadi pengawas saja.
Kata Imdad, “Situasi dimana wewenang Komnas HAM yang terbatas itu menyebabkan kami harus melancarkan jurus mabuk.” Maksudnya Komnas mengambil banyak terobosan yang keluar dan melampaui kewenangan tapi bermanfaat korban.
Ia mencontohkan jurus mabuk itu untuk kasus korban tahanan politik dan mereka yang diduga terlibat kasus 1965. Dalam hukum formal, Komnas HAM tidak punya wewenang untuk mengeluarkan surat rekomendasi bahwa seseorang adalah korban. “Formalnya status korban harus keluar dari proses pengadilan,” terang Imdad. Saat itu, cerita Imdad, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memiliki program pemberian bantuan kesehatan dan psikososial kepada korban 1965. Salah satu syarat penerima bantuan itu adalah keterangan bahwa mereka adalah korban. Akhirnya, Komnas HAM mengeluarkan status korban. “Hampir 1000 orang dapat fasilitas kesehatan,” jelas Imdad.
Jurus mabuk itu penting karena di Komnas HAM, sekali lagi, isu KBB belum masuk mainstream yang memperoleh perhatian. Periode sebelumnya, Komnas HAM selalu melakukan monitoring kalau ada kekerasan atas nama agama. Tapi pekerjaan penting itu tidak difollow-upi sebagai agenda publik dan pemerintah.
Akhir-akhir ini saja ia membawa ke tengah isu pluralisme dan KBB tersebut. Misalnya saat peringatan hari HAM sedunia, KBB diangkat sebagai salah satu isu.
Dalam sidang HAM 2013 lalu, yang diangkat adalah KBB. “Dan kita lihat bagaimana follow up dari rekomendasi-rekomendasi itu semua,” ujar Imdad. Imdad mengakui bahwa irama kerja di Komnas HAM mengalir pada rutinitas turun lapangan.
Yang juga membuat isu KBB kurang bisa berjalan dengan maksimal adalah karena ada perbedaan pola kerja. Jika dulu, satu komisioner mengampu isu tertentu dan staf bekerja bersama komisioner, sekarang tidak demikian kondisinya. Komisioner sekarang lembaga sendiri dan staf bekerja dalam bentuk kesekjenan. Jadi strukturnya menjadi banyak sub komisi; sub komisi mediasi, pemantauan, kajian dan pendidikan serta penyuluhan. “Repotnya, ada kasus yang sama kadang dihandle oleh lebih dari satu sub komisi. Ini menjadi tidak efektif.”
Rebutan Isu
Hubungan yang well communicated antar jaringan juga mesti terus dilakukan. Ada kelemahan komnas yang bisa ditutupi oleh jejaring dan pegiat isu KBB. Yang utama adalah terkait dengan mantain korban secara terus menerus. Disini Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pendamping korban bisa memainkan peran secara maksimal. Pemetaan masing-masing kasus, butuh informasi dari LSM.
Di Komnas, isu itu menjadi rebutan. Maksudnya, jika yang banyak datang ke Komnas itu mereka yang ada di isu tanah, maka keputusan-keputusan yang mewarnai Komnas juga berkaitan dengan isu tersebut.
“Saya bersyukur bisa menggeser isu KBB sebagai salah satu isu yang masuk di Komnas HAM. Tapi saya tidak bisa sendiri. Tuntutan itu, juga harus muncul dari korban dan pendampingnya. Jika tidak, isu ini tidak menjadi penting di Komnas,” papar Imdad.
Setidaknya, kehadiran Komnas HAM itu menumbuhkan kepercayaan diri korban dan membuat pelaku mundur beberapa langkah. “Kita harus pintar mengubah isu menjadi agenda nasional, karena saat ini, kita ada dalam situasi kompetisi degnan kelompok intoleran yang juga memberikan pengaruh ke lembaga politik. Kelompok KBB harus meningkatkan stamina dan kecepatannya. Jangan lari cepat di awal, tapi kemudian habis tenaga,” pesan Imdad.
Berkaitan dengan jaminan HAM, Imdad mengatakan kalau yang melakukan hal tersebut adalah aparat negara hukum, bukan komnas HAM. Komnas hanya menjadi pengawas, apakah aparat bekerja benar atau menjadi pelaku pelanggaran atau tidak. Masih ada atau tidak undang-undang yang tidak in line dengan HAM.
Imdad memaparkan kalau HAM itu in line dengan demokrasi. Jika demokrasi mengendur, maka HAM juga turun. Kalau gerakan pro pluralisme mundur, dukungan publik juga turun. Dan bukan tidak mungkin ini berakibat pada kurangnya respek dari elit serta birokrasi. Dampaknya, Komnas juga ikut-ikutan Meredup. “Karena ini situasi yang saling mempengaruhi. Jadi mengkhawatirkan juga jika banyak LSM gulung tikar, karena resources pendanaannya habis. Harus cari alternatif pendanaan untuk LSM agar bisa bertahan,” Imdad memberi alasan.
Dalam praktek di lapangan, Komnas melakukan sesuatu. Ada hal yang sudah dikerjakan oleh Komnas. Merespon dengan cepat berbagai persoalan HAM, termasuk diantaranya isu KBB, itu juga sudah dilakukan. Singkat kata, Komnas sudah berjalan sesuai kodratnya sebagai lembaga negara.
“Tapi, secara pribadi, saya tidak puas dengan itu,” tegas Imdad. Karena hal tersebut kemudian hanya menjadi rutinitas. Harusnya status kegiatan itu dinaikan pada penyelesaian kasus. Selama ini ia melihat kesan, tidak ada upaya politis yang sistematis dan struktural. “Perlu mengangkat isu ini menjadi isu nasional,” tukas Imdad. Komnas yang sudah menjalankan pemantauan itu dan perlu menaikan nilainya hingga ada surplus value disana.
“Harapan saya ada Desk KBB di Kantor Komnas HAM. Mereka yang ada di sana, agar bisa membantu saya bekerja sebagai special rapporteur,” harap Imdad.
Menukar Kebencian
Terakhir, Imdad menyoroti masalah relasi mayoritas dan minoritas. Menurutnya, intoleransi itu juga bisa menikam diri kita sendiri. Kalau pemaknaan hubungan mayoritas-minoritas tidak diubah, umat Islam bisa menjadi korban di satu tempat dan menjadi pelaku di tempat lain. Di Indonesia, Syiah jadi korban, tapi di Iran Sunni jadi korban. “Kita tukar menukar kebencian, bukan berbagi kebagian,” kata Imdad.
Secara sosiologis, mayoritas dan minoritas itu ada. Secara politik dan normatif juga relasi tersebut. Dalam pemilu kita melihat hal tersebut. Secara fakta, mayoritas-minoritas itu tak bisa dibantah. Yang penting, menularkan makna mayor-minor itu sebagai apa? Apakah mayoritas harus menindas dan minoritas menjadi tertindas. “Jadi yang harus diubah adalah cara pandang terhadap kelompok lain,” jelas Imdad.
Di kalangan para penyelenggara juga masih belum ada kesepakatan tentang hubungan agama dan negara ini. “Masih ada campur aduk antara urusan keagamaan dengan negara. Soal fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu salah satunya. Dan menjadi aneh karena ketika berhadapan dengan kelompok intoleran nyali aparat menjadi ciut,” kata Imdad di akhir pembicaraan. [elsa-ol/T-Kh-@tedikholiludin]