Oleh: Tedi Kholiludin
Diskusi Ramadlan 2022 seri terakhir di Yayasan ELSA menghadirkan Silvy Mutiari pada Jumat (22/4). Dalam rancangan, sedianya obrolan yang dihelat di Kantor ELSA malam itu hendak menyisir sisi spiritual transpuan sebagai bagian dari kelompok minoritas gender.
Namun, percakapan menjadi mengalir karena Silvy tak sekadar berkisah tentang aktivitas ia dan teman-temannya di Bulan Ramadlan, tetapi juga tentang keseluruhan problematika kehidupan minoritas gender khususnya transpuan.
Silvy hingga saat ini masih terlibat di lembaga sosial yang didirikan oleh ia dan teman-temannya, Yayasan Perwaris Satu Hati Semarang. Mulanya Perwaris adalah singkatan, Persatuan Waria Kota Semarang.
Ketika hendak didaftarkan di Kementerian Hukum dan Perundang-undangan, nama “Waria” menjadi sandungan. Pejabat setempat keberatan dengan istilah itu. Karena tak mau berurusan panjang, Silvy dan kawan-kawannya kemudian menjadikan Perwaris sebagai nama dengan tambahan Satu Hati.
Saya berkenalan dengannya sejak tahun 2013. Seorang teman mengisahkan tentang dirinya sebagai pribadi yang memiliki komitmen untuk berkontribusi kepada masyarakat sekitarnya. Saya penasaran, dengan cerita pembuka itu. Hingga satu waktu, saya menyempatkan waktu dan menyengaja untuk datang ke rumahnya pada Kamis malam, 11/4/2014.
Kontribusi yang dimaksud oleh teman saya itu, salah satunya, adalah karena Silvy secara rutin menyediakan rumahnya sebagai tempat untuk melaksanakan pengajian, yasin dan tahlil setiap Kamis Malam. Kurang lebih 20an ibu-ibu setiap malam Jumat secara reguler memenuhi ruang depan rumah Silvy yang sesungguhnya tidak terlalu luas.
Tak hanya sebagai tuan rumah pengajian, Silvy juga rutin mengajar anak-anak kecil usia Sekolah Dasar di sekitarnya untuk membaca dan menulis al-Qur’an. Kemampuannya untuk hidup di tengah-tengah masyarakat inilah yang membuatnya tak hanya mendapatkan penerimaan (social acceptance) namun juga pengakuan (social recognition).
Sejauh ini, di kalangan teman-teman Perwaris Silvy adalah sosok yang menginspirasi. Meski tidak lagi menjadi pengurus harian, ia tetap terlibat dalam pelbagai hal.
Ramadlan tahun ini misalnya, dengan dukungan para donator, Perwaris, organisasi yang didirkan pada tahun 2009, turun ke jalan dan membagi-bagikan panganan untuk sahur dan berbuka puasa. Meski mungkin bukan sebuah program yang gigantis, tapi kepedulian dari kelompok marjinal ini layak diacungi jempol.
Layanan Publik
Cerita Silvy lalu bergeser ke persoalan vertikal, hubungan mereka dengan pelayan publik. Jamak diketahui, tak sedikit dari kalangan transpuan yang kerap terantuk problem ini. Mulanya dari Kartu Tanda Pengenal (KTP) lalu merembet ke aspek lainnya; Jaminan Kesehatan, Ketenagakerjaan dan seterusnya. Bahkan, anggota Perwaris sendiri, kata Silvy, baru separuh yang ber-KTP.
Lambat laun, pelayanan administrasi dan kependudukan terhadap kelompok transpuan mulai mengalami perbaikan. Salah satunya adalah mengenai foto di KTP. Sekarang, transpuan bisa berfoto sesuai dengan ekspresi yang dikehendakinya. Padahal sebelumnya, karena jenis kelamin mereka laki-laki, maka mesti berfoto laiknya laki-laki seperti yang dipersepsikan oleh pemerintah.
Keluarnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2019 Tentang Pendataan Dan Penerbitan Dokumen Kependudukan Bagi Penduduk Rentan Administrasi Kependudukan, perlu dikawal implementasinya di lapangan. Mengingat, pokok persoalan dari segala kerumitan ihwal administrasi dan kependudukan berawal dari masalah KTP ini.
Karenanya, langkah untuk mencari keadilan bagi transpuan masih panjang. Dukungan dari pelbagai kalangan akan sangat membantu perjuangan kelompok ini.