Oleh: Lukas Awi Tristanto
Redaktur Pelaksana Majalah INSPIRASI Semarang
Beberapa hari ini, bencana banjir menerjang kota dan desa di Indonesia. Jika dilihat lebih teliti, di sekitar daerah banjir didapati kerusakan hutan yang parah. Hutan yang berfungsi sebagai resapan air telah digunduli demi keuntungan ekonomis. Di samping itu, banjir juga disebabkan perilaku orang membuang sampah sembarangan di sungai. Sungguh ironis, penduduk Indonesia yang dikenal beragama, namun ikut andil dalam perusakan alam. Apakah penghayatan beragama dengan kelestarian lingkungan tidak ada hubungannya?
Tempat-tempat ibadah dibangun di setiap sudut pemukiman. Saat ibadah tiba, tempat itu pun dipenuhi orang yang khusyuk berdoa. Namun di sekitarnya, lingkungan hidup tidak diperhatikan. Sampah tidak dikelola dengan baik! Warga tetap membuang sampah di bantaran sungai atau tempat-tempat yang tidak semestinya.
Melihat situasi ini, penghayatan agama yang dilakukan warga masih sebatas ritual. Ada pemisahan antara wilayah agama dengan pelestarian lingkungan hidup. Penghayatan agama hanya dilakukan dengan beribadah di tempat ibadah yang terfokus pada urusan rohani saja. Agama belum menyentuh tanggungjawab pemeluknya untuk andil dalam pelestarian lingkungan hidup. Lebih parah lagi, perusakan lingkungan pun dilakukan oleh orang yang beragama. Ketika mereka memulai penambangan/membuka tambang liar (baca: perusakan alam), mereka memanjatkan doa terlebih dulu, memohon keselamatan bagi dirinya supaya tidak mengalami kecelakaan kerja (perusakan alam).
Gejala ini memperlihatkan bahwa agama telah didomestifikasi. Agama dikurung hanya dalam wilayah rohani saja. Padahal kalau kita kembangkan lebih jauh, agama mempunyai nilai keselamatan universal. Tidak hanya urusan rohani (manusia dengan Tuhan), namun agama juga menyentuh relasi antara manusia dengan manusia maupun manusia dengan alam ciptaan Tuhan.
Mengenai relasi manusia dengan alam ciptaan Tuhan, manusia boleh memanfaatkannya seperlunya namun tidak mengeksploitasinya dengan serakah. Dengan mengeskploitasinya, sebenarnya kita pun telah merusak alam itu sendiri maupun kemapanan kehidupan manusia itu sendiri. Maka kita tidak heran, bahwa bencana banjir atau tanah longsor adalah konsekuensi logis akibat perusakan alam/eksploitasi.
Teologi lingkungan
Mengingat lingkungan hidup sudah semakin rusak, maka perlu dikembangkan teologi lingkungan. Pemeluk agama diajak untuk menyadari tanggungjawabnya terhadap lingkungan hidup. Mengapa?
Lingkungan yang baik akan menciptakan kesejahteraan/kebaikan/keselamatan bersama. Nilai ini terkandung dalam setiap agama. Pemeluk agama tidak hanya diajak berdamai dengan sesama saja, namun ia pun diajak berdamai dengan lingkungan hidup. Sebab, dengan berdamai dengan lingkungan hidup, ia pun menciptakan kesejahteraan/kebaikan/keselamatan manusia tanpa bencana.
Seorang tokoh, Fransiskus dari kota Asisi, Italia (1182-1226) telah melakukan hal tersebut. Ia dijuluki “Sahabat alam semesta” karena cintanya yang besar dan dalam terhadap alam ciptaan Tuhan. Semua ciptaan menggerakkan jiwanya untuk bersyukur kepada Tuhan dan memuliakan keagungan-Nya. Seluruh alam raya beserta isinya benar-benar berdamai dengan Fransiskus. Ia dapat berbincang-bincang dengan semua ciptaan seperti layaknya dengan manusia. Semua disapanya sebagai ‘saudara’: saudara matahari, saudari bulan, saudara burung-burung, dll. Ia benar-benar menjadi sahabat alam dan binatang (Mgr. Nicolaas Martinus Schneiders, CICM, 1999).
Sikap dan tindakan Fransiskus merupakan relasi yang sangat harmonis antara manusia dengan alam. Tidak ada eksploitasi yang bernafaskan keserakahan. Ia juga menunjukkan bahwa manusia bukan makhluk satu-satunya di bumi ini. Fransiskus mengajarkan keseimbangan ekologi, menganggap ciptaan yang lain sebagai saudara. Ini adalah penghormatan manusia terhadap alam yang berimplikasi positif terhadap manusia itu sendiri, berupa keselamatan dirinya.
Jika penghormatan terhadap alam dan lingkungan hidup diajarkan dalam pendidikan agama, baik di tempat-tempat ibadah ataupun sekolah-sekolah maka, kerusakan alam tidak perlu terjadi lagi. Kehidupan manusia semakin terjamin karena keseimbangan ekologi. Agama tidak hanya berada dalam wilayah iman yang berujung pada relasi manusia dengan Tuhan. Agama juga tidak terjebak pada wilayah moralitas yang mengatur relasi manusia dengan manusia. Namun, agama juga menyentuh relasi manusia dengan alam. Dengan demikian, menjaga keseimbangan alam pun merupakan bentuk ibadah.
Aksi-aksi nyata yang bisa dilakukan oleh pemeluk agama selain melalui pendidikan agama, pemeluk agama bisa mengekspresikan cinta lingkungan melalui kegiatan yang bersahabat dengan alam. Misalnya pada saat perayaan hari raya keagamaan, panitia tidak menggunakan peralatan makan dan minum yang menggunakan bahan yang merusak alam seperti plastik. Demikian juga, di setiap tempat ibadah disediakan tempat sampah yang memisahkan antara sampah organik dan anorganik. Baik juga pada waktu-waktu tertentu ada semacam pengumpulan uang kolekte atau infaq untuk merawat alam misalnya untuk dana penghijauan. Dengan demikian, relasi pemeluk agama menjadi lengkap. Ia berelasi dengan Tuhan, sesama manusia dan alam ciptaan. Jadi, penghayatan hidup beragama seharusnya berimplikasi positif terhadap kelestarian lingkungan hidup.