Oleh: Prof. Dr. Muhibbin, M.Ag
Guru Besar Ilmu Hadits IAIN Walisongo Semarang
Ada suasana yang berbeda ketika hitungan bulan memasuki Ramadlan. Semangat keberagamaan kaum muslimin tampak begitu terasa. Hampir di seluruh masjid dan mushalla dipenuhi umat Islam, baik tua maupun muda untuk melaksanakan ibadah shalat tarawih. Dilihat dari sisi syiar, tentu ini sangat menggembirakan. Suasana Islami begitu terasa. Muda mudi hilir mudik di jalanan menuju masjid dan mushalla dengan menenteng sajadah dan peralatan shalat lainnya. Namun begitu ramadlan lewat, suasana yang cukup menentramkan tersebut juga ikut lenyap, seakan ditelan bumi tanpa bekas.
Begitulah gambaran yang setiap tahun dapat disaksikan di sekitar kita. Namun anehnya kondisi seperti ini kurang atau tidak mendapat perhatian. Untuk itu kiranya perlu dicermati tentang kondisi ini dan sekaligus upaya untuk lebih memaknai Ramadlan secara tepat sasaran.
Ramadlan sebagai bulan latihan
Motifasi keagamaan untuk menumpuk pahala di bulan Ramadlan memang cukup banyak diberikan oleh hadis-hadis Nabi. Sehingga tidak aneh apabila semangat ibadah umat Islam di bulan ini meningkat drastis. Namun sayangnya penangkapan motifasi keagamaan di bulan suci ini tidak komprehensif, sehingga apabila dicermati, semangat musiman tersebut justru malah kontra produktif. Bagaimana tidak, pesan-pesan yang bernadakan motifasi sebagaimana banyak diberikan oleh hadis tersebut sesungguhnya merupakan pesan yang komprehensif, dan tidak selayaknya dipahami secara parsial. Artinya antara pesan dalam rangka mendapatkan pahala yang banyak dengan pesan untuk menjadi insan yang taqwa harus dimaknai secara bersamaan.
Memang banyak hadis yang menginformasikan tentang keutamaan bulan suci ini, semisal “ibadah yang dilakukan di bulan ini akan dilipatgandakan lebih dari tujuh puluh kali”, “puasa yang dilakukan dengan didasari iman dan mencari ridla Tuhan, akan diampuni segala dosanya”, “sepertiga awal Ramadlan itu rahmat atau karunia Allah, pertengahannya sebagai maghfirah atau ampunan Allah, dan terakhir sebagai pembebasan Allah kepada hambanya yang berpuasa dari Neraka”, dan lain-lain, tetapi harus diingat pula hadis lain, misalnya ketika pada suatu saat Nabi Muhammad saw. mengungkapkan tentang adanya orang-orang yang berpuasa tetapi mereka tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali hanya rasa lapar dan dahaga, para sahabatpun tercengang, bahkan lebih tercengang lagi setelah mereka tahu bahwa puasa yang dijalankan oleh orang-orang yang gambarkan Nabi tersebut telah memenuhi syarat dan rukun.
Hanya saja yang menyebabkan mereka tidak mendapatkan pahala dikarenakan melakukan hal-hal tercela, seperti berkata-kata kotor, berbohong, memaki-maki, emosi yang berlebihan, memfitnah orang lain, menggunjing, adu domba, melakukan sumpah palsu, melakukan korupsi, dan lainnya. Menurut Nabi, hal-hal seperti itu ternyata akan dapat menghapus pahala.
Karena itu harus disadari bahwa tujuan berpuasa sebagaimana diharapkan oleh Tuhan ialah agar orang yang berpuasa itu menjadi taqwa, dan bukan semata-mata menumpuk pahala. Bagaimana seseorang yang berpuasa dapat menjadi taqwa? Tentu ini memerlukan kejelian dan kecermatan. Taqwa sendiri sesungguhnya merupakan refleksi dari ketaatan yang penuh kepada Allah swt. untuk melaksanakan segala perintah dan menjauhkan diri dari larangan. Melalui puasa, manusia diharapkan bisa menjadi taqwa dalam arti yang sesungguhnya sebagaimana disebutkan di atas.
Artinya puasa dimaksudkan sebagai arena latihan yang efektif bagi pembentukan pribadi yang taqwa, sebab pada saat berpuasa, orang akan sangat taat dengan aturan, sangat disiplin dalam waktu, dan sangat antusias dalam beribadah. Keberhasilan latihan tersebut justru akan terihat bukan pada saat melakukan latihan, melainkan pada saat selesai menjalankan latihan tersebut, yakni pada bulan-bulan setelah Ramadlan.
Keberhasilan puasa
Untuk itu Puasa seharusnya mengandung implikasi duniawi dan sekaligus ukhrawi. Implikasi duniawi dimaksudkan agar puasa itu tidak hanya merupakan aktifitas ibadah yang tidak ada dampak atau atsar sama sekali terhadap orang yang melaksanakannya, terutama ketika di dunia ini. Seharusnya puasa itu memberikan sumbangan yang sangat efektif dalam membentuk pribadi berkualitas, baik iman maupun sikap dan perbuatannya dalam rangka berhubungan dengan manusia dan alam sekitarnya. Sementara implikasi ukhrawi tentunya akan mendapatkan pahala yang besar dan diampuni dosa-dosanya, sebagaiamana disebutkan dalam hadis-hadis di atas.
Karena itu keberhasilan puasa harus dilihat dari dua sisi, yakni sisi dunia dan sisi akhirat. Sisi dunia akan dilihat sejauh mana seseorang yang melaksanakan ibadah puasa itu dapat menghayati dan kemudian membuktikan hikmah-hikmah puasa dalam kehidupan nyata setelah selesai berpuasa. Apakah seorang yang telah selesai berpuasa itu akan berkelakuan positif, seperti rajin beribadah shalat, rajin menderma, peka terhadap penderitaan sesama, bersabar dalam menghadapi segala problem, berdisiplin tinggi dalam cara hidupnya, mentaati rambu-rambu hukum yang ada, bertutur kata lembut dan sopan, dapat menahan amarah, tumbuh sifat kasih sayangnya terhadap sesama makhluk Tuhan, dan sifat-sifat terpuji lainnya.
Kalau sifat-sifat terpuji tersebut dapat terpateri dalam diri seseorang yang berpuasa dan tetap bertahan dalam dirinya, sehingga membuat seseorang tersebut menjadi berubah kearah yang lebih baik, tentu hal ini merupakan kondisi yang diharapkan. Sebaliknya apabila setelah berpuasa, seseorang masih saja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan sifat-sifat mulia tersebut, misalnya masih tetap kikir, malas beribadah, cuek dengan penderitaan sesama, tidak mau membantu yang miskin dan lemah, tidak memperhatikan nasib anak-anak yatim, memeras orang, melakukan korupsi, tidak disiplin, dan bahkan melakukan perbuatan keji dan munkar, meskipun pada saat puasa dia berhenti dari perbuatan-perbuatan tersebut,, maka kondisi ini tidak dapat dikatakan sebagai tujuan yang diinginkan dari puasa itu sendiri.
Sedangkan dari sisi akhirat, seseorang yang melakukan puasa tersebut diharapkan dapat menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat menghapuskan paha puasa, seperti menggunjing, memfitnah, berkata-kata kotor dan jorok, berbohong, bersumpah palsu, mencaci maki orang, menghardik orang-orang lemah, berbuat dhalim, berlaku curang, mencuri, korupsi, dan perbuatan-perbuatan rendah serta tidak terpuji lainnya, dan bukan hanya sekedar menahan makan dan minum serta hal-hal yang membatalkan puasa sehari penuh semata.
Karena itu kehadiran bulan suci Ramadlan ini diharapkan akan dapat mengubah prilaku kaum muslimin kearah yang lebih baik serta membawa ampunan dan karunia yang besar bagi yang melaksanakan puasa di dalamnya. Amin