Oleh: Shofiyul Burhan
Alumnus Fakultas Syariah UIN Walisongo Semarang
Kitab karya Syeikh Kholil Muhyiddin, “Al-Bi’ah fi al-Fiqh al-Islamiy,” menarik untuk didiskusikan dan dikaji. Kondisi lingkungan belakangan ini sangat parah. Karena ulah tangan manusia untuk mencukupi kebutuhan sandang, pangan dan papan (properti), tak jarang mereka melakukan kecerobohan merusak lingkungan.
Membuang sampah tak terurai di sungai, penebangan liar, eksploitasi sumber mata air, dan pengrusakan gunung seakan sudah menjadi fenomena biasa, dan seperti tak mau dihindari. Tentu saja, dampak yang ditimbulkan bisa kita rasakan sekarang. Baru satu bulan turun hujan, banjir bandang, tanah longsor sudah mewarnai warta nasional.
Perhatian ibadah lingkungan seakan berada dalam urutan terakhir setelah ibadah individu. Padahal menjaga lingkungan adalah bagian dari pada substansi agama, berdiri sejajar dalam aqidah (teologi) dan ubudiyah.
Tidak banyak pakar fiqh yang mengkaji detail dan menjelaskan secara khusus tentang fiqhul bi’ah (fiqh ekologi). Menjaga lingkungan juga tidak masuk dalam bagian maqasid syari’ah khomsah. Padahal lingkungan menjadi aspek yang paling penting menjaga kelestarian hidup.
Bisa dibayangkan akibat longsor, banjir. Berapa nyawa yang meninggal, berapa harta yang terbuang sia-sia. Bukankah hifdhun nafs, hifdhul mal menjadi bagian dari tujuan syari’ah? Argumen demikian mempertegas bahwa menjaga kelestarian lingkungan adalah bagian daripada maqasid syari’ah.
Dalam muqoddimahnya, Syekh Kholil menyajikan argumentasi yang menarik. Seluruh apa yang ada dalam alam semesta, Islam selalu hadir menjadi solusi problematika kehidupan, mulai aspek ritualitas, teologis sampai moralitas individu tidak luput dari perhatianya. Termasuk menjaga lingkungan terkupas secara kontekstual dalam dialog malaikat dengan Tuhan yang terekam dalam surat al-baqarah ayat 30. Bahkan menjaga kelestarian lingkungan menjadi bagian dari ajaran islam yang fundamental.
Jawaban Allah atas pertanyaan malaikat menegasikan bahwa manusia di ciptakan didunia untuk isti’marul ard (menjaga kemakmuran bumi), sebagai pemimpin yang dipasrahi tuhan untuk menjaga alam semesta sebagaimana yang terekam dalam surat hud ayat 61, Dialah Allah yang menciptakan kamu semua dari bumi (tanah) dan meminta kamu semua untuk melestarikannya.
Kerusakan lingkungan tidak lain adalah akibat ulah manusia sendiri. Tidak selayaknya setiap bencana alam langsung dikatakan sebagai takdir. Seakan Tuhan di jadikan sebagai bemper menutupi perbuatan keji manusia.
Dialog malaikat sebelum Adam diciptakan bisa dijadikan sebagai ibrah (tauladan). Kekhawatiran Malaikat akan penciptaan manusia seakan menjadi fakta, apabila manusia tidak mendayagunakan dan memposisikan dirinya sebagai pemimpin yang ditugaskan untuk menjaga alam semesta.
Selayaknya secara qodrati manusia berkewajiban menjaga bumi, bukankah manusia tercipta dari tanah? Andaikan manusia merusak tatanan bumi bukankah berarti menciderai diri mereka sendiri? Itu mungkin pertanyaan yang paling mendasar yang perlu dipatri dalam diri seseorang untuk memperbaiki moralitas individu menjaga kelestarian alam semesta.
Merawat lingkungan adalah bagian dari pada ritualitas yang sebanding dengan puasa, sholat, zakat, dan haji. Kesalehan individu akan menjadi timpang apabila tidak disertai dengan kesalehan sosial.
Melakukan reboisasi (penghijauan), membersihkan sungai dari sampah adalah bagian dari pada jariyah yang sebanding dengan hukum zakat dan sedekah.
Merusak lingkungan, membuang sampah ditempat aliran air adalah bagian dari perbuatan maksiat. Begitu juga sebaliknya menjaga kelestarian alam adalah bagian dari ritualitas sosial yang bernilai jariyah.