Oleh: Tedi Kholiludin
Sejarah Indonesia adalah sejarah tentang sebuah negara yang majemuk. Mengingkari kemajemukan sama halnya menafikan keragaman. Pancasila adalah bingkainya. Apapun latar belakang agama, suku serta etnisnya, maka warga Indonesia harus bisa hidup didalam bingkai tersebut. Batas minimalnya adalah toleransi. Betapapun kita membenci tetangga, tapi kita harus bisa menerimanya, karena isyarat konstitusional. Naik satu level lagi adalah inklusif. Terhadap perbedaan, kita tidak hanya mentolerirnya, tapi juga mengakui ada kebaikan yang ada di kelompok masyarakat lain. Tapi yang unggul tetap milik dirinya. Level paling tinggi adalah pluralis. Mengakui bahwa semua budaya sama baiknya, hanya berbeda cara dan bentuknya saja. Tidak ada satu yang lebih baik ketimbang lainnya.
Perjalanan panjang Indonesia juga tak lepas dari peran-peran kelompok yang berbeda. Kemerdekaan bangsa Indonesia bukanlah kontribusi kelompok keagamaan tertentu saja. Proklamasi dan deklarasi kemerdekaan adalah hasil dari curahan keringat segenap komponen bangsa yang berbeda latar belakang suku dan agamanya. Semuanya memiliki peran dalam mengupayakan kemerdekaan Indonesia.
Salah satu yang disepakati oleh panitia perumus kemerdekaan yang juga berasal dari pelbagai latar belakang yang beragam adalah dengan menjadikan Pancasila sebaga dasar negara. Pancasila bukanlah agama. Pancasila menjamin semua kelompok agama bisa hidup didalam naungannya. Singkatnya, Indonesia bukanlah negara teokrasi. Toh demikian, kita juga bukanlah negara sekuler, dalam pengertian ada pembersihan terhadap ruang publik dari rambu-rambu agama. Sila pertama adalah landasan moral atau etika bangsa Indonesia. Agama dan negara tidak dipisahkan, tapi dibedakan.
Pancasila adalah “pengalaman personal” bangsa Indonesia tentang pentingnya menjaga keberagaman. Dengan begitu, sikap terhadap pluralisme dan kebebasan beragama, seharusnya tegas. Pluralisme merupakan etika hidup yang hendak menjaga keragaman agar dibiarkan sebagaimana adanya. Dalam situasi dimana perbedaan merupakan sesuatu yang harus dibiarkan apa adanya, inilah kebebasan beragama, kebebasan menyembah Tuhan dengan caranya masing-masing harus dijamin. Negara memiliki tanggungjawab untuk memastikan bahwa setiap warga negara dapat menikmati haknya untuk menjalankan ibadah sesuai dengan apa yang diyakininya.
Sebagai momentum dari “pengalaman personal” bangsa Indonesia yang hendak menjaga keragaman agama, maka Pancasila tentu saja harus bisa mewadahi pelbagai kelompok keyakinan keagamaan ini. Jika tidak bisa memerankan fungsi demikian, maka Pancasila sulit untuk menjadi inspirasi bagi proses transformasi religiositas sipil.
Saat menyampaikan pidato 1 Juni 1945 di sidang BPUPKI (kelak dikenal diperingati sebagai Hari Lahirnya Pancasila), Soekarno menyampaikan lima dasar negara. Dari lima itu, setidaknya ada 4 sikap pokok dalam kehidupan beragama, berbangsa maupun bernegara. Pertama, “Tiada Egoisme Agama.” Salah satu yang menjadi kekuatan dasar masyarakat Indonesia dalam menghadapi kemajemukan adalah kemampuan untuk mentolerir perbedaan. menghormati mereka yang berbeda keyakinan adalah falsafah dasar dalam kehidupan yang plural ini. Lawannya, intoleransi. Jika perbedaan tidak dibarengi dengan sikap toleran, maka konflik akan mudah disulut. Perbedaan, keragaman, multikuturalisme dan pluralisme harus dibarengi dengan toleransi.
Kedua, Soekarno menyebut “Berketuhanan yang Berkebudayaan.” Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya budaya. Tidak ada masyarakat di Indonesia yang tak mengenal kebudayaan. Kebudayaan masyarakat Indonesia setua usia masyarakatnya itu sendiri. Dalam tiap kebudayaan itu ada nilai luhur tentang kesejatian hidup, makna persaudaraan, menghargai ciptaanNya, dan lain sebagainya. “Berketuhanan yang Berkebudayaan” seperti disitir oleh Soekarno adalah sikap beragama yang dibarengi dengan penghargaan terhadap kebudayaan. Agama dan budaya mesti berjalan dialektis. Tidak ada yang superior dan inferior. Agama dan budaya saling menunjang satu dengan yang lainnya. Kekuatan agama-agama di Indonesia terletak pada kemampuannya untuk berdialog dengan budaya. Agama-agama dunia atau world religions yang datang ke Indonesia, tentu penting memperhatikan hal ini. Sifatnya yang universal, tidak berarti bahwa agama-agama itu menafikan konteks dimana mereka hadir. Disinilah ide pribumisasi KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bisa dipertimbangkan.
Ketiga, Bertuhan, Tuhannya sendiri-sendiri. Sudah barang pasti ini adalah manifestasi dari prinsip kebebasan untuk meyakini kebenaran agama masing-masing. Sekaligus beribadah menurut agama dan kepercayaannya tersebut. Secara eksplisit, konstitusi kita dengan tegas mengatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk beribadah menurut keyakinannya masing-masing. Keyakinan adalah hak masing-masing. Tidak boleh ada intervensi, termasuk dari negara. Negara harus menunjukan netralitasnya. Pemerintah wajib menghormati dan menjamin hak fundamental tersebut.
Keempat, dalam pidato 1 Juni 1945, Sukarno juga menyebut frasa “semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu.” Kalimat tersebut diucapkan Sukarno saat ia menjelaskan tentang dasar mufakat, perwakilan dan permusyawaratan. Kehidupan politik di Indonesia tidak bertumpu pada mayoritarianisme, pemerintahan ada pada pihak yang menang. Pemerintahan dilandasi oleh semangat semua buat semua, satu buat semua dan semua buat satu. Inilah dasar yang hakiki dari prinsip demokrasi di Indonesia.
Sekali lagi, Di negeri multikultur seperti Indonesia, memang tidak mudah mengelola kemajemukan. Masyarakat multi-etnis, multi-budaya, dan multi-agama adalah tantangan untuk membangun masyarakat politik yang unifikatif. Negara yang didasarkan atas satu model identitas dengan sendirinya akan memarginalkan kelompok lain dan tak jarang memproduksi kekerasan.
Karena perbedaan itu adalah sebuah kewajaran belaka, maka tidak ada cara lain bagi kita kecuali merayakannya. Mengambil manfaat dari kehidupan kita yang serba beragam itu. Kata Octavio Paz, life is plurality, death is uniformity.