[Salatiga –elsaonline.com] Kementerian Agama (Kemenag) harus bisa melayani semua kebutuhan umat beragama dan keyakinan. Kemenag sebagai negara bertugas melayani dan memenuhi semua warga negara tanpa memandang latar belakang agama atau keyakinan.
Demikian dikatakan Tedi Kholiludin di tengah ujian terbuka Program Doktoral Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Senin, (9/2/15). Tedi menyampaikan demikian itu dalam merespon pertanyaan penguji Yudi Latif, Ph.D yang mengajukan pertanyaan “Masih pentingkah keberadaan Kemenag?”
Secara tegas, Tedi menyatakan bahwa ada hal yang bisa dimaksimalkan oleh Kemenag sebagai institusi pemerintahan. Hemat dia, peran Kemenag sangat strategis untuk mengupayakan kerukunan dan menciptakan perdamaian di Indonesia. Salah satunya dengan melakukan penanaman nilai-nilai keberagaman pada siswa.
“Saya kira peran Kemenag masih dibutuhkan. Kami pernah melakukan riset kecil-kecilan dengan responden siswa muslim yang bersekolah di sekolah umum. Hasilnya cukup mengejutkan, 70 responden dari 120 siswa menyatakan haram mengucapkan selamat Natal,” papar Tedi, meyakinkan penguji.
Hemat dia, hasil riset sederhana itu bisa menjadi parameter wawasan keberagamaan dan multikulturalisme siswa-siswa Muslim yang bersekolah di sekolah umum. Menjadi mengkhawatirkan jika pemahaman siswa yang seperti itu jika dipicu dengan hadirnya gerakan radikalisme di sekolah-sekolah umum.
“Maka tugas negara adalah memberikan pemahaman kepada siswa untuk lebih memahami keberagaman keyakinan yang ada di negara ini. Artinya negara Kemenag harus berperan aktif dalam melakukan penanggulangan radikalisme agama. Bukan melakukan intervensi kepada aras keyakinan,” jelas Tedi.
Eksternum dan Internum
Sebelumnya, Yudi Latif mengajukan beberapa pertanyaan yang menohok pada jantung penelitian Disertasi Tedi yang berjudul “Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesia”. Ia bertanya langsung tentang sejauh mana negara boleh melakukan intervensi terhadap agama dan keyakinan.
Tedi menjawab pertanyaan itu dengan memaparkan konsep Hak Asasi Manusia (HAM). Konsep HAM dalam hal ekspresi atas keyakinan dikenal dengan pembagian sederhana; forum internum dan eksternum. Menurut dia, ada dua aras yang harus dibedakan dalam beragama, yakni keyakinan dan manifestasi atas keyakinan itu sendiri.
“Jadi ada dua aras yang harus dibedakan. Pertama keyakinan, dimana ini masuk pada forum internum. Kedua eksternum, yang masuk pada level manifestasi dari keyakinan itu sendiri. Nah, negara hanya bisa melakukan intervensi pada aras manifestasi keyakinan, bukan kepada keyakinannya,” tegasnya.
Penelitian Direktur eLSA ini dibangun dalam kerangka wacana agama sipil yang kemudian ditransformasikan ke dalam Pancasila. Pemikiran yang paling menonjol dan memberikan banyak kontribusi terhadap metode adalah teori “kontrak sosial” ala Jean Jacques Rousseau. Selain itu ada pemikir Robert Bellah, Coleman juga Durkheim.
“Selamat kepada Dr Tedi Kholiludin yang berhasil mempertahankan hasil penelitian. Sehingga dinyatakan lulus. Itu tadi pertanyaanya sangat berat. Saya sangat bangga, dia bukan hanya membaca utama, tapi ia melahap buku-buku tentang sosiologi agama,” ucap Rektor UKSW, Prof John A. Titaley, pada sambutannya. [elsa-ol/Ceprudin-@Ceprudin/001]