Oleh: Yayan M Royani
Di era postmodern, agama dituntut untuk mempunyai peran ganda, disamping mengokohkan diri sebagai teologi yang mempunyai nilai subjektif, juga mempunyai tanggungjawab sosial dan relasi antar personal maupun kelompok yang beragam. Merujuk konsep post modern yang diusung Barat memang akan mengaburkan absolutism nilai ketuhanan dan nilai-nilai mapan lainnya. Karenanya, tidak mengherankan apabila fundamentalis agama akan balik menyerang faham tersebut. Hal itu tidak lepas dari permasalahan klasik seputar peralihan pemikiran dari teosentris ke antroposentris.
Menurut Sarastri Wilonoydho, selain ada fundamentalis agama dan relativitas postmodernisme terdapat juga fundamentalisme rasional. Menurutnya fundamentalisme rasional tidak memihak keduanya, akan tetapi mencoba untuk menyeimbangkan. Hanya saja, sejauhmana kekuatan untuk menyeimbangkan antara relativisme dengan fundamentalisme dirinya tidak memberikan kejelasan sehingga tidak memberikan dampak sosial yang kongkret, akan tetapi sebaliknya membuat bingung mayarakat yang harus mengetahui akan pemahaman yang simpel tentang agama, di tengah kompleksitas permasalahan yang dihadapi.
Kembali kepada realita, saat ini terlihat masing-masing agama mencoba survive dengan tradisinya di tengah arus globalisasi dan budaya popular. Sebagian tergerus dan lainnya bisa memenangkan pertarungan tersebut. Ambil contoh Hindu di India yang terlihat kokoh meski harus sebagian tradisi murninya ikut tergerus, hal itu bisa terlihat dalam kontestasi teknologi sampai media (termasuk hiburan) yang masih tetap mengusung identitas budaya, meski berada di arena pertarungan global. Begitupun dengan Jepang, China dan terakhir yang sering kita rasakan pengaruhnya adalah Korea Selatan.
Menilik Indonesia, mengapa hal itu tidak berhasil? Tidak hanya karena tradisi yang sangat beragam, lain dari itu karena adanya kekuatan lain yang mengkungkung budaya asli menajdi milik bersama. Yaitu ideologi-ideologi transnasional yang telah menggerus kesadaran kolektif masyarakat, hal itu jelas diakibatkan lalainya masyarakat terhadap kebajikan lokal (local wisdom) yangtelah dimiliki. Menurut hemat penulis, keberagaman budaya justru akan menjadi kekuatan dan khazanah budaya yang luar biasa apabila mempunyai ruh nasionalisme.
Tidak sebagaimana fundamentalisme Islam, fundamentalisme rasional dan relativisme postmodern, ada yang dilupakan yaitu agama yang berakulturasi dengan local wisdom dan tradisionalisme. Hemat penulis, faham inilah yang dapat menjembatani perdebatan panjang tersebut. Sebagaimana agama yang real berbicara tentang konsep ketuhanan pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari sisi antropologi, dan sebaliknya bahwa dalam pembahasan budaya seseungguhnya ada nila-nilai teologis yang mendasari dan menyelinap dalam pemikiran setiap individu. Untuk melihat hal tersebut kita akan mengambil permasalahan Islam di Indonesia.
Sebagai agama yang dianut mayoritas, peran Islam tentu sangat menentukan arah dalam mengokohkan identitas bangsa. Kaitannya dengan Islam, pertama perlu adanya pelurusan pemahaman tentang keyakinan. Dengan adanya identitas tunggal yang tidak memberikan ruang untuk keyakinan yang lain maka dipastikan identitas keislamannya tidak akan kokoh. Hal ini berkaitan dengan refleksi dari nafas Islam yang toleran dengan dasar keyakinan atas kebenaran agamanya. Resiko bagi pemahaman yang mengatasnamakan Islam akan tetapi tidak toleran, maka mereka berada pada wilayah yang sanga rawan dipatahkan oleh kenyataan dunia yang plural.
Selanjutnya tentang identitas agama sebagai budaya, maka perlu adanya pembersihan sampai ke akar-akarnya bagi ideologi agama yang tidak dapat berakulturasi. Sampai saat ini, khususnya agama transnasional yang tidak mempunyai budaya asli sangat mudah berpengaruh terhadap umat, dengan hanya mengikuti permukaannya saja, tidak memahami secara mendasar arti dari kepercayaan yang mereka yakini. Akibatnya berbagai fenomena absurd sebagaimana agama dalam balutan budaya pop merajalela.
Sejalan lurus dengan demokrasi yang terbuka lebar, agama agama transnasional, mulai meracuni pikiran masyarakat secara pragmatis. Meski tujuan yang diharapkan adalah fundamentalisme, alhasil tidak sedikit masyakarakat menjadi bingung dan hanya mengikuti arus popularitas belaka. Bagi orang-orang yang berfikir rasional pragmatis tanpa memiliki pengetahuan agama yang mendasar, biasanya hanya mengambil apa yang mereka pikir benar dan mudah, tanpa mau susah payah mempelajari apa yang sebenarnya mereka kerjakan. Keadaan ini diperparah dengan minimnya pengetahuan mereka tentang budaya asli. Fenomena tersebut sangat banyak ditemui di daerah perkotaan.
Disinilah peran agama-agama yang telah mempunyai landasan akulturasi budaya yang baik dapat menjadi penangkal dari fenomena tersebut. Diperlukan sebuah kesungguhan yang sangat dalam meluruskan kembali pemahaman masyarakat yang sudah modern dalam berfikir, akan tetapi tidak mempunyai pengetahuan tentang agama dan budaya secara mendasar. Tidaklah semudah membalik telapak tangan.
Selanjutnya, untuk mengurai permasalahan tersebut diperlukan juga pemahaman yang baik tentang tiga sudut permasalahan, yaitu agama, modernitas dan budaya. Agama sebagai subjek, moderitas dan budaya sebagai kausa pemberi pengaruh dari keberagaman itu sendiri. Adapun untuk melihat perkembangannya, kiranya kita dapat melihat beberapa modelrespon agama Islam ketika ketika bertemu dengan modernitas.
Jika diasumsikan bahwa modernitas adalah barat, maka pada perkembangan saat ini akan ditemukan kelompok yang mengatasnamakan revivalisme, pembaharuan (Islam modernis), pan islamisme dll. Revivalisme Islam sendiri muncul di Timur Tengah yang dipelopori Jalaluddin al Afghoni, Muhammad Abduh, Rasyid Ridlo dan Hasan al Banna, pimpinan Ikhwan al-Muslimin. Pemikiran tentang kebangkitan Islam tersebut tidaklah pada satu bentuk, akan tetapi mulai mengalami perkembangan dari yang ekstrim sampai yang moderat.
Ketika gerakan tersebut menjadi salafi, mereka sangat menentang modernitas dalam bentuk apapun. Gerakan yangmengatasnamakan kebangkitan Islam sendiri selalu menggunakan jalan demokrasi sebagai cara untuk meluluskan tujuannya. Meski berbeda sudut pandang, akan tetapi mempunyai satu tujuan yaitu menegakan Syari’at Islam. Pada perkembangan selanjutnya, gerakan Salafi Wahabi yang secara politik ingin menguasai kultur Islam, berselingkuh dengan Barat untuk memuluskan tujuannya. Maka tidak ada bedanya dengan Amerika, Arab sebagai ibu kota wahabisme ini mulai menancapkan kukunya di Negara-negara muslim lainnya.
Perkembangan revivalisme ini menjadi bencana bagi masyarakat muslim di Indonesia, tidak hanya karena masyarakat tercerabut dari nilai-nilai luhur budaya lokalnya, lebih dari itu, ideologi yang mengusung formaliasi syari’ah tersebut juga mengancam kebenaran absolut dari agama itu sendiri. Dengan mengusung teologi sebagai landasan kehidupan sosial tanpa mendialogkan dengan tradisi yang baik, tentu akan beresiko buruk terhadap identitas agama itu sendiri.
Melihat perkembangan di atas, maka kita berharap para kelompok tradisional yang dapat mengukuhkan identitas kebangsaan sekaligus keagamaan. Tentunya diharapkan dirinya dapat menjadi katalisator dalam mengambil kemaslahatan dari berbagai tantangan pemahaman di atas.
Dua permasalahan pokok yang dihadapi para tradisionalis saat ini, yaitu kapasitas dalam memahami identitas dan tugasnya secara kaffah. Sebagaimana pemahaman terhadap nilai-nilai dasar teologis, universalitas, lokalitas dan kebangsaan yang harus difahami secara sekaligus. Selanjutnya, tentang bagaimana merebut peran dalam budaya popular yang saat ini dikuasai oleh kelompok-kelompok pragmatis dan fundamental. Hal ini menjadi penting, mengingat eksistensialisme yang diusung oleh postmodern adalah bebas nilai, sehingga ruang kontestasi harus diisi dengan faham yang benar.
Paradigma yang diusung tidaklah harus tunggal akan tetapi berdiaspora sesuai kebutuhan akan tantangan yang dihadapi. Diperlukan kekuatan dan kesungguhan untuk memenangkan kontestasi pada seluruh aspek kehidupan. Bidang teologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya kesemuanya harus dikuasasi dengan satu komando yang didasarkan pada kekuatan jam’iyyah tidak hanya jam’aah. Yaitu kekuatan yang didasarkan pada kesadaran teologis sekaligus organisatoris dalam menggerakan seluruh elemen masyarakat.