Oleh: Ceprudin
Aktifis Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang
Akhir pekan kemarin, penulis mengikuti sebuah kegiatan bertema kebangsaan dan perdamaian. Kegiatan ini diikuti oleh generasi muda perwakilan dari penganut enam agama dan kepercayaan se Jawa Tengah. Peserta tampak antusias mengikuti sesi demi sesi selama dua hari kegiatan berlangsung.
Pada sesi pertama seorang moderator menambahkan dan menyimpulkan hasil pembicaraan kedua pemateri perwakilan dari pemerintahan. Sang moderator menggebu-gebu menyampaikan tentang arti penting Pancasila dan kerukunan di Indonesia. Penulis tak terlalu asing dengan sang moderator yang merupakan aktivis salah satu ormas Islam di Kota Semarang itu.
Setelah beberapa menit penulis mengingat paras dan gaya bicaranya yang menggebu itu, penulis diingatkan dengan beberapa rentetan aksi penolakan kegiatan kelompok keagamaan di Kota Semarang. Sebut saja dua kegiatan “Pork Pestival” dan “Perayaan Cap Go Meh”.
Iya, sang moderator inilah yang menjadi salah satu aktor penolakan (setidaknya) dua acara tersebut. Tentunya dengan berbagai alasan, dalil, dan argumentasinya. Akibat aksi penolakan sang moderator dan teman-temannya itu, acara Pork Pestival harus berganti nama dan perayaan Cap Go Meh berpindah tempat.
Kembali ke kegiatan tadi. Suasana acara itu didesain dengan sangat baik sehingga semua peserta yang berbeda latar belakang agama dan kepercayaan itu dimungkinkan untuk saling berdialog. Isi dialog itu tentu menyangkut tentang pengenalan tentang perdamaian pada masing-masing agama dan kepercayaan.
Setelah diberikan beberapa materi, peserta kemudian berdiskusi mengenai langkah yang harus dilakukan generasi muda supaya mengurangi konflik berlatar agama dan kepercayaan. Dalam diskusi yang terbagi kedalam beberapa kelompok itu, salah satu peserta mengusulkan keharusan adanya promosi (promote) perdamaian.
Hemat peserta yang merupakan perwakilan dari generasi muda penganut kepercayaan di Kabupaten Semarang ini, harus ada keberanian dari semua kalangan untuk promosi perdamaian. Dalam pandangannya, selama tokoh-tokoh agama dan kepercayaan diinternal kelompoknya berani untuk promosi perdamaian, eskalasi konflik akan berkurang.
“Kira-kira teman-teman dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama’, dan kelompok agama yang lain, ada keberanian atau tidak untuk mengatakan ‘bahwa umat Kong Hu Chu, orang-orang Kepercayaan punya hak yang sama. Hak bebas beribadah, bebas untuk membangun rumah ibadah dan sebagainya,” kata pemuda penganut Kepercayaan yang sehari-hari sebagai petani sayur di Ungaran ini.
Pertanyaan dari salah satu peserta ini sejenak membuat peserta yang lain dalam small group diskusi ini terdiam. Seakan peserta yang lain berpikir bagaimana reaksi jika mereka mengatakan kebebasan dan persamaan hak semua agama dan kepercayaan di hadapan keluarga dan lingkungan keagamaannya.
Promosi Perdamaian
Penulis yang turut bergabung dengan kelompok ini pun turut sejenak berpikir. Tepat, apa yang disampaikan oleh peserta perwakilan penghayat ini dengan kondisi fakta perdamaian yang ada saat ini ada. Seberapa jauh keberanian tokoh agama, tokoh kepercayaan, kelompok aktivis, dan semua elemen masyarakat dalam menyuarakan perdamaian?
Pertanyaan di atas, mungkin saja ungkapan kegelisahan kelompok penganut Kepercayaan serta kelompok minoritas agama lainnya. Bagaimana mereka merasakan perbedaan perlakuan toleransi dari tokoh agama saat “dipanggung” dan relasi dalam keseharian.
Kemungkinan itu menguat dengan adanya seorang aktivis ormas yang lantang bicara perdamaian dan toleransi sementara kegiatan sehari-hari tolak dan hujan sana-sini. Ada yang tidak seimbang antara pembicaraannya saat di panggung dan saat menjadi soerang aktivis yang seharusnya menjadi aktor pemersatu. Bukan menjadi aktor penolakan kegiatan dengan alasan-alasan tertentu.
Perdamaian yang digemborkan dalam “panggung” hanya sebatas pemanis bibir untuk dapat diakui dan diterima oleh kelompok lintas iman. Namun, gagasan dan idenya tentang perdamaian tak sampai pada level aksi. Jangankan promosi perdamaian pada internal kelompoknya, sebatas pada aplikasi perbuatan untuk dirinya sendiri pun tak berjalan.
Mungkin ini yang disebut Erving Goffman (1922) dengan Dramaturgi atau sandiwara kehidupan yang disajikan manusia. Goffman mengatakan perilaku manusia memerankan bagian depan (front) dan bagian belakang (back).
Front mencakup, setting, personal front (penampilan diri), expressive equipment (peralatan untuk mengekspresikan diri). Sedangkan bagian belakang adalah the self, yaitu semua kegiatan yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan acting atau penampilan diri yang ada pada front.
Goffman mengambil pengandaian bahwa kehidupan individu sebagai panggung sandiwara. Lengkap dengan setting panggung dan akting yang dilakukan oleh individu sebagai aktor “kehidupan.” Sementara ada pula the self yang merupakan peran yang bisa saja bertolak belakang dengan ada yang ditampilkan pada panggung kehidupan.
Adanya dua peran (depan-belakang) oleh aktor perdamaian menjadikan sekat-sekat dan prasangka negatif terhadap penganut agama lain tetap lestari. Terlebih jika “aktor perdamaian dramaturgi” itu justru menjadi bagian dari gerakan-gerakan intoleran di masyarakat.
Sungguh ironis jika kekhawatiran kelompok-kelompok minoritas terhadap tokoh agama dan aktor perdamaian itu terbukti. Dihadap masyarakat rentan konflik dan kekerasan bicara tentang perdamaian. Sementara di internal kelompoknya menjadi aktor intoleran.
Sudah seharusnya promosi perdamaian ini diimplementasikan pada semua level interaksi sosial. Perdamaian tanpa kepura-puraan adalah perdamaian sejati. Inilah sejatinya harus dipromosikan termasuk oleh aparat pemerintah.