Oleh: Sumanto Al Qurtuby
Nyantri di Universitas Boston? Pertanyaan ini tentu saja akan kedengaran aneh dan terasa asing buat kebanyakan kaum Muslim di Indonesia khususnya.
Bagi mereka belajar Islam harus di tempat-tempat yang “Islami” seperti pondok pesantren, madrasah, kampus-kampus (berlabel) Islam di de Oost (maksud saya, Indonesia), atau lebih afdhal lagi di Arab, Timur Tengah, Afrika Utara (wabil khusus Mesir, Saudi Arabia dst dst), atau Asia Tengah seperti Pakistan. Buat kaum Muslim di kampung yang masih “traditional”, pesantren-pesantren salaf akan menjadi jujugan utama. Sementara kaum Muslim yang agak “modern,” tentu akan memilih pesantren, madrasah, atau kampus Islam yang “modern.” Bagi kaum Muslim Shi’ah, madrasah-madrasah di Tehran, Qom, Najaf, dlsb menjadi tempat-tempat pavorit.
Selanjutnya bagi kaum Muslim yang berhaluan “ekstrem kanan” alias Islamis radikal sekolahan model Deobandi di Pakistan (berdiri tahun 1867 oleh Maulana Qasim Nanotvi) menjadi langganan utama untuk menuntut ilmu sekaligus memantapkan iman. Sudah menjadi rahasia umum kalau kaum teroris Muslim dari Indonesia, Malaysia, dan Philippine kebanyakan “jebolan” dari madrasah-madrasah Deobandi yang disponsori oleh Wahabi-Saudi ini yang sejak perang Afghanistan-Soviet tahun 1979 menjadi “markas indoktrinasi” kaum Taliban, Al-Qaeda, dan mujahidin dari Arab dan Asia Tengah untuk menebarkan kebencian dan permusuhan dengan—istilah mereka—kaum zionis (Yahudi), salibis (Kristen), dan Muslim yang tidak sehaluan dengan mereka.
Belajar Islam di tempat-tempat “islami” seperti di atas sudah menjadi, meminjam istilah sosiolog kondang dari Perancis Pierre Bourdieu, “doxa” atau “common beliefs” atau “popular opinions.”
Lalu, kenapa Boston?
Ibukota negara bagian Massachusetts yang didirikan oleh kelompok kolonis puritan Inggris tanggal 17 September 1630 ini dikenal luas sebagai “the Athens of America” atau katakanlah “pusat kebudayaan dan peradaban intelektual Amerika” atau bahkan dunia saat ini. Seperti kita maklumi, Athens yang merupakan ibukota dan kota terbesar di Yunani, merupakan pusat seni, pendidikan, dan filsafat.
Zaman ketika “dunia lain” masih buta huruf, Athens telah melahirkan para filsuf, sastrawan, penulis, politisi cemerlang sekaliber Plato, Aristotle, Socrates, Pericles, Sophocles, dan masih banyak lagi. Athens adalah tempat di mana Aristotales mendirikan Lyceum (335 SM). Athens juga lokasi pendirian Akademia oleh Plato (dikenal Platonic Academy, 387 SM). Keduanya merupakan sekolah filsafat dan politik yang bergengsi pada masanya. Karena reputasi Athens sebagai pusat peradaban intelektual kuno inilah, kota ini disebut sebagai “jangkar peradaban Barat” sekaligus tempat lahirnya demokrasi. Sebutan ini tidak berlebihan karena prestasi politik dan kultural yang dicapai Athens khususnya pada abad ke-4 dan ke-5 SM telah berdampak luas dan mengilhami pencerahan Eropa.
Sebagaimana Athens di zaman sebelum Yesus Kristus lahir, Boston adalah pusat pendidikan, kebudayaan, dan penelitian di Amerika. Di Boston yang merupakah salah satu kota tertua di Amerika ini, terdapat lebih dari seratus kampus berkualitas internasional yang berlokasi di Greater Boston Area dengan jutaan mahasiswa dari berbagai penjuru dunia setiap tahunnya berbondong-bondong membanjiri kota basis pendukung Demokrat ini. Di area inilah berdiri kampus-kampus papan atas seperti Harvard University, Boston University, Tufts University, Massachusetts Institute of Tecknology, Brandeis University, Boston College, Suffolk University dlsb.
Karena reputasi Boston sebagai “Athens-nya Amerika” inilah, maka tidak heran jika kota yang dibelah oleh “Charles River” yang sangat menawan ini menjadi “sarang” para orientalis, pemikir, intelektual, aktivis, dan politisi dari berbagai penjuru dunia. Latar belakang inilah, antara lain, yang mendorong para mahasiswa dari berbagai negara—termasuk Amerika sendiri tentunya—setiap tahunnya berburu kampus di area Boston. Meskipun biaya sekolah di kota ini merupakan yang tertinggi di Amerika—dan mungkin dunia—(catatan: rata-rata uang SPP di kampus-kampus di Boston adalah lebih US$45,000 per tahun!) mereka tetap memilih Boston sebagai prioritas utama belajar.
Kaum Muslim dari berbagai negara berbasis Islam khususnya Arab, Iran, Pakistan, Turki, Mesir, dll, juga banyak yang studi (nyantri) di kawasan bersejarah di Amerika ini.
Karena keterbatasan ruang, saya tidak bermaksud membahas “kultur akademik” kampus-kampus di Boston. Saya hanya ingin menuturkan (secara singkat) pengalaman sekolah dan kesan selama berinteraksi dengan sejumlah orientalis yang mengfokuskan kajian-kajian keislaman di kampus tempat saya nyantri saat ini: Boston University (selanjutnya, BU).
Berdiri tahun 1839, BU merupakan salah satu kampus “liberal” dan terbuka di AS. Di saat dunia Amerika masih dihantui oleh rasisme dan anti-feminisme, BU tampil sebagai garda depan kampus yang terbuka buat semua golongan, agama, ras, dan jenis kelamin. BU adalah kampus pertama di AS yang sejak tahun 1872 semua divisi dan departemen terbuka buat kaum perempuan. Hasilnya, BU adalah kampus pertama di AS yang menelorkan doktor perempuan pertama di AS tahun 1877 bernama Helen Magill. BU juga menjadi kampus pertama yang meluluskan seorang sarjana perempuan di bidang teologi bernama Anna Oliver (lulus tahun 1878). Masih, Dr. Solomon Carter Fuller menjadi psyschiatrist kulit hitam (keturunan Afrika) pertama di AS yang mendapat gelar dari School of Medicine di BU (lulus 1897).
Penting untuk dicatat bahwa masalah kesadaran atas persamaan ras (dalam hal ini warga AS keturunan Afrika yang sering disebut “negro”) dan gender ini mejadi sesuatu yang “terlambat” di AS, meskipun negeri yang memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) lebih dari US$14.3 Trillion ini (sekitar 23% dari total PDB di seluruh dunia) telah merdeka sejak 4 Juli 1776. Pula, meskipun Bill of Rights—sebuah konstitusi yang menjamin hak-hak semua warga negara yang tinggal di wilayah AS tanpa kecuali—telah dicetuskan Thomas Jafferson sejak 1789, tidak secara otomatis semua penduduk dan ras mendapat perlakuan yang sama dan adil oleh negera.
Jamak diketahui bahwa warga kulit putih keturunan Eropa yang menjadi mayoritas etnis di AS yang menguasai struktur politik, ekonomi, dan budaya AS selama berpuluh-puluh tahun sejak negeri ini merdeka dari Inggris. Sebaliknya, warga non-kulit putih (terutama “kaum negro” dan “Hispanic” atau “Latino” yaitu warga AS keturunan Amerika Latin yang menempati mayoritas minoritas di Amerika) menjadi warga “kelas dua.” Karena itu kemenangan Barack Obama yang ayahnya dari Kenya, Afrika itu, pada pemilihan presiden beberapa waktu lalu merupakan prestasi sejarah yang luar biasa buat bangsa Amerika. Meskipun Obama sendiri tidak sepenuhnya “hitam” karena ibunya adalah perempuan kulit putih dari Kansas, AS.
Kaum negro awalnya sengaja didatangkan ke Amerika dari berbagai negara Afrika untuk dipekerjakan sebagai budak penggarap lahan pertanian dan perkebunan. Bahkan Thomas Jafferson sendiri—salah satu founding fathers AS—yang mengecam perbudakan memelihara budak-budak di rumah megahnya di Virginia. Pada waktu itu, kaum negro tidak hanya dikucilkan dari “public sphere” bahkan di tempat-tempat “privacy” seperti toilet, mereka dipisahkan. Rata-rata toilet-toilet umum di AS bertuliskan: “Untuk Kulit Putih.” Bus, restoran, dan tempat-tempat umum lain juga tertuliskan serupa.
Ini tentu menjadi salah satu bagian dari ironi dan “sejarah gelap” Amerika yang menjunjung tinggi kebebasan dan demokrasi.
Tetapi masalah kesadaran atas kesamaan ras dan gender atau persepsi tentang “penghargaan atas minoritas” ini memang selalu datang terlambat tidak hanya di Amerika tetapi di seluruh negara. Hampir semua sektor publik: pendidikan, ekonomi, hukum, pemerintahan dst selalu dinikmati kaum laki-laki dan mayoritas etnis dan agama. Minoritas dan perempuan selalu ditinggalkan di pojok sejarah, dan hanya menjadi “pelengkap penderita.”
Di saat semua ranah publik AS diselimuti aura anti-perempuan itu, BU—di abad ke-19—tampil sebagai vanguard yang memelopori gender equality dengan menerima kaum perempuan sebagai mahasiswa di semua jurusan. Dan di waktu AS diselimuti kabut tebal rasisme, BU lagi-lagi tampil sebagai “forerunner” yang membela persamaan hak kaum negro dan perjuangan anti-rasisme di AS.
Adalah Dr. Martin Luther King, Jr. , yang memperoleh gelar Ph.D. dari BU School of Theology tahun 1955, yang menjadi pelopor utama American Civil Rights Movements (1955-1968) yang menentang diskriminasi ras sekaligus memperjuangkan hak azasi warga kulit hitam Afrika-Amerika. Dr. King—begitu ia biasa disebut—yang dibunuh pada tanggal 4 April 1968 di Memphis, Tennessee, ini menjadi “human rights icon” sekaligus simbol perjuangan perdamaian global karena jerih payahnya melawan segregasi sosial dan ketiadadilan berbasis etnis melalui cara-cara nir-kekerasan dan civil disobedience sebagaimana Gandhi di India atau Badsyah Khan di Pakistan.
Di pintu gerbang kampus BU-lah Dr. King—bersama sejumlah professor (kulit putih) BU—memulai mengobarkan “perang perdamaian” melawan politik dan semangat rasis kaum kulit putih. Setelah menerima Nobel Perdamaian tahun 1964 (penerima nobel termuda dalam sejarah karena usianya yang hanya 35 tahun waktu itu), Dr. King yang lahir tanggal 15 Januari 1929 ini menyerahkan semua manuskrip, records, surat-surat, dan artikel/makalah pribadi ke perpustakaan BU (Mugar Memorial Library). Saya sering melihat-lihat dokumen-dokumen bersejarah termasuk surat-surat tulisan tangan yang ditorehkan Dr. King.
Prestasi Dr. King yang mampu membongkar tembok besar rasisme Amerika ini sering mengilhami civil rights movements dan gerakan anti-perang di berbagai negara. Pidato Dr. King yang bersejarah berjudul “I Have a Dream” pada tanggal 28 Oktober 1963 di komplek Lincoln Memorial di Washington, D.C., di hadapan 250,000 ribu aktivis dan pendukung perjuangan HAM juga sering memberi inspirasi gerakan-gerakan perubahan global. Tak luput Barack Obama menjadikan tanggal pidato bersejarah-nya Dr. King, 28 October, sebagai hari “peresmian” pasangan presiden-wapres Demokrat Obama-Biden. Dalam beberapa hal, Obama memang sering disamakan dengan Dr. King terutama gaya berpidato yang memukau dan menggelegar!
***
Aura dan “kharisma” BU sebagai “kampus egaliter” yang menentang diskrimiasi berbasis ras, agama, dan gender ini masih terasa kuat sampai sekarang. Dalam hal kajian-kajian keislaman misalnya, BU menjadi salah satu kampus pelopor yang melawan wacana diskriminasi atas Islam dan dunia Muslim yang ditebarkan oleh sebagian kelompok “unfriendly orientalists,” politisi, pendeta, jurnalis, dlsb. Bagi mereka—juga sebagian besar warga AS—masyarakat Muslim tidak bisa dilepaskan dari sejarah, doktrin, ajaran, dan wacana keislaman yang bias, tidak egaliter, intolerant, anti-pluralisme, serta mendukung pendirian sistem kekhalifahan (Islamic chalipate) yang mengancam eksistensi masyarakat non-Muslim dan sendi-sendi demokrasi serta anti konsep citizenship dan public cultures of civility di mana setiap warga memiliki hak yang sama dalam sebuah sistem kepolitikan. Pencitraan yang begitu negatif atas Islam dan kaum Muslim itu masih tumbuh subur di AS, terutama golongan agama konservatif baik Yahudi maupun Kristen. Lebih dari itu, ada persepsi yang kuat bahwa umat Islam mudah dibangkitkan untuk melakukan tindakan terorisme dan kekerasan global.
Salah satu organisasi berbasis Islam di AS yang bernama “The Notion of Islam” (NOI) sering dijadikan sebagai rujukan (sebagian) masyarakat AS dari kalangan elit politisi sampai warga biasa tentang “fakta keislaman” yang tidak bisa bersinergi dengan ide-ide dan konsep kewarganegaraan, demokrasi, liberalisme, kebebasan, dan pluralisme yang menjadi “ruh” kebudayaan Barat dan AS. Obama juga pernah dikaitkan dengan organisasi Islam militan ini dalam rangka menurunkan citra dan memerosotkan popularitasnya, meskipun pada akhirnya strategi kubu Republikan ini gagal total dan hanya membuat mereka gigit jari.
Didirikan oleh Wallace Fard Muhammad pada tahun 1930 di Detroit, Michigan, NOI pada awalnya merupakan organisasi keagamaan yang bertujuan membangkitkan kembali mentalitas dan spiritualitas perempuan dan warga kulit hitam AS dari perilaku diskriminasi kulit putih di satu sisi dan mempromosikan Islam sebagai sistem keagamaan yang membawa perdamaian global. Spirit ini terus dilanjutkan ketika NOI dipimpin oleh tokoh spiritual Muslim AS berpengaruh, Elijah Muhammad (1897-1975), guru Malcolm X yang sangat populer itu. Namun ketika organisasi ini dipegang oleh Louis Farrakhan (lahir 1933) sejak 1973, NOI menjadi kental aura “politik Islam”-nya. Farrakhan-lah tokoh Muslim AS yang gencar menyuarakan sistem kekhalifahan Islam dan menjadikan NOI sebagai “kendaraan” untuk mewujudkan terciptanya “the real notion of Islam” di AS. Sejak itu, tokoh yang waktu lahir bernama Louis Eugene Walcott ini, kemudian dianggap sebagai simbol “Islam garis keras” yang membahayakan sistem kepolitikan AS yang dibangun di atas fondasi demokrasi liberal.
Kecurigaan AS terhadap dunia Islam yang tidak ramah dengan AS ini semakin menguat sejak terjadi insiden yang mengguncang dunia: tragedi 11 September, 2001. Insiden peledakkan gedung WTC dan Pentagon yang menjadi landmark ekonomi dan pertahanan AS ini menyebabkan sedikitnya 3,000 jiwa melayang, sebuah peristiwa yang masih menyisakan trauma mendalam di benak warga AS hingga sekarang ini. Tragedi inilah yang mendorong lahirnya kebijakan politik “war on terror” oleh pemerintah George W. Bush yang menjadikan umat Islam sebagai TO (“target operasi”). Atas nama “war on terror” ini, Bush membombardir Afghanistan, menggempur Iraq, dan menangkap kaum Muslim yang di-stemple teroris lalu dijebloskan dan disiksa di penjara paling mengerikan di jagat ini: Goantanamo. Dipicu oleh ambisi untuk memusnahkan kaum teroris, Bush telah menghabiskan dana lebih dari US$600 milyar!
Pasca tragedi 11 September itu, banyak warga Barat (AS khususnya) yang berbondong-bondong memborong Al-Qur’an untuk mempelajari hubungan Islam dan terorisme global. Para produser dan sutradara film di Holywood juga sibuk membuat film-film tentang terorisme dengan menampilkan para aktor Arab sebagai teroris-nya. Di berbagai stasiun TV saya lihat juga banyak yang menampilkan film serupa. Para pendeta gereja konservatif lebih sadis lagi dalam menyerang Islam dan kaum Muslim. Para komentator politik dan agama, lebih lanjut, juga sibuk menguliti akar-akar Islam dan terorisme. Buku karya Bernard Lewis, What Went Wrong? yang mengkaji soal akar-akar sejarah terorisme dan kekerasan dalam Islam kemudian menjadi rujukan utama bagi kelompok “anti-Islam” untuk meng-stempel Islam sebagai “violent religion.” Demikian juga buku-buku yang ditulis para ahli “terorisme global” seperti Angel Rabasa, Abuza Zachary, Rohan Gunaratna, dll khususnya yang berkaitan dengan “jaringan terorisme global” dan radikalisme Islam, ramai dikutip dimana-mana. Uniknya, ketika rezim Bush membombardir Afghanistan dan Iraq, tidak ada kaum Muslim yang bergairah untuk membeli Injil guna mempelajari doktrin-doktrin Kristen tentang perang dan terorisme.
Sejak tragedi “Sabtu kelabu” itu, pelan-pelan atau diam-diam kata “terorisme” dan “kekerasan agama” dikaitkan dengan Islam dan “budaya” kaum Muslim. Dan label “teroris” menjadi (di)identik(kan) dengan umat Islam.
Terima kasih saya ucapkan pada BU, antara lain, yang bersusah payah berdakwah menebarkan wacana akademik dan intelektualitas yang imbang dan adil dalam melihat dan menilai “fakta” Islam dan kaum Muslim. Sudah jamak diketahui di publik akademik AS khususnya jika para profesor di BU adalah para “pendekar” yang membela diskursus Islam yang “toleran, pluralis, pacifis, dan demokratis.” Para profesor di BU juga menjadi salah satu pioneer yang membela kaum Muslim yang mendapat perlakuan tidak adil dari kelompok orientalis anti-Islam yang menuding Islam sebagai “agama teroris dan kekerasan.” Ada banyak profesor di BU yang begitu gigih membela pandangan Islam yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi serta sangat bersahabat dengan tokoh-tokoh Muslim. Karena keterbatasan ruang, dalam tulisan singkat ini, saya akan sebut beberapa profesor saja.
Di antara profesor dimaksud adalah Augustus Richard Norton yang kini menjadi salah satu tim penasehat Obama untuk urusan dunia Arab dan Timur Tengah. Prof. Norton memang dikenal luas sebagai ahli masalah keislaman khususnya dunia Arab, Timur Tengah, dan Afrika Utara. Selama lebih dari 30 tahun, Prof. Norton yang menulis puluhan buku antara lain dua jilid Civil Society in the Middle East ini telah bergumul dengan masalah-masalah social-politik masyarakat Islam di kawasan itu dan pernah tinggal di berbagai negara Arab seperti Jordan, Kuwait, Mesir, dan Lebanon sehingga memahami dinamika politik umat Islam di Timur Tengah. Reputasi Prof. Norton yang begitu luas di dunia Islam Timur Tengah ini dibuktikan dengan berbagai jabatan yang ia sandang, al, sebagai penasehat utama “Iraq Study Group” (Baker-Humilton Comission) yang dibentuk Presiden Bush pada tahun 2006 untuk memberi masukan kaitannya dengan masalah keamanan dan perkembangan di Iraq. Sayangnya, kata Prof. Norton yang juga mantan jenderal ini, nasihat-nasihatnya untuk menarik mundur pasukan AS dari Iraq dan mengganti “politik perang” dengan “politik diplomasi” tidak pernah digubris oleh Bush. Padahal Prof. Norton yang juga Academic Board the Oxford Centre for Islamic Studies ini adalah figur yang mendorong proses rekonsiliasi damai dan terciptanya iklim demokrasi di berbagai negara Timur Tengah yang terlibat konflik Lebanon, Iraq, Mesir, dan Palestine dengan menggalang kerja sama dengan berbagai tokoh agama. Dari dikusi-diskusi di kelas maupun pertemuan-pertemuan informal di luar jam sekolah, saya bisa merasakan visinya yang begitu kuat untuk menciptakan global security dan citra positif Islam bagi audien Barat dan Amerika.
Profesor senior lain yang sangat simpatik terhadap Islam adalah Herbert W. Mason. Prof. Mason adalah salah satu murid terbaik Louis Massignon (1883-1962), salah seorang islamolog dan pengamat sufisme terkemuka di Eropa. Massignon yang menulis puluhan buku dan empat volume tentang mistisisme Islam khususnya tentang Al-Hallaj ini pernah menjadi ketua departemen Sosiologi Muslim selama 30 tahun (1924-1954) di kampus prestisius di Perancis: College de France—sebuah departemen yang didirikan oleh bekas gurunya, Alfred Le Chatelier. Berbeda dengan kebanyakan kaum orientalis Eropa sebayanya yang sangat “nyinyir” terhadap Islam, Massignon tampil simpatik dan mencoba menyelami sejarah dan diskursus Islam “dari dalam” (approach from within). Ia kemudian mulai belajar bahasa Arab di beberapa negara di Timur Tengah khususnya Morocco. Setelah puluhan tahun menggeluti Islam, Massignon kemudian tampil membela keagungan wacana keislaman, khususnya tradisi sufisme yang di Barat dikenal dengan Islamic mysticism. Hasilnya, karya-karya akademik Massignon yang simpatik ini pun berpengaruh luas di Barat dan Eropa. Deklarasi Nostra Aetate tentang membangun hubungan yang toleran antara Gereja dengan agama-agama diluar Kristen yang sangat masyhur itu yang dikeluarkan oleh Gereja Katolik Roma (dikenal Vatican II) tidak lepas dari pengaruh karya agung Massignon.
Watak inilah yang kemudian di-“kloning” oleh Prof. Mason. Sebagaimana mendiang gurunya, Prof. Mason juga dikenal luas sebagai salah satu ikon orientalis yang sangat simpatik terhadap tradisi intelektualisme Islam khususnya sufisme. Lewat sentuhan Prof. Mason-lah karya-karya Massignon yang berbahasa Perancis kemudian bisa dinikmati oleh dunia Amerika dan Barat pada umumnya setelah ia menerjemahkan, memberi anotasi, dan pengantar karya-karya mantan gurunya termasuk empat jilid besar The Passion of al-Hallaj. Selain itu, Prof. Mason juga puluhan buku tentang Islam dan dunia tasawuf, al, Gilgamesh, Al-Hallaj, dan Memoir of a Friend: Louis Massignon. Apresiasi dan komitmen Prof. Mason terhadap Islam ini diwujudkan dalam bentuk pendirian lembaga riset Institute for the Study of Muslim Societies and Civilizations (biasa disingkat SMSC—selanjutnya lihat di http://www.bu.edu/smscinst) di BU yang menjadi payung para profesor, peneliti, dan mahasiswa yang mengkaji khazanah Islam dan budaya Muslim. Dalam kalimat pembuka lembaga itu tertulis: “the Institute [SMSC] reflects the university’s long-standing commitment to the advancement of scholarship of the Muslim world and acts as an interdisciplinary meeting point for scholars and researchers in diverse fields, including anthropology, history, religion, literature, and the arts.” Jadi jelas, pendirian SMSC tidak hanya menunjukkan komitmen dan dedikasi Prof. Mason secara pribadi tetapi BU sebagai institusi pendidikan terhadap diskursus dan dunia Islam. Sebagai lembaga riset yang mengfokuskan pada kajian Islam dan kaum Muslim, SMSC menjadi tempat hilir-mudik para sarjana dan islamolog dari berbagai lintas disiplin. SMSC juga mengoleksi ribuan karya-karya klasik Islam dalam bahasa Arab, Persia, Urdu, dan Turki. Suatu saat saya ingin menyumbangkan karya-karya para ulama Indonesia seperti Kiai Bisri Mustafa, Kiai Abdul Hamid Kendal, Kiai Saleh Darat, Kiai Ahmad Rifa’i dlsb untuk dikoleksi di perpustakaan SMSC.
Selain Prof. Mason, saya juga ingin menyebut Prof. Thomas Barfiled yang sekarang menjabat direktur SMSC menggantikan Prof. Mason yang memasuki masa pensiun. Prof. Barfield juga menjabat sebagai Presiden American Institute of Afghanistan Studies (disingkat AIAS), sebuah lembaga riset yang didirikan oleh para ahli dan sarjana dari berbagai perguruan tinggi terkemuka di AS yang didedikasikan untuk mengkaji aspek-aspek kebudayaan, sejarah, dan masyarakat Afghanistan (selanjutnya lihat di http://bu.edu/aias). Dalam dunia akademik Amerika, Prof. Barfield dikenal luas sebagi anthropolog, sejarawan, dan Islamolog yang mengfokuskan pada kajian masyarakat Islam di Asia Tengah khususnya Afghanistan, Pakistan, dan sejarah Mongol. Prof. Barfield telah menulis beberapa buku penting yang kemudian menjadi rujukan tentang sejarah Afghanistan, al, The Central Asian Arabs of Afghanistan: Pastoral Nomadism in Transition. Meneliti masyarakat Islam Asia Tengah dan Afghanistan khususnya sejak 1970an, Prof. Barfield menjadi rujukan utama tentang hal-ikhwal yang berkaitan dengan studi Afghanistan. Selain itu, karena posisinya sebagai Presiden AIAS, Prof. Barfield juga menjadi penasehat penting pemerintah AS maupun lembaga-lembaga internasional kaitannya dengan usaha-usaha community building dan resolusi konflik di Afghanistan. Semester Fall lalu, saya berkesempatan mengambil mata kuliah Afghanistan yang diampu Prof. Barfield. Diluar dugaan, mahasiswa yang mengambil kelas ini begitu membludak. Mungkin karena faktor invasi Amerika ke negeri tempat kelahiran sufi dan penyair Muslim legendaris: Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273) ini sehingga membuat para mahasiswa yang kebanyakan warga Amerika ini tertarik mengambil kelas Afghanistan.
Saya sendiri mengambil kelas ini karena didorong rasa ingin tahu historisitas dan dinamika politik Afghanistan baik sebelum maupun sesudah rezim Taliban-nya Mullah Omar. Sebagai tugas akhir, saya menulis makalah riset tentang jaringan teroris Asia Tenggara di Afghanistan khususnya sejak invasi Soviet akhir tahun 1979. Berbeda dengan pendapat kelompok militan Islam yang kebanyakan hanya menyalahkan Soviet sebagai “biang kerok” penjajahan, saya berpendapat bahwa masuknya Soviet sebetulnya adalah “undangan” dari rezim komunis Muslim Afghanistan via People’s Democratic Party of Afghanistan (PDPA) yang berhasil menguasai pemerintahan lewat kudeta berdarah tahun 1978. Intervensi tentara Soviet karena didorong kekacauan internal di Afghanistan akibat sayap radikal komunis di PDPA ingin melakukan revolusi total dan mengganti sistem politik di Afghanistan dengan sistem komunis Soviet. Setelah selama satu semester mempelajari Afghanistan di bawah otoritas Prof. Barfield, kesimpulan saya negeri ini sejak Afghanistan secara resimi berdiri tahun 1747 oleh Ahmad Shah Durani hingga kini selalu diwarnai konflik dan pertikaian internal baik antar etnik, antar klan dalam satu etnis yang sama, antar ideologi yang berbeda, atau antar pendukung ideologi dan agama tertentu. Konflik semakin mengeras setelah masuknya kelompok radikal Arab-Wahabi-Salafi di Afghanistan yang dimobilisasi oleh Abdullah Azam dan Osama Bin Laden sejak awal tahun 1980an. Saya ingin menulis reserach paper khusus tentang dinamika politik di Afghanistan yang sangat menggelora ini.
Profesor terkemuka lain di BU adalah Merlin Swartz. Selain dikenal sebagai ahli sejarah intelektual Islam abad pertengahan, Prof. Merlin adalah profesor studi Islam dan perbandingan agama di BU sejak tahun 1973. Selain itu, Prof. Merlin juga dikenal sebagai ahli di bidang studi mazhab Hanbali lebih khusus lagi tentang pemikiran Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Jawzi. Sebagai pakar kajian mazhab Hanbali, Prof. Merlin yang pernah mengajar di American University di Beirut, Lebanon ini juga mennulis beberapa buku tentang mazhab ini baik dalam bahasa Arab maupun Inggris. Beberapa buku penting Prof. Merlin, al, Ibn al-Jawzi’s Kitab al-Qussas wa al-Mudhakkirin, A Medieval Critique of Anthropomorphism:Ibn al-Jawzi’s al-Akhbar al-Siffat dan masih banyak lagi. Kebetulan Prof. Merlin adalah satu almamater dengan saya karena sama-sama alumnus Eastern Mennonite University di Harrisonburg, Virginia, meskipun berbeda jurusan. Hanya saja kalau Prof. Merlin lulus tahun 1955, saya selesai studi MA bidang resolusi konflik dan peace studies di musim panas 2007. Meskipun saya dan Prof. Merlin berbeda departemen, kami sering bertemu dan ngobrol masalah isu-isu keislaman. Saya sendiri pernah diundang oleh Prof. Merlin untuk mengisi pengajian Minggu di Gereja Mennonite Boston yang berlokasi di samping Harvard Divinity School di Harvard University. Mengisi diskusi di hadapan jamaah Mennonite yang kebanyakan para profesor di berbagai kampus di area Boston ini sangat mengesankan karena terjadi dialog yang sehat dan terbuka mengenai Islam dan isu-isu masyarakat Islam di Indonesia khususnya. Dalam berbagai kesempatan, Prof. Merlin yang musim Spring 2009 menjadi visiting professor di National University fo Singapore (NUS) karena diundang oleh bekas muridnya R. Michael Feener yang menjadi profesor di NUS. Feener yang meraih Ph.D. dari BU Department of Religion di bawah bimbingan Prof. Merlin adalah Indonesianist dan penulis beberapa buku bagus, al, Muslim Legal Thought in Modern Indonesia dan Islam in World Cultures: Comparative Perspectives. Hasil pergumulan dan diskusi bersama Prof. Merlin ada kesan kuat bahwa ia seorang sarjana yang “cover both sides” dalam melihat persoalan yang menimpa dunia Islam dan sejarah keislaman. Ini tentu saja jauh berbeda dengan, misalnya, Prof. Bernard Lewis dari Princeton University yang dikenal sangat “miring” terhadap Islam.
Charles Lindholm adalah nama lain yang perlu disebut dalam deretan empu atau orientalis yang simpatik dalam studi keislaman dan komunitas Muslim. Disertasi Prof. Lindholm yang kemudian terbit dalam sebuah buku berjudul Generosity and Jealousy: The Swat Pukhtun of Nothern Pakistan adalah tentang etnik Pasthun di Pakistan utara. Pashtun adalah etnik Muslim terbesar di Pakistan Utara dan Afghanistan yang selama bertahun-tahun menguasai sistem kepolitikan Afghanistan. Sebagai seorang anthropolog yang menekuni studi masyarakat Islam, Prof. Lindholm tidak hanya mengfokuskan pada budaya masyarakat Islam di Pakistan tetapi juga Timur Tengah secara umum. Buku Prof. Lindholm yang menarik lain adalah The Islamic Middle East: A Historical Anthropology dan Middle East: Tradition and Change. Selain itu, minat akademik Prof. Lindholm juga menyangkut sufisme. Hasil pergumulannya dengan komunitas sufi dan literatur tentang mistisisme Islam ini menghasilkan karya yang sangat baik: Charisma. Menggunakan teori Max Weber tentang kharisma, Prof. Lindholm mengkaji fenomena charismatic leadership dalam tradisi keagamaan/keislaman khususnya para guru sufi. Buku Prof. Lindholm yang terbaru, Culture and Authenticity, juga mendapat penghargaan luas dari publik akademik Amerika. Kesan saya, Prof. Lindholm adalah pribadi yang bijak, alim, cerdas, rendah hati, kharismatik, dan lucu. Di kelas, setiap ngajar Prof. Lindholm selalu menyelingi dengan cerita humor yang diambil dari kisah-kisah lucu dan konyol tapi cerdas dari figur seperti Abu Nawas dan Nashrudin Khoja. Tak pelak, ceritanya itu selalu membuat kelas bergemuruh dengan gelak tawa. Prof. Lindholm selalu bilang ke mahasiswa bahwa kisah-kisah Abu Nawas dan Nashrudin itu tidak hanya murni dagelan ala ketoprak humor tetapi cermin dari atau bahkan kritik atas situasi sosial dan politik pada zamannya. Humor, kata Prof. Lindholm, tidak hanya menyehatkan tetapi juga mencerdaskan!
Nama lain yang layak dikemukakan disini adalah Stephen Prothero, profesor agama dan kebudayaan. Prof. Prothero tidak hanya seorang akademikus dan penulis ulung tetapi juga selebritis dan pembicara yang menawan khususnya mengenai tema-tema keagamaan termasuk Islam. Selain itu Prof. Prothero tidak hanya menulis buku-buku yang kemudian menjadi bestseller seperti Religious Literacy: What Every American Needs To Know and Doesn’t dan American Jesus: How the Son of God became a National Icon tetapi juga kolumnis tetap di sejumlah media bergengsi seperti New York Times, Washington Post, Wall Street Journal, Newsweek, Los Angeles Times,Boston Globe dan masih banyak lagi. Ia juga kerap tampil di berbagai show tv yang mengulas masalah keagamaan termasuk The Oprah Winfrey Show dan The Daily Show with Jon Stewart yang keren itu. Di koran USA Today, Prof. Prothero belum lama ini menulis artikel menarik berjudul “The Islam you don’t hear about” dimana ia menganalisis wacana keislaman dan budaya Muslim di Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Prof. Prothero menjelaskan—dan itu benar adanya—bahwa pusat kaum Muslim bukan di Arab atau Timur Tengah tetapi Indonesia, Pakistan, Bangladesh, India, Turki, dan Iran. Jumlah kaum Muslim di seluruh kawasan Arab hanyalah sekitar 20% dari total 1,3 milyar umat Islam di planet ini. Fakta ini tidak banyak diketahui oleh non-Muslim bahkan oleh warga Amerika sendiri. Bagi kebanyakan warga Amerika masalah Islam memang selalu dilihat dari sudut pandang Arab dan Timur Tengah. Selanjutnya, Prof. Prothero menjelaskan dinamika Islam di Indonesia yang menurutnya didominasi warga Muslim moderat dan demokratis. Saat ini, Prof. Prothero sedang menggarap sebuah proyek penelitian untuk melanjutkan karya agung Huston Smith: The World’s Religions: Our Great Wisdom Traditions.
Tidak hanya kaum laki-laki saja yang mendominasi jagat intelektual Amerika, para profesor perempuan di BU juga banyak yang menjadi ikon studi keislaman yang akademis, imbang, dan simpatik. Di antara mereka adalah Shahla Haeri. Prof. Haeri adalah salah satu feminis Muslim penting di Amerika yang namanya bisa disejajarkan dengan Laela Ahmad, Asma Barlas, Fatima Mernissi, Amina Wadud, Asra Nomani, Yvonne Hadad, Kecia Ali, dan lain-lain. Ia menulis beberapa buku, al, Law of Desire: Temporary Marriage in Shi’i Islam dan No Shame for the Sun: Lives of Professional Pakistani Women. Selain menjadi profesor di departemen anthropologi, Prof. Haeri juga memimpin Women’s Studies Program di BU yang menawarkan beberapa mata kuliah penting khususnya tentang Islam dan perempuan. Meskipun saya belum berkesempatan mengambil mata kuliah Prof. Haeri, saya beberapa bertemu dan berdiskusi tentang isu-isu perempuan dalam dunia Islam khususnya Iran, Pakistan, dan India yang menjadi area keahlian-nya. Teman saya, En-Chieh Chao dan Cedony Allen, yang mengambil mata kuliah Prof. Haeri mengatakan bahwa kelasnya menarik dan diikuti banyak mahasiswa perempuan Amerika. Menurut teman saya tadi, Prof. Haeri selalu memberi tugas kepada mahasiswanya—yang rata-rata non-Muslim—untuk melakukan wawancara atau bergaul dengan perempuan Muslim agar mendapat pengalaman atau gambaran “budaya” mereka. Istri saya termasuk yang diwawancarai oleh En-Chieh. Pengalaman “lintas-bidaya” ini tentu saja menjadi sesuatu yang sangat penting dalam tradisi intelektual karena bergaul dengan komunitas diluar agama dan etnis kita akan memperkaya perspektif dan lebih penting lagi bisa membuahkan “cross-cultural understandings” dan terhindar dari penyakit “etnocentris” yang merasa sukunya atau agamanya paling benar sendiri.
Selain Prof. Haeri, BU juga memiliki Prof. Jenny White yang dikenal luas sebagai ahli tentang masyarakat Muslim dan politik Turki. Prof. White tidak hanya dikenal sebagai antropolog dan pengamat Islam khususnya Turki tetapi juga novelis andal. Buku-buku yang ditulisnya baik fiksi maupun non-fiksi selalu mendapat penghargaan. Buku Islamist Mobilization in Turkey misalnya mendapat Douglass Prize tahun 2003 sebagai buku terbaik tentang anthropologi Eropa. Karya ini menjelaskan femonena kemunculan dan dinamika politik Islam di Turki sejak 1990an yang mengantarkan kemenangan partai “Islamis” Justice and Development Party pimpinan Recep Tayyip Erdogan sebagai jawara. Karya novel-nya The Sultan’s Seal yang diterjemahkan ke dalam empat belas bahasa juga menjadi salah satu dari sepuluh novel terbaik untuk kategori “novel sejarah.” The Sultan’s Seal mengisahkan tentang dinamika politik di Turki adab ke-19 ketika negeri ini masih bernama Ottoman Empire. Karya novel kedua Prof. White yang terbit tahun ini berjudul The Abyssinian Proof yang mengisahkan tentang tokoh legendari Turki abad ke-19: Kamil Pasha juga menjadi bestseller. Prof. Norton pernah mengundang Prof. White sebagai guest speaker di kelas “Civil Society in the Middle East” tahun lalu untuk berbicara tentang dinamika politik Islam di Turki. Dari situ saya mendapat kesan, Prof. White memang sangat brilian dan menguasai literatur dan sejarah Turki. Saya memang belum pernah mengambil mata kuliahnya, tetapi semester Spring 2009 ini saya sudah mendaftar mata kuliah Turki yang diampu Prof. White. Tentu saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan baik untuk berdiskusi dengan Prof. White yang keturunan Jerman ini.
Selain nama-nama beken di atas, satu lagi saya ingin menyebut Prof. Houchang Chehabi yang dikenal luas di publik Amerika sebagai ahli Iran dan Islam Shi’ah di berbagai negara Muslim di Timur Tengah dan Asia Tengah. Semester Fall 2008, saya berkesempatan mengambil mata kuliahnya, Transnational Shiisme. Dari sekitar tujuh belasan mahasiswa pascasarjana yang mengambil kelas ini, hanya saya yang “orang asing.” Semua teman saya adalah warga Amerika dan beberapa di antaranya adalah tentara yang pernah bertugas di Irak, Jordan, Kuwait, dan Mesir. Dua buku Prof. Chehabi—Iranian Politics and Religious Modernism: The Liberation Movement of Iran under the Shah and Khomeini serta Distant Relations: Iran and Lebanon in the Last 500 years—menjadi rujukan penting dalam pelajaran Shi’ah dan politik Iran di publik akademik AS. Dari Prof. Chehabi yang juga mengajar di Harvard University ini saya mendpat pelajaran berharga mengenai perkembangan dan dinamika politik kaum Muslim Shi’ah yang sering diabaikan oleh Muslim Sunni. Semester Fall lalu saya sengaja mendaftar mata kuliah ini untuk mengetahui sejarah, budaya, dan politik kaum Shi’ah di berbagai negara khususnya Iran, Iraq, Lebanon, Pakistan, India, Saudi Arabia, Kuwait, dan Jordan. Dengan mempelajari kultur dan politik warga Shi’ah di berbagai negara, saya mendapat gambaran luas mengenai perkembangan sosial politik Shi’ah baik di negara-negara yang didominasi oleh Shi’ah seperti Iran dan Iraq atau di negara dimana Shi’ah menjadi minoritas seperti Saudi Arabdia, Pakistan, India, dan seterusnya.
Ikon oreintalis terkemuka lain yang dimiliki BU adalah Prof. Peter L. Berger (lahir 1929). Dikenal di Indonesia lewat buku-buku klasik yang terbit tahun 1960an seperti The Sacred Canopy: Elements of Sociological Theory of Religions serta A Rumor of Angels: Modern Society and the Rediscovery of the Supernatural, Prof. Peter (begitu ia biasa diapa) adalah salah satu “maskot” BU yang tidak hanya dikenal dalam jagat akademik Amerika tetapi juga dunia. Sudah tidak terhitung lagi berapa karya akademik Prof. Peter yang mencakup bidang studi sosiologi agama, teologi, filsafat, politik, dan pemikiran keagamaan. Sayang saya tidak sempat mengambil mata kuliah dengan Prof. Peter karena ia sudah tidak mengajar lagi. Meski begitu saya beberapa kali berdiskusi dengannya terutama di lembaga riset bergengsi yang ia dirikan di BU bernama Institute on Culture, Religion, and World Affairs (CURA). Di CURA inilah berbagai intelektual top dunia dari Samuel Huntington sampai John Esposito silih berganti diundang untuk presentasi. Prof. Peter juga bercerita kalau Gus Dur pernah diundang dua kali untuk berbicara tentang Islam di Indonesia. Sebagai salah satu fellow di CURA saya mendapat kesempatan emas untuk berdiskusi bersama Prof. Peter dan siapa saja yang diundang lembaga ini untuk presentasi hasil riset terutama tentang isu-isu keagamaan dan kaitannya dengan masalah sosial-politik, ekonomi, dan budaya. Meskipun sudah berusia lanjut, Prof. Peter masih tampak segar bugar. Jauh dari bayangan awal saya, Prof. Peter ternyata sosok yang suka humor. Tentu saja humor yang “mencerdaskan” bukan humor model Thukul “Renaldi” Arwana misalnya. Sebagai seorang Weberian, kerangka teoretik Prof. Peter tidak lepas dari pendekatan Max Weber. Kini, Prof. Peter sedang menekuni gerakan keagamaan modern seperti Pantecostalisme dan kelompok-kelompok konservatif agama termasuk dalam Islam dan kaitannya dengan etos ekonomi dan modernisme.
Sebagai penutup tulisan pendek ini, saya juga ingin menyebut mentor dan sekaligus academic advisor saya, Prof. Robert W. Hefner yang di Indonesia populer lewat buku-nya Geger Tengger (edisi Inggris-nya Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam) dan Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Sudah tidak terhitung lagi berapa karya ilmiah Prof. Hefner. Tahun 2009 ini saja ada dua karya penting yang lahir dari tangan berbakat Prof. Hefner: Islamic Schools in Southeast Asia: Piety, Politics, and New Religious Movements serta Muslims and Modernity: Culture and Society since 1800 yang terbit sebagai bagian dari seri New Cambridge History of Islam. Sebagai orientalis Islam terkemuka, Prof. Hefner yang juga menjabat sebagai Associate Director dan Direktur Program on Islam and Civil Society di CURA (sebagai “wakil” Prof. Peter Berger) menduduki berbagai jabatan penting di Australia, Eropa, dan Amerika. Terakhir Prof. Hefner terpilih sebagai Presiden Association for Asian Studies (AAS)—sebuah badan yang membawahi lebih dari tujuh ribu professor di seluruh dunia yang fokus pada kajian Asia. Sebagai academic advisor saya, sudah dua semester saya mengambil “directed study” yang langsung di bawah bimbingan Prof. Hefner.
Dari pergumulan saya bersamanya selama ini, saya mendapat kesan kuat bahwa Prof. Hefner adalah tipe intelektual yang sangat peduli dengan aspek-aspek pluralisme dan demokrasi dalam Islam. Karena komitmen inilah, Prof. Hefner menjadi salah tokoh “garda depan” dalam membela kaum Muslim yang “dikucilkan” dalam diskursus akademik Barat sekaligus pengkritik keras para orientalis yang hanya melihat sisi negatif atau aspek buruk Islam seperti kekerasan, terorisme, anti-feminisme, dll yang dikembangkan kalangan konservatif agama. Prof. Hefner bercerita banyak mengenai petualangan intelektual-nya di forum-forum internasional dalam menghadapi para pengamat dan komentator yang “sinis” terhadap wacana dan sejarah keislaman serta kultur dan politik umat Islam yang—menurut mereka—tidak bisa diajak maju baik dalam pemikiran maupun perekonomian. Sikap Prof. Hefner yang pro-terhadap gagasan pluralisme dan demokrasi Islam ini dituangkan dalam berbagai karya garapannya seperti Remaking Muslim Politics: Pluralism, Contestation, Democratization yang diterbitkan oleh Princeton University. Saat ini Prof. Hefner tidak hanya fokus pada kajian-kajian sosial politik dan kultur umat Islam di Asia Tenggara tetapi juga di berbagai negara berbasis Islam. Dari sini kita bisa lihat perkembangan karir akademik Prof. Hefner. Dari pengamat Tengger, Java, Indonesia, Asia Tenggara, dan sekarang melangkah menjadi pengamat Islam di seluruh dunia.
***
Terlalu sempit ruang ini untuk menulis jagat akademik BU yang demikian luas. Tempat ini juga terlalu mini untuk menjelenterehkan daftar professor beken BU yang concern dan positive thinking terhadap Islam dan umat Islam sebut saja misalnya Fredrik Barth (lahir 1928) yang kini dijuluki sebagai “the greatest living anthropologist” sepeninggal Clifford Geertz. Ruang lingkup dan area riset Prof. Barth begitu luas mulai dari Darfur-Sudan, Oman, Pakistan, New Guenia, Iran, sampai Bali. Prof. Barth juga menulis buku tentang Bali yang berjudul Balinese World yang mengkritik pendekatan Clifford Geertz dalam melihat relasi agama dan politik di Bali. Nama-nama penting lain dalam diskursus agama dan kajian Islam adalah Kecia Ali, Frank Korom, Adam Seligman, Nancy Smith-Hafner, Betty Anderson, Charles Dunbar, Diana Lobel, Elizabeth Prodromou, dlsb. Suatu saat saya ingin menulis biografi sosial dan kultur akademik di BU ini dalam sebuah buku.
Meski begitu, tulisan singkat ini cukup memberi gambaran dan alasan kuat saya nyantri di Boston University, universitas terbesar keempat di Amerika. Di saat banyak kaum Muslim yang curiga terhadap orientalis Barat dan Amerika, saya justru menemukan para profesor yang saleh, alim, dan pro-umat Islam disini. Belakangan saya juga mendengar isu BU mendukung pendirian sebuah masjid di dalam komplek kampus milik Kristen Methodis ini. Apa makna semua ini?