Oleh: Tedi Kholiludin
Dalam “The Religion of Java,” salah satu yang ditelaah Clifford Geertz adalah perayaan hari besar dari perspektif integrasi sosial dan konflik. Perayaan-perayaan, upacara, serta praktek yang berlaku di masyarakat Jawa mencerminkan hubungan diametral, harmoni maupun konflik.
Terlepas dari perbedaan di level struktur sosial, ada hal yang memersatukan elemen-elemen sosial dalam masyarakat Jawa ini. Menurut Geertz itu ada dalam rasa satu kebudayaan.
Kata Geertz hal itu dilihat dari dua kacamata. Pertama, perasaan bahwa masa sekarang mengalami kemerosotan jika dilihat dari masa lalu, khususnya jika dilihat dari ukuran tradisional, praktek yang dipakai oleh orang tua mereka dahulu. Kedua, rasa kebangsaan yang sedang tumbuh dan memainkan sentimen harga diri bangsa dan menjadi penghadang bagi disintegrasi sosial. Alasan inilah yang pada gilirannya menjadi faktor integratif.
Dalam studinya Geertz, ada dua momentum yang membuat kolektifitas masyarakat Jawa terjaga, yakni peringatan hari raya kemerdekaan dan Riyaya, lebaran atau hari raya setelah puasa.
Riyaya, merupakan peringatan hari raya umat Islam setelah menjalankan puasa. Meski umat Islam yang menjalankan puasa, tetapi saat riyaya baik golongan abangan maupun priyayi ikut serta memeringatinya. Model toleransi seperti inilah yang menjadi kekhasan masyarakat Jawa, karakter yang fundamental, meski mereka berasal dari berbagai latar belakang ideologi.
Inti dari riyaya adalah permintaan maaf yang biasanya dibedakan atas dasar statusnya. Anak meminta maaf pada orang tua, buruh pada majikan, bekas murid pondok pada kiainya, murid mistik pada gurunya dan seterusnya.
Namun, usaha untuk menyatukan kelompok-kelompok yang antagonistik itu juga tak lepas dari konflik. Misalnya dalam kasus penanggalan atau cara menghitung hari. Santri modernis dan santri tradisionalis sering berbeda pandangan tentang hal ini. Santri modernis menggunakan model perhitungan (hisab) sementara santri tradisional lebih percaya dengan model penglihatan langsung (ruyah).
Di luar itu ada kelompok lain yang menggunakan perhitungan dengan model yang berbeda dari santri modernis ataupun tradisionalis. Meski ada disharmoni di dalamnya, tetapi Riyaya adalah ritus yang paling bisa membangun suasana integrasi lebih dalam.
Hari raya kemerdekaan 17 Agustus (Agustusan) diperingati dengan menggunakan lambang yang sebagian besar bukanlah Islam atau abangan, dan bukan pula mistik, tetapi lambang nasionalisme modern, lambang inteligensia.
Kata Geertz 17 Agustus merupakan hari besar sejati yang “baru.” Perayaan ini adalah lambang bentuk integrasi sosial dan kultural yang dimunculkan oleh elit kota dan terpelajar untuk masyarakat Indonesia. Pengaruh nasionalisme, lanjut Geertz, karenanya, sungguh berjalan meluas dan semakin kuat. Agustusan adalah “Indonesia baru,” sebuah iklan yang disponsori kota untuk suatu cara hidup yang semakin menarik bagi banyak orang Indonesia.
Pada prakteknya peringatan hari kemerdekaan itu, terkadang tidak mendapatkan dukungan secara massif dan menjadi faktor integratif yang kuat. Salah satu pasalnya adalah karena setiap peristiwa yang menggabungkan kelompok yang antagonistik, tidak hanya menekankan kemauan mereka untuk bekerjasama tetapi juga perbedaannya. Inilah yang terjadi pada perayaan hari kemerdekaan seperti yang diamati Geertz.
Salah satu episode Agustusan di masyarakat Jawa yang tidak dieksplorasi oleh Geertz adalah tirakatan. Geertz memang menyebut ada lambing tradisional dimana ada terbangan di masjid, tarian Jawa, sandiwara rakyat atau wayang. Geertz juga menyinggung renungan dan tabur bunga di makam pahlawan. Tapi menelaah tirakatan sebagai salah satu fase dalam Agustusan, bisa mereduksi asumsi bahwa sponsor perayaan kemerdekaan adalah elit kota.
Tirakatan adalah nomenklatur perayaan ritus kemerdekaan di masyarakat Jawa yang sumbernya justru dari bawah. Jika upacara bendera, ziarah makam pahlawan ataupun napak tilas adalah sumber integrasi “dari atas,” tirakatan adalah sebaliknya. Peristiwa ini adalah selebrasi kemerdekaan “dari bawah” yang di dalamnya mengandung dua dimensi sekaligus, profan dan sakral.
Jika kita mengikuti kegiatan-kegiatan tirakatan di masyarakat Jawa pada malam 17 Agustus, utamanya di kalangan urban, maka yang kita cermati adalah sesuatu yang profan belaka. Sambutan ketua RT, RW, Tokoh masyarakat, pagelaran budaya, sandiwara dan lainnya. Tetapi, berbarengan dengan dimensi profan, momentum itu juga mengandung kualitas keagamaan.
Menariknya, “selebrasi dari bawah” ini kemudian kerap “dihadiri” oleh negara. Tak hanya dalam bentuk sekuler berupa sambutan Kepala Desa, tapi negara juga turut berdoa. Ada selebaran doa tirakatan yang disusun pemerintah kabupaten atau kota yang dibacakan dalam peringatan tersebut. Pada kegiatan tirakatan inilah kita mendapati “negara yang berdoa.”