Oleh: Tedi Kholiludin
Kita mengenal dr.Cipto Mangoenkoesoemo sebagai salah satu pahlawan nasional. Jasanya yang terbesar tentu adalah karena dia seorang juru rawat yang begitu berjasa pada masa pra kemerdekaan. Jabatan sebagai dokter saat itu betul-betul bak juru selamat. Lahir di Jepara pada tahun 1883, berkarir di Batavia, Cipto wafat pada 1943 dan dikebumikan di Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Lalu siapa Suwarsinah? Ia bukanlah tokoh politik, pemuka agama atau ikon budaya. Suwarsinah adalah pengurus makam dr. Cipto Mangoenkoesoemo. Sejak tahun 1952, Suwarsinah menjadi kuncen makam keluarga besar Cipto Mangoenkoesoemo.
Tanggal 9 Juli lalu, saya menyempatkan diri berziarah ke makam dr. Cipto di Taman Makam Pahlawan Watu Ceper, Desa Kupang, Ambarawa. Suwarsinah yang lahir tahun 1945 itu merunut dengan rinci sejarah perjalanan kehidupan dr. Cipto yang ternyata masih keturunan Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit itu.
Dari Suwarsinah saya mendapatkan banyak hal yang tidak ditemukan dalam buku-buku sejarah. Satu waktu ketika Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno berziarah ke sana pada tahun 1955, sang proklamator pernah berujar kepada Suwarsinah. “Nak, rawatlah makam Cipto, karena dialah guruku. Kalau masih hidup, bukan aku yang menjadi Presiden, tapi dr.Cipto”, begitu kata Bung Karno sembari menepuk pundak Suwarsinah. Ia pun menunjukkan dokumentasi dari peristiwa yang cukup bersejarah tersebut.
Cerita menarik lainnya yang saya dapatkan dari Ibu Suwarsinah adalah kesadaran serta inisiatif untuk membangun makam dr. Cipto. Tanpa banyak diketahui publik, inisiatif untuk membangun makam itu datang dari anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat milik Partai Komunis Indonesia (PKI) Salatiga. Tiga orang yang kemudian membangun makam dr.Cipto itu antara lain Slamet, Joni Sutrisno dan Wijaya Kusumah. Mereka merealisasikan pembangunan makam itu pada tahun 1959.
Di dunia perasuransian, dr. Cipto kita kenal sebagai penggagas Jiwasraya pada 1911 yang manajemennya ia percayakan pada Roedjito, adik iparnya.
Disamping narasi historis yang disampaikan Suwarsinah, tak luput juga cerita berbau sugesti tentang makam itu. Menurut Suwarsinah, mereka yang ingin menjadi pejabat maka berziarahlah ke makam dr. Cipto dan jangan ke Makam Walisongo yang ada di Pantura. Salah satu dari peziarah yang pernah menyambangi makan dr.Cipto dan berhasil menduduki kursi jabatan adalah Wakil Presiden Budiyono. Saat memutuskan maju untuk bersaing memperebutkan kursi Wakil Presiden dan berpasangan dengan Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai calon Presiden, Budiyono, berziarah ke makam Cipto pada bulan Juni 2009.
Sayangnya, lanjut Suwarsinah di makam dr. Cipto itu tak ada lagi kegiatan-kegiatan kenegaraan seperti halnya upacara peringatan proklamasi saat 17 Agustus. Ia mengeluhkan kalau pemerintah setempat tidak memperhatikan makam pahlawan dr. Cipto. Meski terlihat rapi, makam itu terawat karena ia makam keluarga besar Mangoenkoesoemo. Padahal Cipto bukan hanya milik keluarganya, tetapi juga milik negara dan masyarakat.
Saya sungguh beruntung, karena mendapatkan “cerita lain” tentang Cipto seperti yang dituturkan oleh Suwarsinah.