“Dakwah tidak (hanya) harus dipahami dengan misionaris penyebaran agama, juga sebagai gerakan politik. Tiap rezim kekuasaan mempunyai kebijakan untuk mengelaborasi dakwah untuk tujuan politiknya,” kata Sunarwoto.
[Semarang – elsaonline.com] Menjelang akhir tahun 2012, Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang (30/12) mengadakan diskusi tematik mengenai gerakan dakwah di Surakarta. Sunarwoto, MA kandidat doktor di Tilburgh University Belanda didaulat menjadi narasumber yang digelar di aula eLSA, di Jl. Sunan Ampel V/11 Semarang ini.
Kandidat doktor di Belanda ini mengungkapkan bahwa pada era tekonologi, siapapun bisa berdakwah, tanpa memandang apakah ia cakap atau tidak. Dulu, agama dikuasai oleh para elit agama, kiai, atau penasehat kesultanan. Sekarang kuasa agama, terpolarisasi. Salah satu penyebabnya adalah medium yang digunakan untuk menyampaikan dakwah.
“Dulu, seorang da’i/ulama yang ingin berdakwah harus mempunyai ilmu agama (tradisional) yang mumpuni, semisal tafsir, nahwu, hadits, dsb. Namun di era teknologi, para ulama’ modern tidak hanya menguasai ilmu agama, juga menguasai perangkat teknologi. Inilah yang menjadikan para juru dakwah menjadi juru dakwah plus,” pungkasnya dihadapan peserta diskusi.
Sunarwoto sangat menyoroti masalah dakwah modern ini, terutama di daerah-daerah yang dikenal sebagai mistisisme yang cukup kental, salah satunya di Surakarta. Di Solo, kita tahu bahwa pusat Islam Jawa terutama mistisisme terbentuk. Kata Sunarwoto, Solo adalah pusat terjadinya mistik sintesis, antara identitas Islam dan Jawa.
Perkembangan dakwah saat ini berkembang begitu pesat, apalagi lewat bantuan teknologi. Radio, menjadi salah satu bagian penting dalam rangka menularkan misi-misi tertentu yang bersifat merakyat dan murah.
Di era teknologi ini, Radio memang bukan hal baru. Kita beranggapan radio tidak banyak dilirik banyak orang. Ia tidak kelihatan. Padahal kalau diamati secara seirus, ia sangat berpengaruh. Lewat radio, dakwah di Surakarta (Solo Raya) bisa berkembang dan bisa membentuk identias sebagai medium dakwah.
Radio dakwah di Solo sendiri makin subur pasca tumbangnya rezim Orde Baru. Ada sebuah radio di Solo yang semua isi/kontennya difungsikan untuk dakwah, tidak ada untuk berita, iklan dan sebagainya. Semestinya radio itu bersikap sekuler, mengingat medium radio lebih murah dan bisa dibawa kemana-mana, jangkauan luas dan merakyat. Inilah yang dimanfaatkan para juru dakwah untuk melakukan penetrasi di Solo.
Di akhir pemaparan, ia mengungkapkan bahwa dakwah yang dilakukan kelompok Islam tertentu di Solo kegiatan adalah social movement. Konsep kesalihan menjadi sangat aktif, tidak ada greget untuk menjadikan seseorang lebih salih dari diri mereka sendiri. Bagi pihak tertentu, dakwah tidak saja menarik untuk dilihat dari aksi social movement keagamaan. Orang berdakwah tidak hanya menyampaikan, tetapi juga mengajak dalam suatu gerakan mereka. Inilah bedanya kelompok satu dengan yang lainnya. (Nazar/elsa-ol)