[semarang -elsaonline.com] Masyarakat etno-religius merupakan elemen sosial yang didalamnya terkandung dua identitas kultural; etnis dan agama. Ia merupakan sebuah kelompok yang seperti halnya lapisan sosial lainnya, memiliki banyak keunikan. Namun, ketika ada banyak perubahan sosial, identitas ini berhadapan dengan pilihan-pilihan, mempertahankan salah satunya saja atau menciptakan strategi agar keduanya tetap dipertahankan.
Tedi Kholiludin, Dosen Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) menyampaikan hal tersebut dalam peluncuran buku karyanya, Menjaga Tradisi di Garis Tepi, Senin, (30/4). Diskusi yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) itu dihelat di Pusat Informasi Publik (PIP) Balaikota Semarang dan diikuti oleh puluhan akademisi, aktivis dan pemerhati masalah sosial dan agama.
Kajian terhadap objek ini menarik, kata Tedi, setidaknya untuk tiga alasan; bagaimana dua identitas itu dinegosiasikan, dipertahankan dan dijadikan sebagai alat untuk melawan, bernegosiasi serta mendapatkan rekognisi dari negara. “Dengan mengkaji masyarakat Sunda Kristen, Muslim Jawa dan di Semarang Sedulur Sikep, saya melihat bahwa masyarakat yang memiliki identitas kultural memiliki berbagai cara dalam melakukan negosiasi, mempertahankan dan menjadikannya sebagai alat untuk membangun daya tawar dengan pihak lain,” papar Tedi, yang juga peneliti senior di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA).
Tedi melihat bahwa identitas sebuah masyarakat bukanlah sesuatu yang statis. Ia akan terus menyesuaikan dengan perubahan-perubahan. “Tetapi, berbarengan dengan itu, ia juga sebisa mungkin tetap menjangkarkan jatidirinya,” ungkapnya. Melalui tiga komunitas yang ditelitinya, Tedi mencermati pola perjumpaan antara agama dunia dengan agama lokal, eksistensi Islam tradisional pada masyarakat urban serta kelompok agama lokal dalam kaitannya dengan pemerintah.
Pembicara lainnya, Izak Lattu menyampaikan, bahwa apa yang dilakukan Tedi dan para peneliti di eLSA melalui karya dan advokasinya adalah upaya untuk membangun solidaritas sosial. Ruang sipil (civil sphere) atau ruang bersama itu, kata Caken, tidak mungkin ada tanpa solidaritas. “Relasi-relasi kita tidak hanya bisa diletakan pada hukum tapi harus diletakan pada solidaritas sosial. Dan ini adalah upaya untuk mempublikkan solidaritas sosial itu,” kata Caken, staf pengajar di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga.
Kita bisa membedakan kehidupan keagamaan itu ke dalam ruang politik dan relasi keseharian. Dalam ruang struktural, dokumen negara kita memberi ruang bagi semua agama. Pertanyaannya, apakah ruang politik itu saja cukup efektif? Bagi Caken, kebebasan beragama tidak hanya berada pada tangan negara, tapi masyarakat juga perlu menciptakan ruang kebebasan itu.
Tubagus Svarajati, pemerhati masalah sosial berkomentar bahwa penelitian Tedi tentang Semarang menarik untuk dicermati. Baginya, fakta bahwa Semarang relatif minim konflik itu butuh penjelasan. “Penelitian Kang Tedi tentang Semarang menarik untuk dicermati lebih jauh, karena faktanya di Semarang, konflik berdarah-darah itu nyaris tidak ada. Ada kekuatan apa disana? Ini menarik sebenarnya,” imbuh Tubagus.[elsa-ol/01]