
Semarang, elsaonline.com – Pemerintah perlu melakukan pengarusutamaan Islam Wasatiyah di kalangan mahasiswa muslim pada perguruan tinggi umum.
Demikian salah satu point rekomendasi dari seminar hasil penelitian kolaboratif dengan tema “keberagamaan mahasiswa di perguruan tinggi umum dalam konstelasi kebangsaan” oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang. Seminar berlangsung di Hotel Grand Wahid Salatiga, 1 Mei hingga 4 Mei 2018.
Para peserta yang terdiri dari para peneliti Balitbang Agama Semarang, akademisi, tokoh ormas, Polri, BIN, dan aktivis mahasiswa memandang, rekomendasi itu mendesak dilaksanakan.
Pengarusutamaan Islam Wasatiyah dianggap penting karena pemahaman keagamaan mahasiswa di perguruan tinggi umum beragam. Heterogenitas pemahaman keagamaan mahasiswa terefleksi dalam beragamnya struktur yang membidangi pendidikan agama Islam di kampus. Beragamnya organisasi ekstra kampus yang ada di lingkungan kampus perguruan tinggi umum.
Beragamnya cara berpakaian, terutama yang wanita. Beragamanya tema kajian dan atau pengisi kegiatan keagamaan di kampus. beragamnya pandangan mahasiswa terhadap isu-isu keagamaan dan kebangsaan.
Nilai Kebangsaan
Selain itu, gerakan keagamaan mahasiswa muslim di perguruan tinggi umum cenderung mudah disusupi pemahaman keagamaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan.
Organisasi keagamaan intrakampus sebagian besarnya berjejaring dengan kelompok-kelompok dari luar kampus yang bersifat transnasional. Karakteristik pemahaman keagamaan mahasiswa muslim di perguruan tinggi umum bersifat tekstualis, moralis, dan revivalis.
Kondisi ini menjadikan cara pandang keagamaan mahasiswa menjadi kaku dan bahkan cenderung ekstrim. Sebagian mahasiswa memiliki pandangan yang negatif dalam konteks kebangsaan bahkan pemikiran radikalisme.
Literatur keagamaan mahasiswa di kampus umum juga banyak diwarnai buku populer karya Fellix Siauw, Habiburrahman El-Shirazy, dan Salim A Fillah. Mahasiswa memiliki kecenderungan lebih suka mendengar daripada membaca. Mahasiswa juga memiliki kecenderungan untuk tidak menyisihkan uang saku untuk membeli buku keagamaan.
Penelitian kolaboratif ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif di lima propinsi yakni Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.
Tiga Bidang
Penelitian tersebut melibatkan sedikitnya 18 tenaga peneliti dari tiga bidang penelitian yaitu; Bimas Agama dan Layanan Keagamaan; Pendidikan Agama dan Keagamaan; Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi.
Dalam pengumpulan data peneliti melakukan observasi, wawancara, dan telaah dokumen. Selain itu, para peneliti juga melakukan Focus Group Discussion dengan stakeholders di kampus. Guna melakukan pengayaan data, para peneliti melakukan jajak pendapat sederhana terhadap aktivis organisasi keagamaan intrakampus dan mahasiswa umum.
Jajak pendapat ini dilakukan pada saat kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh organisasi keagamaan intrakampus, kegiatan perkuliahan pendidikan agama Islam, dan di lingkungan Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) dengan total responden sebanyak 688 mahasiswa.
Angket sederhana yang dibagikan dimaksudkan untuk melihat potensi radikalisme di kalangan mahasiswa, yang meliputi tiga parameter yaitu sikap intoleran, kekerasan bernuansa agama, serta sikap anti sistem kebangsaan.
Hasil jajak pendapat terkait sikap intoleran menunjukkan 29 persen mahasiswa yang menjadi partisipan jajak pendapat ini setuju jika mahasiswa non-muslim dilarang mencalonkan diri sebagai presiden BEM, 70 persen tidak setuju, dan 1 persen tidak mejawab.
Pandangan terhadap Agama Lain
Kemudian terdapat 16 persen responden setuju jika warga minoritas non-muslim tidak melakukan peribadatan di lingkungan mayoritas muslim, 83 persen menjawab tidak setuju dan 1 persen tidak menjawab.
Hasil jajak pendapat terkait kekerasan bernuansa agama, terdapat 28persen responden yang setuju menggunakan kekerasan untuk memerangi kemungkaran, 70persen tidak setuju, dan 2persen tidak menjawab. Selain itu, terdapat 35persen responden setuju kelompok yang menyimpang dari agama islam harus diusir, 63persen tidak setuju, dan 2 persen tidak menjawab.
Hasil jajak pendapat terkait pandangan kebangsaan, terdapat 93 persen responden setuju Pancasila sudah tepat sebagai Dasar Negara Indonesia, 6 persen tidak setuju, dan 1 persen tidak menjawab.
Meskipun demikian, terkait penerapan hukum Islam, terdapat 51 persen responden setuju undang-undang negara ini harus menggunakan hukum Islam, 47 persen tidak setuju, dan 2 persen tidak menjawab. Terhadap sistem demokrasi terdapat 23 persen responden yang setuju pandangan bahwa demokrasi bertentangan dengan syariat Islam, 76 persen tidak setuju pandangan tersebut, dan 1 persen tidak menjawab.
Kemudian, 41 persen responden setuju sistem khalifah diterapkan di Indonesia, 56 persen tidak setuju, dan 3 persen tidak menjawab.
Tidak Generalisasi
Perlu ditegaskan bahwa jajak pendapat ini bukanlah survei yang hasilnya dapat digeneralisasi seluruh mahasiswa. Metodologi yang digunakan sederhana dan mirip dengan model exit-poll.
Penjelasan ini sekaligus sebagai klarifikasi terhadap pemberitaan di berbagai media (khususnya online) yang menyebut penelitian ini sebagai penelitian survei.
Meskipun jajak pendapat tersebut bukan survei untuk generalisasi pandangan mahasiswa secara keseluruhan, tetapi hasil di atas selaras dengan penelitian sebelumnya.
Misalnya survei Alvara Research Center (2017) yang di antaranya menunjukkan presentase mahasiswa yang tidak mendukung pemimpin non Muslim cukup besar 29,5 persen mahasiswa yang setuju dengan negara Islam sebesar 23,5 persen dan persentase mahasiswa setuju dengan khilafah 17,8 persen. Belakangan, Kepala BIN menyebut 39 persen mahasiswa terpapar radikalisme.
Temuan-temuan penelitian ini penting sebagai landasan bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan bagi kegiatan keagamaan mahasiswa di kampus perguruan tinggi umum. Oleh karena itu, dalam seminar ini direkomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan gerakan islam wasathiyah atau moderasi Islam dan kebangsaan bagi mahasiswa muslim di perguruan tinggi umum.
Fenomena Radikalisme
Fenomena radikalisme di kalangan mahasiswa tidak diragukan lagi memang terjadi dan berpotensi semakin berkembang. Gerakan moderasi Islam dan kebangsaan ini dimaksudkan untuk mengembangkan pemahaman ajaran islam yang moderat, toleran, damai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan termasuk 4 konsensus dasar yaitu Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945.
Implementasi gerakan moderasi Islam dan kebangsaan ini harus melibatkan beberapa kementerian terkait seperti Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Ristek-dikti, bahkan Lemhanas dan TNI-Polri. Selain itu, program ini juga memerlukan keterlibatan ormas-ormas keagamaan dan tokoh muslim lainnya untuk mendukung gerakan ini.
Warning
Prof. Abdurrahman Masud, Kepala Badan LItbang dan Diklat Kemenag yang menutup kegiatan seminar ini, dalam sambutannya juga mengakui bahwa “warning” terkait radikalisme agama ini sudah lama.
“Gusdur sudah mengingatkan kita sejak tahun 2005 untuk mewaspadai munculnya radikalisme agama, karena itu, sekarang ini bukan lagi peringatan, tetapi harus segera diambil tindakan,” Kata Kepala Badan Litbang ini, seperti siaran pers resmi yang dikirim Balitbang Agama Kota Semarang, kepada elsaonline, Sabtu, 4 Mei 2018.
Kepala Balitbang Agama Semarang Prof. Koeswinarno meminta semua pihak dapat menanggapi hasil riset ini dengan pemikiran jernih dan sehat.
“Saya mewanti-wanti kepada semuanya dan peserta seminar ini, supaya mencerna hasil penelitian ini dengan sehat. Yakni menempatkan pada ranah hasil riset. Karena hasil riset ini sesuatu yang sangat sensitif, yakni soal keyakinan keagaman,” terangnya. [Cep/003]