[Jepara –elsaonline.com] Identitas umat Kristen di lereng Gunung Muria sangat lekat dengan Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ). Gereja beraliran mennonite ini terpusat di di tiga area; Jepara, Kudus dan Pati. Sejarahnya tak melulu investasi zending Belanda. Keterlibatan para penginjil lokal sangat menentukan warna teologi gereja ini. Ada di wilayah Jawa, konteks mereka berteologi pun disesuaikan dengan locus theologicusnya.
Gereja Injili di Tanah Jawa atau GITJ merupakan salah satu gereja yang menginduk pada Persekutuan Gereja di Indonesia (PGI). Kantor pusat (Sinode) GITJ ada di Jalan Tondonegoro, Kabupaten Pati Jawa Tengah. GITJ tersebar, terutama di tiga wilayah Kabupaten di daerah Muria yakni, Kabupaten Kudus, Kabupaten Pati dan Kabupaten Jepara. Serta ada satu GITJ di Kota Semarang.
Kelahiran GITJ di sekitar Gunung Muria tentu saja berada dalam lingkungan sosial keagamaan seperti halnya masyarakat Jawa pada umumnya. Sebagian besar dari mereka adalah pemeluk agama Islam. Tiga dari sembilan orang penyebar agama Islam atau yang biasa dikenal dengan sebutan Walisongo, ada di wilayah Muria. Mereka antara lain, Sunan Kalijaga atau Raden Sahid di Demak, Raden Umar Said (Sunan Muria) dan Jaffar Shodiq (Sunan Kudus).
Secara sosial, lapisan masyarakat Jawa terdiri tiga bagian. Merujuk pada tesisnya Clifford Geertz, masyarakat Jawa dibagi ke dalam tiga tipe; abangan, santri dan priyayi. Abangan merupakan kelompok sinkretik yang menjaga secara seimbang unsur animisme, Hindu dan Islam dengan menjadikan desa sebagai inti struktur sosialnya. Sementara santri adalah kelompok yang berusaha mengurangi unsur animisme itu dan kebanyakan dari mereka adalah pedagang juga petani yang lebih kaya. Elemen yang ketiga adalah priyayi yang akar-akarnya terletak pada kraton Hindu Jawa dan masih mengembangkan etiket kraton itu.
Selain tiga kelompok tersebut, juga ada komunitas Tionghoa. Mereka memegang keyakinan tradisionalnya yakni, Khonghucu, Tao dan Buddha (Mahayana). Daerah Welahan, Jepara merupakan salah satu tujuan ziarah masyarakat Tionghoa, terutama yang beragama Khonghucu. Pada tahun 1920-an, banyak orang Tionghoa di sekitar Muria yang kemudian beralih memeluk Kristen. Gereja Tionghoa Muria inilah yang kemudian dikenal sebagai Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI).
Baik GKMI maupun GITJ ini berasal dari satu denominasi yang sama, Mennonite. Di Indonesia, GKMI menempati kantor Sinode di Jalan Sompok, Semarang. Mennonite merupakan aliran Kekristenan yang diinisiasi oleh Menno Simons (1496-1561). Ia dikenal sebagai tokoh gerakan Anabaptis di dari Belanda yang sangat berhaluan moderat dan sangat menjauhi kekerasan. Aliran ini berkembang tak lama setelah Martin Luther mengumandangkan Reformasi pada 1517.
GITJ merupakan nama resmi dari Gereja Jawa Muria. GITJ tumbuh dan berkembang dalam konteks masyarakat Jawa Tengah bagian utara yang sangat kuat warna keislamannya, khususnya Islam Tradisional. Sesuai dengan namanya, Muria, GITJ ini tumbuh di lingkungan eks Karesidenan Pati, terutama di daerah Jepara, Kudus dan Pati. Hingga tahun 2000, hanya ada delapan GITJ di luar Muria, yakni di Semarang dan Sumatera bagian selatan.
GITJ sendiri mewarisi tiga akar penginjil yang merupakan perpaduan antara pribumi Jawa dan misionari-misionaris Belanda. Penginjil pribumi Jawa bernama Kiai Ibrahim Tunggul Wulung yang muncul di kawasan Jepara pada awal tahun 1854. Tunggul Wulung mengembangkan Kekristenan Jawa di Desa Bondo Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara. Setelah itu ia membangun jemaat di Banyutowo dan Tegalombo, Kabupaten Pati.[elsa-ol/TKh-@tedikholiludin]