Demokrasi Harus “Diagamakan”

[Salatiga –elsaonline.com] Hubungan antara agama dan demokrasi di era modern menjadi suatu yang penting untuk diperbincangkan. Reformasi di Eropa membuat ide demokrasi menemukan momentumnya. Demokrasi membuka kemungkinan bagi siapapun untuk berpartisipasi dalam ruang politik.

Meskipun demikian, tafsir agama yang eksklusif kerap menghambat laju demokrasi itu sendiri. Demikian disampaikan oleh Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Prof. John A. Titaley dalam Seminar Agama-agama yang bertajuk, “Agama, Kawan atau Lawan Demokrasi,” Rabu (28/5).

Acara yang diselenggarakan oleh Fakultas Teologi, Senat Mahasiswa Fakultas Teologi dan Senat Mahasiswa Universitas itu dihelat di Balairung Utama UKSW. Kurang lebih 60 peserta yang terdiri dari mahasiswa dan dosen hadir dalam acara tersebut.

John Titaley menambahkan pada faktanya manusia tidak dapat melakukan tindakan sosial tanpa mengandung nilai agama. “Semua manusia ingin memaknai tindakannya itu agar sesuai dengan nilai agama,” tutur Guru Besar Ilmu Teologi tersebut.

Di Indonesia, Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 menjaga agar keberagaman yang dimiliki tidak berakibat pada perpecahan.

“Di alam demokrasi, demokrasinya mesti diagamakan,” terang John. Maksudnya, kehidupan yang demokratis itu dalam prakteknya tidak boleh bertentangan dgn nilai-nilai agama. ”Tetapi, agama disini maksudnya bukan agama dalam pengertian konvensional. Agamanya dalam bentuk rasa keberagamaan atau religiositas”, tambah pria berdarah Ambon-Cina tersebut.

Ketika ditanya peran negara dalam mengatur kehidupan beragama, John menegaskan bahwa negara baru bisa mengintervensi ketika efek dari beragama itu mengarah pada tindak pidana. “Saat di San Fransisco dulu, ada Satanic Church atau gereja Setan. Pemerintah Amerika tahu itu. Tapi mereka membiarkannya saja. Saat dalam kultus ada yang dibunuh, pemerintah masuk,” ujar John.

Baca Juga  Delapan Klub Ramaikan Piala Sahabat Ahmadiyah

Ini artinya, kata John dari sisi itu, batasan otonomi agama adalah apakah ia melakukan pelanggaran pidana kepada manusia lainnya atau tidak. Apapun agamanya, jika ia melakukan pelanggaran, maka harus ditindak. “Namun, jika itu hanya sebatas pikiran, maka pemerintah tidak boleh mengintervensi,” John mengakhiri pembicaraannya. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini