Jurnalis Harus Dorong Perdamaian

Diskusi Perspektif Media dan Isu-isu Agama

(Semarang, elsaonline.com) Apapun bentuk dari konflik yang terjadi, media massa cenderung memberi porsi yang lebih besar dibandingkan berita lainnya. Selama ini pula, media memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini suatu masyarakat, terutama pada berita yang memuat atas konflik terhadap isu-isu agama yang sangat sensitif.

”Pemberitaan tentang isu agama di media masa cenderung masif, baik itu yang terjadi di Jawa maupun di luar Jawa. Selama ini pula, beberapa jurnalis dalam meliput konflik yang terjadi dengan minimnya pengetahuan, menyebabkan berita yang disajikan masih sangat terbatas. Meski ada pula yang mengupasnya secara tuntas,” ujar Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang Rofiudin dalam diskusi ”Perspektif Media tentang Isu-isu Agama” yang digelar oleh AJI Kota Semarang dan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) di Sekretariat AJI Kota Semarang, Jalan Kertanegara Selatan II/26, Pleburan, Selasa (4/10).

Kehadiran media, khususnya di Jawa Tengah, dalam pemberitaan konflik berbasis agama, kata dia, diharapkan mampu turut mendorong terjadinya perdamaian, bukan meruncingkan masalah atau justru menimbulkan konflik baru.

”Seperti pemberitaan tentang Ahmadiyah, beberapa jurnalis masih ada yang menyebut golongan itu sebagai aliran sesat. Padahal belum ada keputusan resmi bahwa Ahmadiyah itu sesat atau tidak,” katanya.

Dalam paparannya, Direktur eLSA Tedi Kholiludin mengatakan, peranan media dalam konflik terkait isu-isu keagamaan diharapkan mampu membawa perdamaian di tengah masyarakat.

Berimbang

”Sebagai perpustakaan berjalan, jurnalis harus mampu memberi gambaran yang jelas secara berimbang terkait konflik yang terjadi. Seperti konflik di Ambon beberapa pekan yang lalu, awal kasusnya kan hanya kericuhan, tapi dibahasakan oleh jurnalis menjadi kerusuhan. Ini akan berbeda ketika ditangkap oleh pembaca,” kata dia.

Baca Juga  Ketidakpastian, Menuntun Caleg ke Tempat Keramat

Dikatakan, dari hasil survei yang dilakukan oleh Yayasan Pantau, 50 persen lebih jurnalis ketika meliput konflik terkait isu keagamaan kurang menguasai yang sedang terjadi. Alhasil, karya liputan yang dihasilkan kurang mendalam, tidak tuntas, dan cenderung berpihak.

Ketua AJI Kota Semarang Renjani menambahkan, konflik yang menembus ruang agama selama ini tdak saja menjadi konsumsi media nasional. Banyaknya kontributor media internasional yang bekerja hingga pelosok daerah di Indonesia membuat berita yang dibuat juga sering tidak benar dan memicu konflik.

”Jurnalis asing, tentu tidak mengetahui 100 persen daerah yang diliputnya, ia menjadi jurnalis parasut yang menyimpulkan masalah berdasarkan persepsinya sendiri,” kata Renjani, kemarin.(elsa-ol)

Sumber: Suara Merdeka (5/10)

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini