Oleh: Arief Musthofifin

F. Schleilmacher (paruh abad ke-19) berhasil mengenalkan Protestanisme Liberal. Dilanjutkan Ernst Troeltsch (teolog Kristen asal Jerman) di awal abad ke-20an memikirkan urgensi sikap pluralis dalam beragama. Lalu, gagasan itu diikuti sejarahwan ternama; William Hocking dan Arnold Toynbee.
Sementara John Hick, Paul F. Knitter, Raimundo Panikkar menjadi tokoh sentral dalam skala internasional sebagai pejuang pluralisme agama. Pendapat-pendapat kritis para pemikir pluralisme yang sering dijadikan pijakan adalah menolak eksklusivisme kebenaran dalam beragama (truth claim).
Begitu banyak dalil disusun untuk mengokohkan pluralisme agama. Baik dalil teologis, rasional, maupun mistis. Di sisi lain, tidak kalah berjubel pula nash yang dicari dan dijadikan legitimasi penolakan dan pengharaman pemikiran yang menyatakan bahwa kebenaran dan jalan keselamatan dalam beragama tidak lah tunggal ini. Namun, kedua kubu mengalami stagnansi pemikiran dalam debat teori yang semakin melangit.
Sedangkan, subaltern –dikenal sebagai masyarakat pinggiran yang hampa pikiran teoritis– ternyata memiliki cara pikir sendiri tentang “pluralisme” agama. Penulis sebut sebagai fenomena “pluralisme kultural”. Yakni, bagaimana subaltern berpikir sederhana dan bersahaja bahwa antar agama-agama tidak perlu dibuat pertentangan atau permusuhan. Tidak ada yang berhak menjamin agama atau aliran kepercayaan tertentu sebagai terbaik.
Baik atau buruk, memberi keselamtan atau kesesatan, bagi subaltern tergantung bagaimana agama berhasil memberi ketenteraman dalam multiaspek kehidupan umat dan sekitarnya. Ketika ada claim bahwa agama tertentu adalah terbaik, namun dalam kenyataannya tidak bisa menyelesaikan problem sosial di konteksnya, sama halnya agama tersebut tidak baik. Artinya, baik atau tidak baik, benar atau tidak benar suatu agama harus diuji secara empiris.
Pendapat-pendapat sederhana dan kontekstual semacam itu kerap penulis jumpai dari masyarakat subaltern selama live in sebulan lebih di salah satu daerah pedalaman Temanggung-Jawa Tengah. Kristen, Budha, Islam, dan aliran kepercayaan merupakan keimanan yang dianut masyarakatnya. Sedangkan Islam menjadi minoritas setelah Kristen dan Budha.
Pluralisme agama dalam komunitas masyarakat yang agamanya begitu beragam itu justru bukan barang baru dan tidak dijadikan debatable. Pluralisme agama terjadi dengan sendirinya tanpa mereka tahu konsep teoritis pluralisme dan berbagai legitimasinya. Maka, tidak heran jika kita jumpai angota satu keluarga belain-lainan agama.
Misalnya, ayah dan ibunya beragama Budha, putra dan putrinya beragama Budha, Kristen, atau Islam. Ritual keagamaan pun demikian unik. Contohnya, hari Ahad tidak sedikit pula pemeluk non-Kristen yang ikut datang ke Gereja, di hari lain turut serta ke Vihara.
Dalam do’a suatu acara khitanan atau pernikahan digunakan versi Islam juga pemujaan ala Budha. Diwaktu anak masih kecil belajar Islam, saat remaja memeluk Kristen, dan tuanya beragama Budha, misalnya, menjadi fenomena lumrah. Sedangkan mereka tetap damai tinggal satu atap tanpa rebut-ribut soal agama.
Mereka begitu damai dengan sifat kekeluargaan kental. Anak atau anggota keluarga lainya dibebaskan mengikuti agama apapun sesuai kehendak pribadi. Yaitu, memilih agama yang bisa menjadi solusi masalah-masalah kemanusiaan. Dalam kondisi ini, para missionaries perlu bersaing sehat mempromosikan agamanya dengan bukti-bukti kebaikan dan keunggulan agama yang tidak sekadar retorik-teoritik. Tetapi, bisa dibuktikan dalam praktik di konteksnya.
Justru ketika pastor, pendeta, bikhu, ulama, kiai, atau agamawan lain menawarkan jalan keselamatan dan kebaikan hanya ada pada agamanya (truth claim), bisa dijamin tatanan “pluralisme kultural”, kedamaian, kekeluargaan, dan gotong-royong di masyarakat yang santun itu akan bubar. Porak poranda. Hanya tersisa permusuhan, pertikaian, pertumpahan darah, dan perang antar pemeluk agama. Apakah agama model demikian pilihannya?