
[Semarang –elsaonline.com] Nama Isa Al-Masih pasti sudah tak asing lagi. Bagi umat Islam utamanya. Tapi jangan salah, kalau ada Gereja bertitel Isa Al-Masih. Ya, ada Gereja Isa Al Masih, yang kantor Majelis Pengurus Harian (MPH) atau Sinodenya terletak di kawasan Jalan Pringgading, Semarang. Dekat Kantor MPH, ada GIA Pringgading yang bisa dikatakan sebagai mother churchnya GIA.
Tak banyak riwayat yang bisa didapatkan tentang awal mula perkembangan gereja beraliran Pentakosta ini. Penulis sejarah gereja di Indonesia, laiknya Muller Kruger misalnya, bahkan masih menganggap gereja ini sebagai gereja bidat. Penjelasan Kruger dalam buku yang berjudul Geredja, Sekte, dan Aliran-Aliran Modern terang saja agak menghilangkan keseimbangan akademik.
Satu-satunya karya yang didalamnya termaktub sejarah GIA adalah Indrawan Eleeas, Gerakan Pentakosta Berkaitan dengan Sejarah dan Teologia Gereja Isa Almasih yang terbit tahun 2008. “Buku itu pernah dibedah di Sekolah Tinggi Teologia Abdiel Ungaran, dan banyak mendapat kritikan,” ujar Rony C. Kristanto, mantan Dosen STT Abdiel, beberapa waktu lalu.
Toh, meskipun demikian, keterangan dalam buku Eleeas bisa memberi petunjuk tentang kemunculan GIA.
“Sejarah Pentakosta di Indonesia tidak tercatat dengan baik,” demikian tulis Eleeas, yang juga bertugas sebagai Gembala di GIA Pringgading Wajar jika kemudian catatan-catatan mengenai sejarah Pentakosta yang akurat begitu sulit ditemukan.
Alasan mengapa terjadi hal yang demikian, lanjut Eleeas karena tulisan atau buku tentang awal Gerakan Pentakosta nyaris tidak ditemukan dalam perpustakaan atau kantor Gereja Pentakosta. “Gereja-gereja Pentakosta dalam pendirian dan perkembangannya tidak memiliki data tertulis,” terang Eleeas.
Yang tak kalah pelik adalah soal stigma terhadap GIA sebagai bidat. Bisa dilihat misalnya dalam karya Berkhof dan Enklaar yang berjudul “Sedjarah Geredja” atau tulisan Enklaar, “Sedjarah Geredja Ringkas”. Karena dianggap bidat, maka gerakan ini tidak menarik untuk diamati.
Muller Kruger menyebut beberapa jalur perkembangan Gerakan Pentakosta di Indonesia. “Pengaruh tertua berasal dari golongan-golongan Pentakosta di Belanda, kira-kira tahun 1910,” tulis Kruger. Pasca selesainya konferensi Pentakosta pertama di Eropa dilangsungkan di Berlin tahun 1909, Polman, seorang Belanda kemudian mendirikan sebuah jemaat Pentakosta di Amsterdam.
Dari situ, dimulailah pendidikan zending yang memiliki semangat yang meluap-luap untuk memberitakan Injil. Setelah perang Dunia I, Pendeta-pendeta Belanda ingin ke Indonesia dan berharap tinggal di Bali, tetapi tidak diizinkan. Mereka baru bisa masuk Indonesia tahun 1925 dan memulai pekerjaannya di Jawa Timur. Di Surabaya, Gessel adalah orang yang memiliki pengaruh penyebaran gerakan Pentakosta.
Selain di Surabaya, Gerakan Pentakosta juga merambah Bandung. Di sini, Tiessen, seorang keturunan Jerman-Russia menjadi motor penyebar gerakan ini. Selain di Bandung, Jakarta juga adalah pusat penyebaran gerakan Pentakosta, salah satunya melalui “The Assembly of God”.
Jan Aritonang, dalam Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja menunjukkan kalau gerakan Pentakosta ini masuk pertama-tama di Temanggung, Cepu, Surabaya dan Bandung pada tahun 1919-1923 secara tidak terencana, sesuai dengan wataknya yang spontan. “Penyebarnya adalah para penginjil profesional dan sebagian lain warga gereja yang semangatnya tidak kalah besar dalam menyaksikan keyakinan dan ajaran gerejanya,” terang Sejarawan Gereja ini. [elsa-ol/T-Kh-@tedikholiludin]