Mogok, Senjata Kaum Buruh Semarang

Pegawai Perusahaan Kereta Api Semarang-Juwana (kitlv.nl)
Pegawai Perusahaan Kereta Api Semarang-Juwana (kitlv.nl)

[Semarang –elsaonline.com] Desember 1917, dua bulan setelah Central Sarekat Islam (CSI) melaksanakan kongres nasional untuk kali kedua di Jakarta, SI Semarang mulai memapankan kerja organisasinya. Rapat anggota digelar untuk menyelesaikan masalah di tanah-tanah partikulir. Tak hanya itu, buruh pun diorganisir. Militansi dibangun. Bila perlu lakukan pemogokan besar-besaran untuk mengajari pemilik perusahaan cara memanusiakan mereka.

Beberapa aksi mogok di tahun 1918 terjadi di perusahaan surat kabar De Indier, bengkel motor Veledrome Bodjong, bengkel motor Ott Kampoeng Bangkong, bengkel Werner Kebon Laoet, toko Andrisse Pontjol. “Yang terbesar dan dianggap berhasil adalah pemogokan yang dilancarkan 300 pekerja industri furnitur,” urai Soewarsono dalam Berbareng Bergerak.

Perusahaan mebel Andrisse di Poncol yang memecat 15 orang karyawannya, menjadi sasaran SI Semarang. Atas nama Sarekat Islam, Semaoen dan Kadarisman, menuntut tiga hal; pengurangan jam kerja dari 8,5 menjadi 8 jam, pemberian gaji penuh selama mogok dan bagi mereka yang dipecat diberi pesangon tiga bulan gaji. Semaoen mengumandangkan pemogokan terhitung mulai tanggal 6 Februari 1918. “Dalam waktu 5 hari saja, majikan menerima tuntutan SI Semarang dan pemogokan pun dihentikan,” tulis Soe Hok Gie dalam Di Bawah Lentera Merah. [Baca juga: Semaoen, SI Merah dan Kampung Gendong]

Sadar bahwa mogok menjadi sarana efektif, Semaoen dan kawan-kawan kembali melakukan hal yang sama. Kasusnya, kuli bengkel yang dipukul mandornya. SI Semarang melancarkan aksi mogok. Dan tak lama kemudian tuntutan mereka dikabulkan pemilik bengkel.

Tak selalu berhasil memang apa yang dilakukan kaum buruh dan SI Semarang. Bulan Juli 1918 misalnya. Buruh sebuah perusahaan (dan percetakan) koran, Niuwe Courant melakukan pemogokan. Kurang lebih empat bulan mereka melakukan pemogokan. Pemilik perusahaan tak bergeming. Tuntutan tak jua dikabulkan. Pimpinan SI semarang mencari cara agar mereka tidak kalah. SI Semarang bahkan harus mengeluarkan dana untuk menolong buruh yang mogok. Berangsur-angsur banyak buruh yang kemudian masuk kerja. Ini kekalahan bagi SI.

Baca Juga  Kala Khutbah Berbuntut Amarah: Konflik Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) dan Warga di Desa Purwosari Kecamatan Sukorejo Kabupaten Kendal

Tahun 1920, aksi pemogokan buruh di Semarang semakin gila-gilaan. Bulan Februari, 400an buruh dari perusahaan van Dorp yang didukung oleh buruh-buruh percetakan. Pemogokan ini didukung oleh banyak elemen anti kolonial. Najoan, salah seorang pengurus SI Semarang, melakukan pertemuan dengan pekerja van Dorp pada 2 Februari. Tututannya; kenaikan upah 50%, cuti tahunan 2 minggu, hadiah lebaran dan upah harian 2 kali lebih besar pada hari minggu dan hari libur lainnya. “Karena tuntutan ini ditolak, 281 pekerja van Dorp melakukan mogok sejak 9 Februari,” tambah Soewarsono.

Kegagalaan negosiasi itu memunculkan solidaritas diantara para buruh lainnya. Sekitar 819 buruh terlibat dalam pemogokan pada 23 Februari 1920. ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging), ISDP (Indische Sociaal Democratische Partij), dan NIP (Nederlandsch Indische Partij) mengusulkan agar ada persatuan buruh-buruh percetakan. Tijpograften Bond diusulkan sebagai organisasi induknya. Pemogokan meluas ke percetakan De Locomotif, Mist, Benyamin, Bischop dan Warna Warta yang merupakan koran anti Sarekat Islam.

Pemogokan besar ini relatif berhasil. Perusahaan satu demi satu mulai memenuhi tuntutan pekerja. Mereka setuju menaikan upah sebesar 20 % di Bulan Maret dan uang makan sebesar 10 % pada minggu pertama Maret.

Meski, pemogokan masal ini menjadi senjata untuk melawan para majikan yang sewenang-wenang, tapi kesejahteraan buruh harus tetap dipikirkan. Biasanya, SI mengumpulkan dana dari orang-orang kaya. Beberapa diantaranya adalah Haji Busro (Komisaris SI Semarang) dan Soemitro, pengusaha kretek di Kudus biasanya menyumbang 3000 gulden. Serikat pekerja Tionghoa juga rajin menyumbang tiap bulan saat ada pemogokan. “Pemogokan van Dorp dan De Locomotief ini adalah salah satu pemogokan yang terbesar dalam sejarah Indonesia,” sambung Gie. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

1 KOMENTAR

  1. Secara relatif penderitaan dan kebutuhan yg tak terpenuhi, kamu buruh zaman penjajahan KURANG daripada yg sekarang.Yg dipersoalnkan di zaman penjajahan terutama adalah kebebasan POLITIK yg kurang.Karena hampir semua kebutuhan buruh terjangkau.Pemokokan yg dilakukan buruh Kereta Api tahun 1927 adalah pemogokan atau PEMBERONTAKAN PERTAMA berdasarkan NASIONALISME yg dilakukan oleh PKI.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini