Hal itu disampaikan Dosen Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Abraham Silo Wilar, mengantarkan diskusinya dengan tema “Sejarah Penafsiran Konsep Khatamul Anbiya’ Menurut Ahmadiyah di Indonesia”, di Kantor PW Jemaat Ahmadiyah Jawa Tengah, Jl. Erlangga Raya 7A Semarang, Sabtu (25/3) malam.
“Diskusi ini bermula dari kasus Cikeusik yang cukup menggangu saya, sehingga saya merasa penting untuk dilakukannya penelitian sejarah penafsiran Khatamul Anbiya’ sebagai upaya mendialogkan keberagaman dan perbedaan penafsiran”, ungkapnya.
Alumnus Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta ini juga mengembangkan bagaimana dinamika penafsiran dari sarjana Muslim dan Barat. Ia juga membincang konsep Khatamul Anbiya’ at-Thobari yang dipengaruhi oleh perbedaan teritorial.
“Jadi, saya mengutip At-Tobari yang mengatakan ada perbedaan teritorial. Ia mengatakan bahwa penekanan khatam itu dilekatkan dengan hari akhir, bukan hanya sebagai nabi yang terakhir tetapi dari hari yang terakhir,” paparnya menegaskan.
Silo juga memahami konteks sejarah penafsiran, dalam hal ini konsep Khatamul Anbiya’ tidak terlepas dari konteks sosio-historis penafsir. Bahkan, kata Silo, situasi historis memberi pengaruh di dalam penafsiran.
“Artinya, bahwa konsep Khatamul Anbiya’ tidak terlepas dari konteks sosio-historis penafsir. Bahkan, situasi historis memberi pengaruh di dalam penafsiran”, tukasnya.
Pada akhir kesimpulan, Silo mengatakan bahwa Istilah dari prase tersebut adalah suatu produk sejarah dan sekaligus ideologi dalam setiap tradisi penafsiran yang ada.
“Tradisi barat tidak akan bisa menerima tafsir sunni. Sebaliknya, sunni sulit menerima tafsir Ahmadiyah, Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GKI) sulit untuk menerima tafsir Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). ini yang dimaksud Ideologi. Jadi, Istilah dari prase tersebut adalah suatu produk sejarah dan sekaligus ideologi dalam setiap tradisi penafsiran yang ada”, paparnya.
Pada kesempatan yang sama, Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Abdul Rozak, memaparkan bahwa bicara soal dinamika penafsiran al-Quran tentu beragam, baik dalam konteks keyakinan maupun aspek sosio-historis penafsir itu sendiri.
“Menurut pendiri Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad, al-Quran dapat ditafsirkan oleh tujuh sumber, yakni ayat al-Quran lainnya, sunnah atau hadis Rasulullah, pendapat sahabat Rasulullah, orang yang berhati suci, Hukum Alam, bahasa arab dan pengalaman rohani orang suci”, jelasnya.
Rozak, juga mengatakan dalam upaya menafsirkan konsep Khatamul Anbiya’, penafsiran Ahmadiyah tidak lepas dari tujuh atau salah satu sumber di atas. “Maka, dalam konteks penafsiran konsep khatamul anbiya’ tidak lepas dari tujuh atau salah satu sumber di atas”, tandasnya. [Cahyono]