
[Semarang –elsaonline.com] Konflik kekerasan atas nama agama banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari perusakan dan penutupan rumah ibadah, penganiayaan dan sebagainya. Hal Ini dampak dari bagaimana pemahaman pluralisme yang masih belum diterima oleh semua kelompok.
Eksklusivisme dan fanatisme agama berlebihan merupakan wujud dari ketidakdewasaan dalam beragama yang memicu terjadinya konflik kekerasan atas nama agama. Ironis tentunya. Di sini, masyarakat perlu dikenalkan dengan pemahaman yang mampu menerima perbedaan suatu keyakinan atau keragaman. Penting untuk memberikan pengetahuan tentang berbagai agama yang ada di Indonesia. Tedi Kholiludin, Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang menyampaikan hal tersebut dalam diskusi tentang ‘Peningkatkan Keimanan dan Ketaqwaan Pemuda Lintas Iman Jawa Tengah’, Rabu, (7/5) di Graha Wiyata Patemon, Jl. Patemon Raya Gunung Pati Kota Semarang.
Dalam konteks Indonesia, memang kita harus merasa percaya diri pada bangsa sendiri dengan segenap kekayaan yang ada di dalamnya. Indonesia membutuhkan organisasi/kelompok yang fokus dalam meningkatkan kedewasaan beragama. Di sini Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) termasuk di dalamnya, meski harus diakui perannya belum optimal. “Pemerintah tidak boleh memberikan keistimewaan terhadap kelompok tertentu, termasuk enam agama yang diakui oleh negara misalnya,” kata Tedi.
Meski majemuk, tetapi agama-agama yang berbeda itu sejatinya memiliki kesatuan transcendental. “Jika masyarakat memahami hal ini, kedamaian dan kerukunan antar umat beragama lebih mungkin bisa terwujud,” terang alumnus Program Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga tersebut.
Manifestasi ajaran agama menjadi pokok tercipta atau tidaknya keadilan dalam kehidupan beragama. “Kelompok yang sering melakukan kekerasan adalah akibat dari iman atau pemahaman agama yang kekanak-kanakan. Maka dari itu, pemahaman terhadap dimensi-dimensi agama ini penting,” imbuh Tedi. [elsa-ol/Cahyono-@cahyonoananto]