(Pengajar di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang)
Di tengah hiruk pikuk momentum pilkada DKI Jakarta, masyarakat dapat melihat jelas bagaimana perilaku elit politik bangsa kita yang tersaji melalui berbagai media massa. Perilaku politikus yang mencerminkan wajah politik di Indonesia memberikan andil besar terhadap persepsi masyarakat Indonesia. Orientasi politik yang terbatas pada kepentingan diri minus sensibilitaskepentingan publik membuat politik semakin mengalami peyorasi.
Politik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut sebagai (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan: segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain. Ramlan Surbakti (1999) mendefinisikan politik sebagai interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Dua pendapat tersebut tidak menyiratkan sama sekali kebusukan politik. Bahkan, dua filosof tersohor Plato dan Aristoteles menjelaskan sejatinya politik itu agung dan mulia, yakni sebagai wahana membangun masyarakat utama. Sebuah masyarakat berkeadaban yang terwujud dalam tatatan sosial yang berlandaskan pada hukum, norma, dan aturan sehingga tercipta keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan umum.
Lantas, bagaimana politik bisa menjadi begitu negatif di mata masyarakat?
Bagi Plato, politik adalah jalan mencapai apa yang disebut a perfect society, sedang menurut muridnya, Aristoteles, politik adalah cara meraih apa yang disebut the best possible system that could be reached. Keduanya mengandaikan politik sebagai jalan menuju keadilan dalam kehidupan sebuah negara.
Di Indonesia, para politisi—untuk tidak mengatakan seluruhnya—tidak lagi mengenakan baju hati nurani yang dapat membatasi akhlaknya. Banyak diantara mereka yang terlibat kasus hukum, seperti suap dan korupsi. Sensibilitas sosial mereka juga sudah hilang dengan bergaya trendi, berpenampilan serba mewah ditengah kemelaratan masyarakat. Mereka seperti lupa bahwa masyarakat sudah tahu di balik jam tangan mereka yang mahal, sepatu buatan luar negeri, itu terbungkus segala kebusukan moral.
Etika Kepedulianala Carol Gilligan; Sebuah Alternatif
Etika kepedulian (ethics of care) adalah gagasan seorang feminis Amerika, Carol Gilligan, yang mengkritik konsep keadilan semu. Keadilan semu yang ia maksud adalah konsep keadilan yang bias, yang hanya menggunakan standar moral laki-laki sebagai tolok ukurnya. Dalam konsep ini dipahami bahwa tahap kedewasaan moral tertinggi hanya dimiliki laki-laki, sedangkan perempuan dianggap masih tidak dewasa secara moral. Salah satu eksponennya adalah Lawrence Kohlberg, seorang psikolog Amerika.
Gilligan menuduh Kohlberg sudah bertindak tidak adil karena prasangka gender, dan menuntut agar “etika kepedulian” itu dianggap sama benar dan sama bermutunya dengan “etika keadilan”. Yang dikritik Gilligan adalah bahwa deskripsi Kohlberg tentang tahap-tahap kedewasaan moral, khususnya yang tertinggi, mencerminkan prasangka-prasangka khas laki-laki. Sehingga jika perempuan mengembangkan intuisi-intuisi dan sikap-sikap yang khas baginya, maka ia akan dianggap tetap di tahap perkembangan moral saja, bukan pada tahap tertinggi. Dengan demikian maka jika mengikuti Kohlberg, kaum perempuan harus dianggap rata-rata tidak dewasa secara moral.
Dalam pandangan Gilligan, hanya menggunakan standar moral laki-laki untuk mengukur keadilan adalah bentuk ketidakadilan itu sendiri, karena unsur-unsur utama moral adalah kepedulian pada orang lain yang secara konkret didasarkan pada empati, kebaikan hati atau belas kasihan, dan ini semuanya justru khas perempuan.
Etika kepedulian adalah hubungan kepedulian (caring relationship). Bagi seorang politisi, kebajikan (virtue) harus dijunjung tinggi lebih dari kewajiban untuk berlaku adil (justice). Eksploitasi dan tindakan merugikan publik harus dihindari, karena ini merupakan cermin politik yang telah mengalami kematian etika.Ini penting karena politik yang telah mengalami kematian etika akan menumbuhsuburkan praktik politikyang tak beradab. Keadaan ini sebenarnya sudah lama berjalan dalam roda kehidupan politik di Indonesia sebagaimana dapat kita saksikan di berbagai media, bagaimana politisi “berselingkuh” dengan korporasi, terlibat skandal, menerima suap, berperilaku korup, apatis terhadap kelompok marjinal, juga membuat pernyataan-pernyataan yang tidak pantas dalam masa kampanye pilkada.
Etika kepedulian kiranya dapat menjadi alternatif baru sebagai sebuah perspektif politik di Indonesia yang—dinilai—minus sensibilitas publik, yang akan membuat politik transaksional akan terus tumbuh subur di Indonesia. Etika kepedulian menjadi dasar untuk melengkapi etika keadilan. Keadilan tanpa kebaikan hati tidak punya dasar sama sekali (mengapa harus adil kalau tidak peduli?) dan cenderung menjadi ideologis dan ganas. Adapun kepedulian tanpa keadilan bisa merosot menjadi sentimentalitas.
Etika kepedulian mengajak kita untuk memperbaiki situasi dan struktur secara lebih komprehensif berdasarkan nilai khas Indonesia; hubungan silih asih, silih asah, silih asuh dengan orang lain.