Aktif di Satjipto Rahardjo Institute dan Komunitas Diskusi Payung (http://komunitaspayung.org)
Dalam tulisanya yang diterbitkan di elsaonline.com beberapa waktu lalu, Siti Rofiah menyinggung sembari mengikuti Carol Gilligan tentang apa yang disebut sebagai “etika kepedulian”, satu jenis kategori etika yang kurang lebih berbeda dibandingkan dengan “etika keadilan” sebagaimana diutarakan oleh Kohlberg. Melalui kepedulian, kata Rofiah, kita dapat memperbaiki politik kita, yang bahkan dalam bagian akhir dari tulisanya dia mengatakan: “Etika kepedulian mengajak kita untuk memperbaiki situasi dan struktur secara lebih komprehensif berdasarkan nilai khas Indonesia, hubungan silih asih, silih asah, silih asuh dengan orang lain”.
Secara romantis, sekilas, ide tersebut terkesan mulia, baik, dan sekaligus mengakomodir “kepentingan perempuan”, bahwa kepedulian adalah sesuatu yang indah dan, dalam apabila diimplementasikan dalam politik, dapat dipergunakan untuk memerangi kebatilan. Bahwa kebusukan politik menjadi durjana karena kebusukan moral, dan kepedulian-lah, salah satu obatnya.
Pertama dan yang paling terang adalah pijakanya dalam mendasarkan argumenya kepada Gilligan. Dalam tulisan pendek tersebut, Rofiah barangkali luput, melihat bahwa konteks teorisasi Gilligan dalam “In A Different Voice”, adalah dalam ranah ilmu psikologi. Masalahnya, di dalam buku tersebut, Gilligan tidak memberikan penggambaran secara rinci tentang subyek yang ditelitinya; latar belakang ekonomi, tingkat pendidikan, dan lain sebagainya. Masalah ini penting, karena “kepedulian”, sebagaimana diungkapkan olehnya sebagai sesuatu yang “khas” pada perempuan, apakah itu memang secara inheren melekat pada perempuan itu sendiri, atau merupakan suatu konstruksi sosial tertentu? (McLaughlin, 2003;81) [1]. Perihal kedua adalah asumsi bahwa nilai “khas” Indonesia yang silih asih, silih asah, dan silih asuh dengan orang lain, nampaknya juga kurang jelas, mengingat bahwa “amok” juga merupakan suatu yang cukup sering muncul dalam keseharian kita, bila asih, asah, asuh adalah suatu yang khas, bagaimana kita dapat menjelaskan para mayat tertuduh komunis yang disembelih secara semena-mena, yang dikubur hidup-hidup dalam kuburan tak bernama? Dan, andaikan saja bahwa tidak ada kelemahan metodis dari Gilligan, bahwa “kepedulian” sebagai obat itu benar adanya, bagaimana pula kita dapat mengukur kepedulian tersebut dalam politik, yang berarti menggesernya dari ranah psikologi menjadi politik (deskriptif ke preskriptif)? Lalu bukankah dengan demikian, apa yang Harto lakukan dengan “mengayomi” melalui lambang beringin-nya itu juga bukan berarti suatu hal yang menunjukan kepedulian? Bahwa Harto menyayangi para tertuduh komunis, maka dari itu dia membuangnya ke kamp-kamp konsentrasi? Inilah yang membuat argumen romantis seperti “kepedulian” terasa hambar, karena pada akhirnya dia tidak menjelaskan, dan menyelesaikan apapun.
Politik sebagai Kontestasi dan Perlawanan?
Dalam politik, pada akhirnya sulit rasanya untuk mendefinisikan suatu jenis keutamaan tertentu, karena pada dasarnya, politik adalah arena kontestasi di mana dalam kontestasi tersebut yang “baik” didefinisikan. Jadi masalahnya bukan bagaimana merumuskan politik yang baik, karena definisi akan yang baik itu sendiri adalah selalu merupakan bagian dari pertarungan politik. Inilah mengapa, mengikuti Schmitt (2007), ciri khas dari politik adalah hubungan tentang kawan/lawan, suatu distingsi yang dalam titik tertentu, berarti memusnahkan lawan. Pandangan deskriptif mengenai politik ini nampak kejam, namun demikianlah politik itu, karena lagi pula, pendefinisian mengenai politik itu, sebagaimana “baik” tadi, juga merupakan suatu hasil dari kontestasi politik. Hanya dalam kerangka inilah dapat dimengerti, bahwa politik, pada hakikatnya adalah tentang kontestasi.
Lalu bagaimana cara untuk mengobati kedurjanaan dari politik? Di sini, barangkali Ranciere patut diperhitungkan. Bagi Ranciere (1998), terdapat dua logika yang saling bertindihan namun sekaligus bertentangan; yaitu the police, dan politics. Yang pertama merujuk pada logika distribusi, baik ruang, waktu, ekonomi, golongan, kelas, atau apapun itu dalam satu kategorisasi tertentu dalam suatu kebijakan. Sementara yang kedua condong kepada suatu upaya yang berangkat dari kesetaraan untuk mengganggu logika yang pertama, karena dalam distribusi, selalu ada eksklusi. Jadi di sini, politik adalah selalu mengenai upaya bagaimana yang ter-ekslusi (bagian yang tak terhitung), berangkat dari kesetaraan, memasukkan dirinya sebagai bagian yang terhitung.
Maka satu-satunya cara dalam menghadapi kedurjanaan dari yang Rofiah sebut sebagai “bagaimana politisi “berselingkuh” dengan korporasi, terlibat skandal, menerima suap, berperilaku korup, apatis terhadap kelompok marjinal, juga membuat pernyataan-pernyataan yang tidak pantas dalam masa kampanye pilkada” tidak lain dan tidak bukan adalah lewat melawan. Persis sebagaimana Thukul bilang, “hanya ada satu kata: lawan!”, tanpa perlu menggunakan –secara naif- ujaran moralitas sebagai sesuatu yang romantis.
[1] Tentu saja, perihal lain soal perspektif Gilligan –di luar masalah metodologinya- tetap merupakan suatu yang penting, bagaimana dia melakukan kritik terhadap Freud dan Kohlberg dalam melihat sesuatu yang “berbeda” dalam hubungan yang sifatnya hierarkis. Bagaimanapun, temuan dalam penelitianya terkesan rapuh karena pilihan metodenya sendiri.
Rujukan:
McLaughlin, Janice. 2003. Feminist Social and Political Theory, Contemporary Debates and Dialogues. New York: Palgrave macmillan.
Schmitt, Carl. 2007. The Concept of the Political. Chicago & London: The University of Chicago Press.
Ranciere, Jacques. 1998. Disagreement, Politics and Philosophy. Minneapolis, London: University of Minnesota Press.