(Semarang, elsaonline.com) Aksi bom bunuh diri di Gereja GBIS Kepunton, Solo, Minggu (25/9), mendapat kecaman dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah organisasi massa Islam. Aksi yang merusak sarana peribadatan dan menibulkan korban itu bukanlah jihad. Karena itu, MUI dan ormas Islam meminta polisi bekerja keras mengusut tuntas pelaku dan otak di balik peristiwa tersebut.
Ketua MUI Jawa Tengah, KH. Ahmad Darodji, menilai peristiwa bom bunuh diri menunjukkan masih adanya kelompok yang tidak ingin damai dan selalu membuat kegaduhan. Hal itu terjadi akibat masih kurang dipahaminya wawasan kebangsaan dan tidak adanya rasa menghormati kerukunan antar umat beragama. “Pemerintah dan masyarakat harus lebih menghidupkan tiga pilar kerukunan beragama yang kini melemah. Yakni, umat beragama dengan pemerintah, antarumat beragama, dan antar umat beragama,” ujarnya, Senin (26/9).
Pemerintah, dalam hal ini intelijen, kata Ahmad Darodji, harus meningkatkan intensitas pengawasan dan kemampuan dalam tugasnya agar tidak terjadi kecolongan lagi. Menurutnya, aksi bom bunuh diri tidak hanya mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Namun, pemerintah dan aparat diharapkan dapat mencari penyebab lain aksi anarkisme yang terjadi di beberapa daerah selama ini.
Terpisah, Ketua Tanfidziah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) Jateng, Muhammad Adnan mengatakan, aksi bom bunuh diri itu merupakan tindakan keji. Tidak ada dalil yang membenarkannya. Dia menyesalkan masih ada kelompok orang yang berkeyakinan dan memiliki pikiran bahwa dengan mengebom akan masuk surga. “Aparat perlu sejak dini mengantisipasi sebelum bom meledak lagi. Jangan menunggu sampai bom meledak. Kalau ada dakwah gelap, brosur yang menghasut, segera diusut agar tidak berkepanjangan,” terangnya.
Senada dengan Adnan, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jateng, Musman Thalib, juga menyesalkan aksi bom bunuh diri yang dilakukan di tempat ibadah dan menyebabkan banyak umat yang tengah menjalankan ibadah menjadi korban. “Aksi bom bunuh diri tidak dibenarkan oleh agama apa pun. Apakah dilakukan di tempat ibadah atau bukan. Pemahaman yang salah jika bom bunuh diri termasuk mati syahid dan akan masuk surga,” katanya.
Introspeksi
Pihaknya meminta para pemuka agama melakukan introspeksi diri dan terus meningkatkan ukhuwah dalam rangka meminimalisasi konflik. Ia juga melihat, kondisi pemerintah yang saat ini sedang dalam krisis kepercayaan, korupsi, dan krisis moral menjadi salah satu yang memengaruhi munculnya aksi-aksi nekat oleh kelompok maupun perorangan.
Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA), Tedi Kholiludin, menilai peristiwa itu seolah menjadi lanjutan dari “fragmen konflik” di Indonesia setelah kerusuhan Temanggung, teror bom Utan Kayu, bom di Mapolresta Cirebon serta konflik Ambon. “Negara kembali tergopoh-gopoh menghadapi para teroris. Organisasi terorisme bisa dibubarkan, tetapi ideologinya tak pernah mati,” katanya.
Ia berharap, pemerintah bertindak cepat mengidentifikasi pelaku serta menelusuri jaringan yang selalu menebarkan ideologi teror ini. Jika melihat lokus terjadinya pengeboman, kata Tedi, jelas bahwa teror yang dimaksudkan untuk meruntuhkan fondasi kehidupan keberagamaan bangsa Indonesia yang diwarnai oleh pelbagai keragaman. Gereja, Masjid dan tempat ibadah lainnya adalah ikon keberagamaan yang sangat penting. Teror terhadap jemaat yang ada didalamnya adalah gempa bagi kebebasan memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai keyakinan.[e]
Sumber : Suara Merdeka (27/9)