Semarang– Matahari siang menembus kaca jendela Gereja Katedral Semarang, Kecamatan Semarang Selatan, Minggu (31/8/2025). Suasana hening sesaat sebelum belasan pemuka agama dari berbagai latar keyakinan mengambil tempat duduk. Ada kiai, pastor, bhikkhu, pendeta, hingga tokoh Khonghucu. Mereka berkumpul bukan untuk membicarakan doktrin, melainkan untuk menyuarakan keresahan: seruan moral agar pemerintah menghentikan kekerasan terhadap rakyat.
Pertemuan digelar Persaudaraan Lintas Agama (Pelita) dalam bentuk konferensi pers. Dari meja panjang berlapis kain putih, suara mereka mengeras: hentikan kekerasan, cabut kebijakan yang melukai hati rakyat, dan kembalikan keadilan di atas fondasi moralitas.
“Bangsa ini seperti terbakar dari dalam. Kita harus menyelamatkannya dengan moralitas, bukan dengan kekerasan,” ujar Setyawan Budy, Koordinator Pelita Semarang.
Seruan itu lahir dari krisis yang sudah seminggu penuh membara. Jalanan di banyak kota menjadi medan bentrokan antara rakyat dan aparat.
Di Jakarta, demonstrasi menolak kenaikan tunjangan DPR sebesar Rp 50 juta per bulan berubah jadi tragedi. Affan Kurniawan, pengemudi ojek online berusia 27 tahun, tewas terlindas kendaraan taktis Brimob. Foto dan kisah hidupnya tersebar luas, menjelma simbol amarah rakyat.
Kerusuhan merembet ke Makassar: gedung DPRD terbakar, tiga orang meninggal. Di Surabaya dan kota-kota lain, mobil dibakar, gedung dijebol, hingga penjarahan. Ujaran kebencian bernuansa SARA mulai menyeruak, menambah luka sosial.
Luka dari Jalanan
Jawa Tengah pun tidak lepas. Sejak 29 Agustus, aparat melakukan penangkapan sporadis, membatasi akses bantuan hukum maupun medis bagi mahasiswa dan buruh. “Demokrasi kita makin terdesak ke ruang gelap,” kata Setyawan.
Gelombang amarah akhirnya memaksa Presiden Prabowo tampil bersama pimpinan DPR, MPR, dan DPD. Dalam siaran pers Sabtu malam, tiga keputusan diumumkan: anggota DPR yang melukai hati rakyat akan dicopot, aparat yang menewaskan Affan diproses hukum, dan tunjangan DPR dibatalkan berikut moratorium perjalanan luar negeri parlemen.
Pelita mengapresiasi respons itu, namun menegaskan langkah darurat tidak cukup. Mereka mengeluarkan delapan seruan moral: dari penghentian represivitas aparat, penolakan aksi perusakan, perlindungan kelompok rentan, hingga menuntut agar setiap kebijakan publik berpihak pada kebutuhan rakyat.
“Perubahan sejati hanya bisa lahir dari moralitas, bukan amarah membabi buta,” ujar Bhikkhu Cattamano Mahathera dari Vihara Tanah Putih.
Di tengah siang yang terik, suara para pemuka lintas iman ini menjadi penyejuk. Mereka mengingatkan bahwa bangsa Indonesia pernah melalui badai krisis, dan setiap kali itu pula, solidaritas sosial yang menjaga agar rumah besar ini tidak runtuh.
“Kita rumah besar yang sedang retak. Jangan biarkan retakan itu berubah jadi jurang pemisah,” kata Rm. FX Sugiyana Pr., Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang
Di luar aula, sebelum konferensi pers dimulai suara azan Dzuhur bersahut dengan denting lonceng gereja. Simbol sederhana yang mengingatkan bahwa meski bangsa ini sedang diguncang amarah, ia masih punya alasan untuk bertahan karena ada moralitas yang terus dijaga. (FR)

