Semarang, elsaonline.com – Sedikitnya 28 siswa Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, terpaksa ikuti pelajaran agama. Siswa di semua jenjang itu ada yang mengikuti mata pelajaran agama Islam, Kristen, dan Budha.
Meski bukan keyakinannya, siswa Penganut Kepercayaan terpaksa mengikuti pelajaran agama karena tidak ada pilihan Pelajaran Kepercayaan.
Salah satu wali murid Penghayat Kepercayaan, Kabupaten Magelang, Agung Begawan Prabu mengatakan, anaknya tidak mendapat akses layanan Pendidikan Kepercayaan sehingga terpaksa mengikuti pelajaran agama Islam dan Kristen.
“Anak saya yang pertama SMP, dia mengikuti pelajaran agama Islam. Kemudian yang SMA mengikuti pelajaran agama Kristen. Karena saat mendaftar ke sekolah, hanya ada pilihan enam agama dalam lembaran formulir pendaftaran,” kata sesepuh Kepercayaan Pahoman Sejati itu saat ditemui di kediamannya 25 Desember 2021.
Diskriminasi
Warga Dusun Wonogiri Kidul, Desa Kapuhan, Kecamatan Sawangan itu merasa tidak adanya fasilitas Pendidikan Kepercayaan sebuah perlakuan diskriminasi dari pemerintah. Mengikuti pelajaran agama, lanjut Prabu, karena terpaksa supaya anak-anaknya tetap bisa mengenyam pendidikan. Jika tidak mengikuti pendidikan agama secara formalitas, maka anaknya tidak mendapatkan nilai di raport.
Dalam pemberitaan kompas.com, Dewan Musyawarah Daerah Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Kabupaten Magelang mencatat pada tahun ajaran 2017/2018 ada 73 peserta didik Penghayat Kepercayaan yang tersebar Kabupaten Magelang.
Di antaranya berasal dari Kecamatan Dukun, Pakis, Sawangan, Kaliangkrik, dan paling banyak di Kecamatan Borobudur. Pada tahun ajaran 2020/2021 bertambah menjadi 105 peserta didik, dari jenjang SD hingga SMP.
Di Kabupaten Magelang kurang lebih ada 13 kelompok Kepercayaan. Dalam satu kelompok pengikutnya beragam dari puluhan hingga seratusan orang. Warga penganut Keprcayaan Magelang berharap anak-anak mereka mendapatkan akses pendidikan Kepercayaan, seperti halnya dengan anak-anak penganut agama lain dari enam agama.
Butuh Pendidikan
Penganut Kepercayaan di Kabupaten Magelang, sambung Prabu, pada mulanya tidak menghiraukan fasilitas pendidikan dari negara. Namun, karena perkembangan saat ini membutuhkan pendidikan formal maka penganut Kepercayaan sadar harus bersekolah.
Terlebih, kata dia, pemerintah sudah menerbitkan Permendikbud No. 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan bagi Penganut Kepercayaan. Prabu menilai Permendikbud belum diimplementasikan dengan baik di Kabupaten Magelang.
Prabu mengaku, begitu Permendikbud tentang Layanan Pendidikan terbit, mereka mencoba mengajukan audiensi sejak. Namun, niat untuk berkomunikasi sejak 2016 itu selalu gagal.
Permintaan audiensi baru terlaksana pada tanggal 22 Desember 2021 kemarin. Sayangnya, dalam audensi tersebut respon Dinas Pendidikan Kabupaten Magelang belum memihak kelompok Penganut Kepercayaan dengan dalih dalam Dapodik tidak ada Pelajaran Kepercayaan.
Prabu menyadari, semakin maju dan berkembangnya zaman ajaran Kepercayaan semakin terkikis. Terlebih jika di sekolah anak-anak penganut Kepercayaan diajarkan pendidikan agama yang bukan keyakinannya. Sehingga nilai-nilai keyakinan Kepercayaan mulai pudar dan hanya diajarkan dalam lingkungan keluarga.
Tak ada Kepastian
Menurutnya, kesulitan kelompok mereka dalam mengakses ada pada Dinas Pendidikan. Bahkan dari pihak Kementrian Pendidikan pun saat audensi masih diperdebatkan.
“Mereka cuma jawab, ya kami akan mengkaji dulu, kalau memungkinkan kami akan terapkan. Alasan mereka (Diknas) dalam kolom aplikasi Dapodik tidak ada Pelajaran Kepercayaan, aplikasi di sistem tenaga pengajar harus pendidikan sarjana (S1). Padaha saat audensi itu juga pihak Kementrian sudah memfasilitasi itu semua,” terang Prabu.
Dalam pemberitaan Kompas.com, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Magelang, Azis Amin Mujahidin mengakui, sejauh ini memang belum ada pendidikan agama bagi Penghayat Kepercayaan yang diajarkan di sekolah-sekolah di Kabupaten Magelang.
Hal itu karena belum ada pedoman kurikulum, dan belum ada sumber daya manusia (SDM) pengajarnya. Agama yang ada selama ini enam, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu dan Konghucu.
“Karena belum ada di kurikulum pendidikan Penghayat Kepercayaan dari pusat, dan tidak ada gurunya,” terang Azis, didampingi Sekretaris Disdikbud Muh Rofi. (Jaedin dan Ulya/Cep)