“Itu semua karena kita masih mewarisi mental inlander. Menganggap rendah punya sendiri, dan menganggap yang datang dari luar itu superior. Kita begitu saja menerima pola-pola pengetahuan colonial. Itu yang kemudian menyebabkan mereka yang menganut agama dan kepercayaan leluhur itu mengalami diskriminasi,” terang penulis buku Atlas Walisongo tersebut, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (27/5) kemarin.
Pengetahuan kolonial yang kemudian membuat kategorisasi bahwa pengikut agama lokal ini menganut animisme, dinamisme atau politeisme. “Jangan lupa, ajaran mereka (penganut agama lokal) itu juga mengajarkan moralitas dan budi pekerti,” kata Agus.
Masyarakat Jawa penganut Agama Kapitayan, juga memiliki konsepsi tentang Yang Maha Kuasa, yang mereka sebut dengan Sang Hyang Taya. Taya bermakna Yang Absolut, yang tidak bisa dipikir dan dibayang-bayangkan. Tidak bisa didekati dengan pancaindra. Orang jawa kuno mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat “tan kena kinaya ngapa” alias tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya.
Ketika menyebarkan Islam, Walisongo tidak merubah ini. Semuanya tetap dipertahankan. “Sebutan kepada pemimpin agama juga khas Jawa, Kyai. Hadlratus Syeikh Hasyim Asy’ari ketika pulang dari Mekkah ya dipanggil lagi dengan sebutan lokal, Kyai. Jadi bukan ustadz atau yang berbau-bau arab,” kata Agus.
Lokalitas, lanjut Agus sampai saat ini tersimpan dalam tradisi pesantren. “Di Jawa, ngaji kitab itu pakai bahasa Jawa. Kalau di Tatar Sunda ya dengan Bahasa Sunda. Begitu juga di daerah yang lain,” sambung alumnus IKIP Negeri Malang.
Karenanya, Agus mengingatkan kalau 17 Agustus 1945, barulah sebatas kemerdekaan politik. Tetapi sesungguhnya bangsa Indonesia belum merdeka secara pikiran dan mentalitas. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin]