Dirjen Kebudayaan: Selesaikan Persoalan Kepercayaan Dengan Obrolan

Prof. Kacung Marijan. [Foto: Ceprudin]
Prof. Kacung Marijan. [Foto: Ceprudin]
[Semarang –elsaonline.com] Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Prof Kacung Marijan mengutarakan pentingnya sarasehan. Sarasehan, artinya ngobrol yang merupakan budaya bangsa Indonesia.

“Ngobrol itu penting, sesuatu kalau tidak diobrolkan ada prasangka, kalau ada prasangka ada kecurigaan, kalau ada kecurigaan jadinya pendelik-pendelikan,” tukasnya, pada “sarasehan daerah penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” di Hotel Pandanaran, Rabu (26/8/15).

Kacung menyatakan itu terkait dengan persoalan yang dialamai penganut Kepercayaan. Menghadapi persoalan itu, katanya, ngobrol itu penting. “Saya ini orang desa, dulu sebelum berangkat ke sawah, keluarga saya selalu minum kopi pagi terlebih dahulu. Kelihatanya tidak bermanfaat, tapi ternyata persoalan rumah tangga bisa terselesaikan dengan obrolan sambil ngopi,” tambahnya.

Guru Besar Ilmu Politik Unair itu mengungkap sistem pemerintahan sebelum kemerdekaan. Menurutnya, sebelum dijajah, terdapat raturan kerajaan-kerajaan kecil. “Di Nusantara itu terdapat 130 kerajaan-kerjaan kecil sebelum akhirnya merdeka. Kerajaan yang besar itu di Solo-Yogyakarta. Bayangkan jika masing-masing kerajaan itu ingin mendirikan negara, akan seperti apa, minimal kan ada 130 kerajaan,” katanya.

Satu Bangsa
Kacung menambahkan, dari 130 kerajaan itu, keturunan-keturunannya mempunyai peran dalam kemerdekaan. Meskipun para pejuang kemerdekaan itu merupakan keturunan raja, namun mereka memutuskan tidak menghidupkan kembali kerajaanya.

“Padahal mereka anak-anak ningrat (raja). Tapi mereka bersepakat mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menjadi satu bangsa. Saya kira ini keputusan yang luar biasa dari bangsawan-bangsawan kita. Dan kesadaran ini dibangun betul, karena dibangun di atas keberagaman etnis dan keyakinan,” tuturnya.

Kacung mengira, keputusan politik yang diambil oleh trah raja itu luar biasa. Suatu keyakinan itu tak bisa dipaksakan. “Kita semua tidak pernah melihat wujud tuhan. Karena kalau tuhan bisa diwujudkan maka bukan tuhan lagi. Yang penting adalah kita menghargai masing-masing orang yang mempunyai keyakinan yang bebeda-beda. Itulah yang hendak dibangun Indonesia. UU pun mengakui, karena itu hak-haknya pun harus terpenuhi,” paparnya.

Baca Juga  Menurun, Angka Intoleransi Keberagamaan di Jawa Tengah

Melihat sejarah demikian, maka tepat ketika penganut kepercayaan mengalami persoalan diselesaikan dengan rembugan. “Kalau ada masalah, mari kita duduk bareng, rundingan. Itu merupakan upaya untuk menghilangkan salah sangka. Meyakini kepercayaan sejatinya untuk meraih ketenangan hati. Kalau hatinya tenang maka masalah akan diselesaikan dengan baik,” [elsa-ol/Ceprudin/@ceprudin/001]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Memahami Jalur Eskalasi dan Deeskalasi Konflik

Oleh: Tedi Kholiludin Konflik, dalam wacana sehari-hari, kerap disamakan dengan...

Tiga Pendekatan Perdamaian

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam artikel “Three Approaches to Peace: Peacekeeping,...

Wajah-wajah Kekerasan: Kekerasan Langsung, Kekerasan Struktural dan Kekerasan Kultural

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung (1990) dalam Cultural Violence membagi...

Memahami Dinamika Konflik melalui Segitga Galtung: Kontradiksi, Sikap dan Perilaku

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung dikenal sebagai pemikir yang karyanya...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2024

ELSA berusaha untuk konsisten berbagi informasi kepada public tentang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini