Permasalahan perkawinan penghayat sampai saat ini belum menemukan titik terang. Meski telah ada regulasi yang mengakomodir kepentingan penghayat, ternyata masih terdapat sekelompok kecil yang terdiskriminasi. Khususnya berkaitan dengan status penghayat yang tidak bernaung dalam sebuah organisasi. Diantara regulasi yang bermasalah tersebut adalah UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan turunannya PP Nomor 37 tahun 2007 serta UU Adminduk terbaru tahun 2013.
Dalam hal ini, bentuk diskriminasi dan pelanggaran HAM ternyata tidak lepas dari inkonsistensi Negara dalam menegakan hukum, keadilan dan hak asasi manusia. Masalah legalitas perkawinan yang diskriminatif dapat berdampak sistemik bagi perlindungan hukum individu warga Negara. Diantaranya berkaitan langsung dengan status pencatatan perkawinan, hak dasar anak sampai masalah warisan dan legalitas dalam Adminduk. Sampai saat ini, ternyata Negara terlalu ikut campur dalam masalah privat. Alihalih bertugas menghormati dan melindungi, sebaliknya justru malah merampas hak dasar warga Negara.
Tulisan Erorf pada edisi kali ini, dimulai dengan mengupas fakta lapangan tentang diskriminasi dalam perkawinan penghayat Samin Kudus. Selanjutnya diteruskan dengan pembahasan tentang analisis regulasi nasional yang masih carut marut. Tidak hanya berkaitan dengan substansi materi yang masih gamang, lebih dair itu sosialisasi regulasi yang terkesan lambat ikut memperparah diskriminasi yang berlangsung.
Masih berkaitan dengan regulasi nasional, secara khusus juga dibahas tuntas tentang sejarah dan polemik UU Perkawinan. Akhirnya tulisan dipungkas dengan analisis kebijakan Negara dan regulasi perkawinan dalam perspektif Instrumen HAM Internasional. Akhirnya redaksi menyampaikan selamat membaca!