(Salatiga, elsaonline.com) ”Apa yang kita sebut sebagai Indonesia itu muncul pada 1945, sebelum itu belum pernah ada yang namanya Indonesia” demikian diungkapkan Prof Dr. John A. Titaley dalam kelas Indonesia Menurut Indonesia Program Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Rabu 15/01/08.
Ia menambahkan bahwa membentuk Indonesia hadir dari sebuah kesadaran bersama. Meski di Indonesia telah ada kerajaan-kerajaan seperti Majapahit atau Sriwijaya, namun kemunculan kerajaan itu lebih banyak dilatari oleh satu model pemaksaan. ”Inilah yang menyebabkan kenapa saya mengatakan bahwa Indonesia adalah fenomena baru” tuturnya.
Kesepakatan itu sendiri lanjutnya, dibangun dan diawali dengan eksternalisasi dilanjutkan dengan obyektifasi dan diakhiri dengan internalisasi. Indonesia itu lahir dari berbagai suku bangsa. Dan karena itu persoalan jati diri bangsa bisa menjadi satu masalah bagi Indonesia.
John menambahkan bahwa Indonesia hidup dengan asas demokrasi bukan dominasi. Dan konsep ini, tidak pernah ada sebelum 1945. Sebagai fenomena baru Indonesia menjelma sebagai satu realitas dengan dua identitas, primordial dan nasional. Identitas primordial, meliputi orang dengan berbagai latar belakang ethnik dan budaya: Jawa, Batak, Dayak, Bugis, Bali, Timo, Maluku, dsb. Termasuk juga orang dengan berbagai klatar belakang agama : Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Kaharingan, dsb.
Sementara Identitas nasional ini adalah sebuah konsep kebangsaan yang tidak pernah ada padanan sebelumnya dan karenanya perlu dirumuskan oleh suku-suku tersebut.
Secara etimologi, Indonesia berasal dari kata Hindu (Hindustan) dan Nesos (Kepulauan). Secara budayawi, Indonesia menurut John adalah an empty concept. Ia mencontohkan kalau orang Jawa bisa diidentifikasi sebagai orang lembut, Ambon orang yang keras, lalu bagaimana mengidentifikasi orang Indonesia tersebut. Kesulitan itulah yang menyebabkan mengapa (secara budayawi), Indonesia adalah sebuah konsep yang hampa.
Untuk mengisi kehampaan itu lalu ditawarkanlah tiga macam konsepsi yakni Nasionalisme (tradisionalisme Jawa), Islam (Islam Politik) serta Sosialisme (Gagasan Marxisme).
Nasionalisme yang terepresentasikan oleh tradisionalisme Jawa muncul sebagai satu bentuk komitmen dari identitas primordial yang menggambarkan jati diri suku-suku bangsa di Indonesia. Sementara Islam mencuat karena di negeri ini agama tersebut hadir sebagai mayoritas. Dan sosialisme ini tidak lepas dari gerak politik dan ekonomi global, yang mau tidak mau, suka atau tidak masuk dan muncul dalam alam pikir Soekarno.
Pada perkembangannya tiga konsepsi ini kemudian hadir dan dirumuskan dalam Pancasila oleh Soekarno. Materinya terdiri dari 1. Nasionalisme 2. Internasionalisme 3. Demokrasi 4. Kesejahteraan Sosial 5. Ketuhanan.
Kalau dilihat, lima sila tersebut sesungguhnya merupakan akselerasi dari tiga akar ideologis pemikiran Soekarno yakni nasionalisme, Islam dan Marxisme. Dan tiga diantaranya adalah akar-akar pemikiran Marxis yakni Internasionalisme, Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial.
John mengatakan bahwa ia yakin tiga hal itu merupakan refleksi pemikiran Marxis karena kemanusiaan (yang adil dan beradab) seharusnya diterjemahkan dengan Humanisme atau Humanity bukan internasionalisme. Konsep internasionalisme menurut John itu bisa dilacak pada akar pemikiran Marxis yang menghendaki bersatunya buruh-buruh di seluruh dunia. Buruh harus bersatu di seluruh dunia internasional karena kekuatan kapitalis semakin menjadi dan merugikan kaum buruh. Dan inilah yang menjadi akar dari gagasan internasionalisme yang diusung Soekarno. ”Tapi bisa jadi analisis saya salah” kata John.
Dengan begitu, maka Indonesia sesungguhnya adalah negara yang sangat menghargai pemikiran Marxis. Jadi kita tidak bisa dan tidak mungkin melarang pemikiran Marxis karena mereka menjadi akar dari pemikiran Soekarno.
Selain tiga point yang merupakan refleksi dari pemikiran Marxis tadi, ada satu langkah progresif yang berhasil dirumuskan Soekarno yakni pada persoalan Ketuhanan. Meski awalnya berasal dari keinginan untuk mengakomodir kepentingan kelompok Islam, tetapi Soekarno mengejawantahkannya dalam kata Ketuhanan.
Ini dimaksudkan bahwa sesungguhnya Pancasila adalah jati diri yang merupakan buah dari penerimaan terhadap keragaman (agama). Karena meski mayoritas, Indonesia bukanlah negara yang dihuni oleh satu agama saja. Ini adalah salah satu pikiran maju Soekarno. Dengan menggunakan kata Ketuhanan, berarti berlaku pulalah azas semua buat semua, bukan satu buat semua atau semua buat satu. Dan pada akhirnya, semua mendapat tempat dalam jati diri itu. Dari sini identitas budayawi yang kosong tadi, mulai bisa diisi, salah satunya dengan konsensus atau Pancasila yang memiliki prinsip egalitarian tadi.
Dalam perkembangannya, identitas primordial bangsa Indonesia muncul ke permukaan dan terkadang hadir untuk menjadi satu kelompok dominan atas kelompok lainnya. Salah satunya adalah keinginan kelompok Islam melalui Piagam Jakarta. Kehendak itu antara lain keinginan untuk merubah sila Ketuhanan dengan ”Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan sjayri’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Piagam Jakarta ini menjadi semacam ancaman karena disana tidak terefleksikan asas semua buat semua. Selain itu juga piagam ini mencerminkan prinsip ada yang diistimewakan dan yang tidak. Yang pada akhirnya, tidak semua mendapat tempat dengan jati diri itu.
Atas perubahan itu, maka muncullah keberatan dari Para Pemimpin Indonesia Timur pada 17-8-1945. Dan keberatan itu dipahami dengan baik oleh Muh. Hatta yang tanpa ba-bi-bu merubah rumusan Piagam Jakarta dan menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sebagai dampak dari perubahan tersebut maka dalam Pasal 6 ayat 1 UUD 45 (pra amandemen) disebutkan bahwa Presiden ialah orang Indonesia asli. Rumusan beragama Islam dihapus. Pasal 29 ayat 1: Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Alinea ketiga pembukaan kata atas berkat rahmat Allah yang mahakuasa diganti menjadi atas berkat rahmat Tuhan yang Maha Kuasa
Konsekuensi perubahan kata Allah dengan kata Tuhan antara lain semua orang Indonesia diperlakukan sama karena berhak menjadi presiden. Dan hal ini merupakan satu bentuk religiositas Indonesia yang inklusif-transformatif.
Inklusif artinya keberagamaan ini menerima keberadaan warga negara Indonesia dengan beragam agama mereka masing-masing. Sementara, Transformatif artinya bahwa dalam hubngan kebersamaan mereka sebagai warga negara, terbuka untuk mengalami transformasi akibat perjumpaan itu. ”Kalau sekarang muncul banyak persoalan di Indonesia, semuanya itu berawal karena kita sama-sama butuh makan” kata John di akhir diskusi. [elsa-ol/01]