Grace Davie dan Konsep Vicarious Religion

Oleh: Tedi Kholiludin

Pada tahun 1990, Grace Davie, sosiolog dari Inggris menulis artikel di Social Compass yang berjudul “Believing without Belonging: Is This the Future of Religion in Britain?.” Tulisan ini kemudian ia kembangkan menjadi sebuah buku utuh yang berjudul “Religion in the Britain since 1945: Believing without Belonging.”

Di Inggris, terang Davie, perkembangan masyarakat dalam soal keberagamaan menunjukan adanya ketidaksesuaian antara keyakinan dengan praktik keagamaan. Apa yang menjadi nilai (believing) tidak serta merta berdampak pada manifestasi pemeluknya untuk pergi ke gereja (belonging). Mereka meyakini, tetapi tidak memiliki. Frase “believing without belonging” ini menjadi sangat lekat dengan professor dari University of Exeter tersebut, yang mungkin sebangun dengan istilah “spiritual but not religious.”

Berdasarkan analisis Davie terhadap survey, ia mengatakan meski tingkat kehadiran jemaat di gereja anjlok dan Eropa menjadi “exceptional case,” tetapi individu-individu di Inggris masih memegangi keyakinan yang bersifat metafisik dan supranatural. Orang-orang Eropa tidak jatuh pada saintifik-skeptis dan ateis ataupun agnostik. Banyaknya aturan membuat jemaat bosan, tetapi hati mereka masih meyakini tentang Yang Maha Kuasa.

Jika di Inggris fenomena keberagamaan ditandai dengan “believing without belonging,” Davie melihat bahwa dalam masyarakat Eropa secara umum ada sebentuk “vicarious religion.” Kata Davie, vicarious religion adalah “…the notion of religion performed by an active minority but on behalf of a much larger number, who (implicitly at least) not only understand, but, quite clearly, approve of what the minority is doing.” Konsep “agama perwakilan,” (jika frase ini dirasa pas untuk menerjemahkan vicarious religion) merupakan gagasan agama yang ditunjukan oleh minoritas aktif tetapi atas nama kelompok yang lebih besar, yang (secara implisit setidaknya) tidak hanya mengerti, tapi, cukup jelas, menyetujui apa yang dilakukan kelompok minoritas.

Baca Juga  HPK Jepara “Urun Rembug” Kasus Dermolo

Kata Davie sendiri, “vicariousness,” masih sangat bergema di Eropa pada tahun-tahun awal abad dua puluh satu dan juga masih prospektif di masa mendatang. Sebagai sebuah konsep, “vicarious religion” lebih tajam dan akurat daripada “believing without belonging.” Konsep “vicarious religion” ini tidak hanya melampaui dikotomi sederhana namun juga menunjuk pada sejarah budaya dan politik yang kompleks yang mungkin membentuk pola “keterwakilan” dalam masyarakat tertentu. (Davie, 2007).
Agama, dapat beroperasi secara vikaris dalam beberapa jalan. Gereja dan pemimpin gereja melakukan ritual atas nama orang lain, mewujudkan kode moral atas nama orang lain dan menawarkan ruang untuk perdebatan perwakilan dari masalah yang belum terselesaikan dalam masyarakat modern.

Kalau kita mencermati tesis Jose Casanova tentang sekularisasi yang terdiri dari tiga proposisi, penurunan agama, diferensiasi dan privatisasi- maka konsep “vicarious religion”nya Davie tidak bertentangan dengan salah satu dari ketiganya. Namun, ia mungkin bisa dilihat sebagai salah satu pola diferensiasi di Inggris dan Eropa seraya bermaksud menjelaskan bagaimana fungsi agama dalam masyarakat.

Ide Davie ini diamini oleh Peter L. Berger dan digunakannya untuk melihat fenomena pajak gereja di Jerman. Di Jerman, kata Berger dalam “Religion and the West,” sudah tidak ada lagi gereja negara. Tetapi semua lembaga keagamaan yang teregistrasi sebagai “corporations of public law” memiliki hak istimewa. Mereka mendapatkan bagian dari pajak gereja yang dibayarkan oleh warga negara berupa 8 persen dari pendapatan per bulannya. (Berger, 2005)

Individu yang yang tidak mau membayar pajak ini mendeklarasikan dirinya tak berafiliasi kepada kelompok agama (konfessionslos) dan dengan demikian dapat menyimpan uangnya. Tetapi, banyak juga yang tidak melakukan hal tersebut. Artinya, mereka tetap memberikan pajak gerejanya. Ketika ditanya, jawabannya beragam. Ada yang menjawab, hal itu dilakukan karena pada satu titik dalam kehidupannya, mereka ingin berangkat ke gereja. Jawaban lainnya adalah karena mereka ingin ke gereja untuk mendidik moral anak-anaknya atau karena gereja penting untuk membangun tatanan masyarakat.

Baca Juga  Silih Puntangan, Silih Caangan, Silih Elingan: Gereja Kristen Pasundan dan Kepemimpinan Perempuan

Seseorang, tidak ingin dilibatkan secara personal dengan gereja, tetapi keberadaan mereka disana adalah untuk orang lain atau masyarakat secara umum. Kata Berger, fenomena ini jarang terjadi pada masyarakat Amerika. Davie telah menggunakan istilah yang tepat untuk fenomena ini, vicarious religion.

Vicarious religion maupun believing without belonging, adalah fenoman yang dicermati Davie dalam konteks keberagamaan masyarakat Inggris atau Eropa pada umumnya ketika berhadapan dengan modernitas. Nyatanya, sekularisasi tidak serta menurunkan minat masyarakat terhadap agama. Ada pelbagai pilihan yang diambil, entah dengan tidak berafiliasi pada agama institusional, ataupun mengambil bentuk “agama perwakilan.”

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...
Artikel sebelumnya
Artikel berikutnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini