Harmoni, Kemanunggalan dan Rasa: Menyelami Jawa yang terus Bergerak

Oleh: Tedi Kholiludin

Budaya Jawa yang Adaptif
Saya hendak mengawali tulisan ini dengan menulis ulang apa yang menjadi alasan seorang Franz Magnis-Suseno (1988) mengkaji Etika Jawa dengan sangat bernas. Ciri khas kebudayaan Jawa, kata Romo Jesuit itu adalah “kemampuan luar biasa… untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar –dan dalam banjir itu, mempertahankan keasliannya.” Perkembangan budaya Jawa justru terlihat serta tergambar pada kemampuannya mencerna kebudayaan lain, bukan dalam ruang isolasi.

Jika kita bersepaham dengan tuturan Romo Magnis, itu artinya, kekhasan Jawa terletak pada kemampuannya mengolah yang asing menjadi bagian dari dirinya sendiri. Kebudayan Jawa bukan tembok yang menolak pengaruh luar, melainkan wadah yang mampu menampung dan menafsir ulang setiap unsur baru dalam kerangka makna yang sudah dimilikinya.

Dari sinilah tampak bahwa Jawa bersifat dinamis; selalu diperbarui melalui proses penyerapan, penyesuaian, dan penafsiran ulang. Karena itu, sejarah kebudayaan Jawa lebih tepat dibaca sebagai sejarah dialog, bukan dominasi; sejarah penyerapan yang kreatif, bukan pertarungan yang destruktif. Dalam kebudayaan semacam ini, identitas bukanlah sesuatu yang statis, melainkan hasil dari proses yang terus-menerus men-Jawa-kan pengaruh luar agar tetap serasi dengan tatanan nilai dan rasa yang telah mengakar. Transformasi itu yang kemudian melahirkan semacam Javanized Christianity, Javanized Islam dan seterusnya.

Harmoni dan Toleransi
Kemampuan adaptif tersebut menandai sebuah etos sosial yang khas; terbuka tapi tetap dalam kendali. Dari sinilah sikap toleran dan kompromi orang Jawa bisa ditemukan. Proses penyerapan budaya luar selalu diiringi dengan upaya menjaga rukun, menata keseimbangan, dan menghindari konfrontasi terbuka. Pandangan itu berasal dari keyakinan mendalam bahwa harmoni lebih bernilai daripada kemenangan. Kalaupun kemenangan diraih, itu harus ada dalam filosofi “menang tanpo ngasorake.” Pandangan inilah yang kemudian oleh Benedict Anderson (2003) dibaca sebagai bagian dari prinsip toleransi orang Jawa—yakni keyakinan bahwa keberagaman dapat dirangkul selama tidak mengganggu tatanan batin dan sosial yang diidealkan.

Baca Juga  Mewarisi Kepahlawanan Soegijopranoto

Anderson menyoroti kekuatan kesadaran budaya orang Jawa dan bagaimana hal itu membentuk toleransi mereka terhadap keragaman. Menurutnya, sifat sejati toleransi Jawa tidak lahir dari prinsip moral universal atau “humanisme abstrak” seperti di Barat, tetapi dari perasaan akan keseimbangan dan keutuhan diri sebagai orang Jawa. Anderson menulis “sifat sejati ‘toleransi’ Jawa haruslah dicari bukan pada kerelaan menerima sistem-sistem etika dan keagamaan secara abstrak ‘humanis’, melainkan pada perasaan orang Jawa tentang kepribadian dan tradisi mereka sendiri.”

Lebih jauh, Anderson mengatakan bahwa masyarakat Barat tidak memiliki mitologi religius. Kata Anderson, “satu di antara perbedaan yang mencolok antara masyarakat Barat dan Jawa adalah ketiadaan mitologi religius yang memiliki dorongan kuat pada masyarakat Barat…” sementara, pada masyarakat Jawa hal tersebut sangat terasa kuat vibrasinya. Bagi Anderson, hal ini menunjukkan bahwa Dalam kebudayaan Jawa, kehidupan sosial dan politik masih sangat ditopang oleh struktur makna mitologis yang membayangi relasi antarindividu maupun antara manusia dan kekuasaan.

Kebudayaan Jawa sebagai “civilizational habitus” yang mampu menyerap perbedaan karena ia tidak terikat oleh satu mitos tunggal dan inilah yang membuatnya lentur serta bertahan lama. Pada masyarakat Jawa, toleransi lahir bukan dari prinsip rasional seperti dalam masyarakat Barat, tetapi dari kesadaran kosmis; bahwa segala sesuatu memiliki tempatnya masing-masing dalam tatanan dunia yang lebih besar (order of the universe). Karena itu, perbedaan tidak mesti dihapuskan; cukup dijaga agar tidak merusak keseimbangan.

Kerangka konseptual Clifford Geertz (1973) tentang agama sebagai sistem budaya memberi dasar teoritis bagi pembacaan atas kebudayaan Jawa yang sebelumnya diuraikan oleh Magnis-Suseno dan Anderson. Dalam esainya “Religion as a Cultural System,” Geertz menjelaskan bahwa simbol-simbol religius berfungsi untuk “mensintesiskan suatu etos dan pandangan dunia, serta menjelaskan dunia secara emosional dan meyakinkan.”

Sebagai sistem simbolik, agama, keyakinan atau apapun bentuknya, berperan untuk menghubungkan cara manusia memahami realitas (worldview) dengan cara manusia menjalaninya secara etis dan emosional (ethos). Kejawaan dapat dilihat sebagai sistem simbolik yang bekerja seperti agama: ia menyatukan pandangan dunia, etika sosial, dan pengalaman batin ke dalam satu kesatuan makna yang memberi arah bagi kehidupan.

Baca Juga  Negara Spanyol, Bangsa Catalan dan Jenderal Franco

Apa yang oleh Anderson disebut sebagai mitologi, sejatinya adalah bentuk konkret dari sistem simbolik yang dimaksud Geertz, sebuah tatanan makna yang tidak hanya menjelaskan dunia, tetapi juga meneguhkan perasaan dan perilaku manusia di dalamnya.

Kemanunggalan dan Rasa
Salah satu prinsip Jawa soal tatanan adalah tentang “Kemanunggalan.” Kata Niels Mulder (1983), “Kemanunggalan menurut orang Jawa bukanlah sekadar bersatunya orang-orang, melainkan lebih hakiki lagi, paham tentang kemanunggalan sang Ada, di mana unsur-unsurnya hanya kelihatan saja terpisah-pisah.”

Dalam bacaan Niels Mulder, bagi orang Jawa, realitas adalah tatanan yang bulat, terkoordinasi, dan hierarkis. Segala unsur (lahir–batin, kasar–halus, rasio–rasa) mesti seimbang dan berjalan secara harmonis. Jika kita sering mendengar istilah rukun, musyawarah, dan gotong royong, itu bukan sekadar etika sosial, tetapi manifestasi dari kosmologi ini: menjaga harmoni dalam tatanan. Tatakrama Jawa mengajarkan bahwa individu hanya diakui sejauh ia berfungsi dalam harmoni kelompok. Meski begitu, masih ada ruang untuk privacy selama tidak mengganggu keteraturan sosial.

Dalam kebatinan, ekspresi pribadi bersifat vertikal (hubungan dengan Tuhan/Sang Hyang), bukan horizontal (perlawanan sosial). Dengan gambaran tersebut, Mulder melihat kebudayaan Jawa sebagai struktur makna yang berpusat pada keselarasan kosmis dan sosial, di mana etos harmoni menjadi dasar moral dan sosial.

Merujuk ide Mulder, kebatinan Jawa berpusat pada pengalaman kemanunggalan; kesatuan antara manusia, alam, dan Yang Transenden. Jalan menuju kesatuan itu dilewati melalui jalur pendalaman batin, pengendalian diri, dan keheningan. Kesadaran batin menjadi sumber etika sosial: orang Jawa menjaga harmoni luar karena telah lebih dahulu menata harmoni dalam.

Di titik inilah konsep rasa, sebagaimana dijelaskan oleh Paul Stange (2009), menemukan relevansinya. Rasa merupakan jembatan antara batin dan dunia luar, antara pengalaman pribadi dan tatanan sosial. Ia memungkinkan kemanunggalan tidak berhenti sebagai pengalaman mistik, tetapi menurun menjadi kehalusan dalam bertutur, bertindak, dan berelasi. Melalui rasa, orang Jawa belajar mengenali getaran halus dalam hubungan sosial; apa yang pantas dikatakan, bagaimana menjaga perasaan orang lain, dan kapan harus diam agar suasana tetap rukun. Dengan demikian, rasa bukan sekadar perasaan, melainkan bentuk kesadaran reflektif yang memelihara keseimbangan antara kesatuan batin dan kehidupan sosial.

Baca Juga  “Family Factor”: Membaca Pikiran Eberstadt tentang Agama dan Keluarga

Jika kemanunggalan adalah dimensi spiritualitas, maka rasa adalah penggugah yang bersifat afektif dan etis dari pengalaman tersebut. Melalui rasa, pengalaman kesatuan dengan semesta diterjemahkan menjadi kehalusan dalam laku dan kepekaan dalam bersosialisasi. Di sinilah pokok kebudayaan Jawa: ia tidak berhenti pada ajaran mistik, melainkan menurunkannya ke dalam tata kehidupan yang berimbang; antara batin dan lahir, antara diri dan liyan, antara tatanan kosmos dan tatanan sosial.

Kejawaan yang terus Bergerak
Saya membuka esai ini dengan mengutip pikiran Franz Magnis-Suseno tentang kemampuan luar biasa kebudayaan Jawa untuk menyerap gelombang-gelombang kebudayaan luar tanpa kehilangan jati dirinya. Pandangan itu menjadi titik tolak untuk membaca ke-Jawa-an sebagai sebuah proses yang terbuka, dinamis, dan reflektif.

Sebagai penutup, saya hendak mengakhiri tulisan ini dengan menghadirkan sebuah kesadaran kritis bahwa setiap harmoni bukan berarti tanpa konflik, pasti menyimpan ketegangan di dalamnya. Etika harmoni ini dapat menjelma menjadi mekanisme sosial yang menekan perbedaan dan menghindari keterusterangan. Dorongan untuk menjaga keselarasan kadang mengorbankan keterbukaan. Sementara kehalusan tak jarang berubah menjadi strategi diam yang mempertahankan tatanan.

Di sinilah pentingnya membaca kebudayaan Jawa bukan sebagai mitos keselarasan yang beku, tetapi sebagai ruang negosiasi yang terus bergerak antara keteraturan dan perubahan, antara kehalusan rasa dan keberanian bersuara. Sebab, mungkin di sanalah kebijaksanaan sejati kebudayaan Jawa diuji, bukan dalam kemampuannya menghindari konflik, melainkan dalam kemampuannya menata ulang harmoni ketika konflik menjadi fakta yang tak terhindarkan.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Di Balik Ketenangan Jalsah Salanah di Krucil Banjarnegara

Oleh: Tedi Kholiludin Letak Dusun Krucil, Desa Winong, Kecamatan Bawang...

“Everyday Religious Freedom:” Cara Baru Melihat Kebebasan Beragama

Oleh: Tedi Kholiludin Salah satu gagasan kebebasan beragama yang...

Penanggulangan HIV dan Krisis Senyap di Garda Depan

Oleh: Abdus Salam Staf Monitoring Penanggulangan HIV/AIDS di Yayasan ELSA...

Fragmen Kebangsaan dari yang Ter(Di)pinggirkan

Oleh: Tedi Kholiludin Percakapan mengenai kebangsaan dan negara modern, sering...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini