(Semarang, elsaonline.com) – Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Syariah, Komisariat Walisongo Semarang menggelar diskusi dengan tema “membumikan patriotisme dan nasionalisme: upaya meneguhkan jati diri bangsa”, Senin, (12/11). Diskusi ini digelar dalam rangka memperingati hari pahlawan nasional. Acara yang dipandu oleh Khoirul Anwar ini dihadiri oleh puluhan kader PMII se IAIN Walisongo.
Hadir sebagai narasumber dalam dalam acara tersebut, Theodorus Sudimin, dari lembaga “The Soegijapranata Institute”, Ahmad Fauzi, dari penulis buku dan Tedi Kholiludin dari Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang. Dari tahun ke tahun, hari pahlawan selalu meriah diperingatkan. Namun, peringatan hari pahlawan akan terasa kering jika tanpa pemaknaan yang baru.

“Saya kira memaknai jasa pahlawan sekarang ini tidak lagi dimaknai sebagai orang yang berjuang perang dimasa lalu, orangnya pandai beretorika, bangsawan, seperti Sukarno, berpakaian parlente seperrti SBY dll. Tapi makna pahlawan sekarang ini harus dimaknai dengan orang yang berjuang sungguh-sungguh dan itu mampu menanggung dosa para pejabat. Orang yang menanggung dosa para pejabab adalah orang-orang pinggiran,” ujar Ahmad Fauzi.
Orang pinggiran yang selama ini menderita karena dosa para pejabat, lanjut Fauzi, adalah seperti halnya para petani, nelayan, pedagang dan para buruh yang selalu hidup sengsara. Mengenai jasa para pahlawan masa lalu juga memang tidak dipungkiri jasa-jasanya yang telah berjuang demi kemerdekaan bangsa ini. Seperti halnya Soegijapranata.
“Soegija merupakan sosok orang praktisi agama yang mempunyai rasa nasionalisme yang sangat tinggi. Ia bukan pemikir agama, namun lebih kepada praktisi dimana pada masa penjajahan belanda ia berjuang mempertahankan keselamatan rakyat dari serangan belanda,” sambung Theodorus Sudimin. Perjuangan Soegija saat itu juga diakui oleh Tedi. Tedi mengatakan bahwa Soegija adalah praktisi agama yang pada saat itu sangat bersikap pluralis terhadap semua agama dan golongan. “Dalam film itu diceritakan bahwa suatu saat rakyat sedang genting karena serangan belanda. Namun pada waktu itu, rakyat yang berbeda agama itu semua diterima oleh Romo Soegija,” pungkas Tedi. (elsa-ol/Ceprudin)