Oleh: Khoirul Anwar
Sungguh ironi. Hari raya Idul Adha yang seharusnya dijadikan sebagai hari perenungan atas hak hidup dan kehormatan manusia terdapat sekelompok umat Islam yang melakukan tindak kekerasan terhadap saudaranya, jemaat Ahmadiyah di Bandung dipaksa membubarkan diri untuk tidak ikut serta merayakan hari raya Kurban, masjid mereka dirusak (26/10). Aksi kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah ini bukan yang pertama kalinya, tapi sudah berulang kali. Kekerasan ini menambah panjang jumlah kekerasan di Negeri ini, mulai dari kekerasan yang menimpa Syi’ah di Sampang Madura hingga tawuran pelajar dan kekerasan yang dilakukan oknum TNI AU terhadap salah satu wartawan.
Dalam hari raya Idul Adha setidaknya terdapat dua momentum sejarah yang harus kita renungkan, yakni kisah Nabi Ibrahim As. dan pidato terakhir nabi Muhammad Saw. di padang Arafah.
Nabi Ibrahim adalah salah satu dari dua nabi yang mendapat gelar sebagai kekasih Allah (khalilullah), satunya lagi adalah nabi Muhammad Saw. Dalam hidupnya diceritakan bahwa nabi Ibrahim ketaqwaannya dicoba oleh Allah untuk mengorbankan anaknya, Ismail. Perintah ini merupakan ujian besar baginya. Ismail adalah satu-satunya anak yang dimiliki Ibrahim, dan itupun lahir ketika Ibrahim dan pasangannya sudah berusia lanjut. Atas dasar kepatuhannya kepada Allah kepemilikan yang paling ia sukai di dunia rela dikorbankan, namun kemudian perintah pengorbanan tersebut oleh Allah diganti hewan, bukan manusia.

Momentum sejarah lainnya adalah pidato terakhir nabi Muhammad Saw. dalam haji perpisahan (hajjatul wada’). Dalam pidatonya nabi Muhammad Saw. berpesan kepada umat Islam supaya menjunjung tinggi dan melindungi tiga hak asasi manusia, yaitu hak hidup yang jauh dari pertumpahan darah dan kekerasan (dima’), hak properti dan harta benda (amwal), dan hak kehormatan dan profesi (a’radl). Nabi Muhammad Saw. juga menegaskan bahwa sesungguhnya semua umat manusia itu satu (inna abakum wahid), orang Arab tidak lebih utama dari pada yang lainnya, orang kulit putih tidak lebih utama ketimbang lainnya, begitu juga orang kulit merah, dan yang lainnya, semuannya berasal dari sesuatu yang satu, yakni debu (Fahmi Huwaidi, hal. 84).
Kehormatan Manusia Dalam Islam
Dalam al-Quran Allah berulang kali menyebutkan manusia sebagai makhluk yang paling mulia ketimbang makhluk-Nya yang lain. Antara lain dalam QS. 17:70, QS. 95:4, QS. 7:11, QS. 2:30, dan yang lainnya. Yang perlu diperhatikan, dalam beberapa ayat tersebut Allah menyebut makhluk-Nya yang paling mulia, dan memerintahkan umat manusia untuk saling menghormati dan melindungi saudara sesama redaksi yang digunakan-Nya adalah “al-insan dan an-nas (manusia)”, bukan “mukminin (orang-orang yang beriman) atau muslimin (orang-orang muslim)”. Begitu juga seruan nabi Muhammad Saw. dalam haji perpisahan itu, yakni menggunakan redaksi al-nas (manusia). Ini artinya bahwa manusia dengan beragam agama, suku, dan jenis kelaminnya, semuannya sama, memiliki hak dan kewajiban yang sama, wajib dihormati dan menghormati, wajib dilindungi dan melindungi.
Melalui hari raya Idul Adha ini seharusnya umat Islam berkaca pada dua momentum besar sejarah itu, betapa mulianya derajat manusia di sisi Tuhan. Ismail yang awalnya hendak ditumpahkan darahnya diganti dengan binatang, nabi Muhammad Saw. yang dalam hidupnya sering mendapat kecaman dan hinaan tetap saja memperlakukan orang-orang yang berbeda dengannya sebagaimana memperlakukan sahabat-sahabatnya. Ketika para sahabat tidak sabar ingin menumpas orang-orang yang selalu menghalang-halangi nabi Saw. dalam berdakwah dan selalu mencemoohnya, nabi Muhammad Saw. meredakan emosi para sahabatnya dengan menyuruhnya untuk bersabar (Abu Zahrah, vol. II, hal. 515).
Dalam Islam kekerasan adalah perbuatan terkeji. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa akhir-akhir ini terdapat beberapa orang yang menggunakan dalih agama untuk melakukan tindak kekerasan. Amar ma’ruf nahy munkar (memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkaran) atau dalam literatur hukum Islam klasik disebut dengan hisbah adalah slogan yang selalu dijadikan kaki pijak referensial oleh sekelompok orang yang melakukan tindak kekerasan terhadap orang-orang yang menurutnya melakukan kemunkaran.
Melakukan aksi kekerasan dengan dalih mengamalkan slogan amar ma’ruf nahy munkar sesungguhnya tindakan yang salah. Memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkaran tidak boleh menggunakan cara yang menciderai martabat manusia. Di samping itu, ajaran tersebut berkait-kelindan dengan kehidupan politik, bukan keagamaan. Hal ini dapat diketahui melalui sejarahnya yang muncul baru pada abad ke-II H. tepatnya pada masa pemerintahan Abbasiyah. Slogan tersebut dipakai untuk mengontrol pasar, yakni memerintahkan kebaikan kepada para pedagang pasar untuk berlaku jujur dalam jual beli dan mencegah kemunkaran untuk tidak melakukan penipuan (Joseph Schacht, 90-91).
Amar ma’ruf nahy munkar tidak berlaku dalam ranah keyakinan keagamaan seseorang. Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa setiap orang dibebaskan untuk memilih kepercayaannya masing-masing (QS. 2:256). Oleh karena itu penghakiman sesat atau memperlakukan tidak baik kepada orang yang berlainan akidah bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.
Akhirnya, hari raya Idul Adha semoga menjadi akhir dari segala kekerasan atas nama apapun. Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Seorang muslim adalah orang yang orang lain selamat dari lisan dan tangannya.”