“Indonesianizing” Pendidikan Agama Islam

Oleh: Tedi Kholiludin

Tanggal 7-10 Januari, Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang menyelenggarakan Training Pengembangan Pendidikan Agama Islam Berbasis Kearifan Lokal bagi siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Kegiatan ini berusaha membumikan spirit berislam sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan.

(foto: telegraph.co.uk)
(foto: telegraph.co.uk)

Salah satu hal yang kerapkali menggelisahkan dalam domain pendidikan agama adalah model ajaran yang indoktrinatif-eksklusif. Mestinya selain diajarkan soal teologi dasar, anak didik juga perlu dikenalkan dengan kebiasaan-kebiasaan agama lain sehingga memahami perbedaan yang ada.

Secara prinsipil kegelisahan seperti ini memang bukan barang baru. Sejak lama, para pendidik di lingkungan pendidikan mengkhawatirkan berkembangnya sikap eksklusifisme dalam mengajarkan pendidikan agama di lingkungan mereka. Kurikulum pendidikan agama memang sangat membuka ruang ketertutupan sikap itu.

Mulai dari lingkungan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), eksklusifitas memang masih terasa. Dalam pengertian, transfer pengetahuan keagamaan masih berjalan linear. Pengajaran pendidikan agama hanya berjalan satu arah dan belum ada pola penerapan pendidikan keagamaan yang bercorak pluralistik. Pada gilirannya, model seperti ini berimbas pada pola keagamaan sang anak yang juga nir-pluralisme.

Saya mencatat ada dua persoalan pokok dalam pendidikan secara umum wabilkhusus, pendidikan agama. Pertama adalah soal filosofis sistem pengajaran yang masih satu arah. Kedua, langkanya kerangka paradigmatik pendidikan agama yang berlangsung di negara kita.

Problem Filosofis

Terlepas dari masalah yang muncul dalam gejolak dunia pendidikan agama yang sekarang ini muncul, yang sesungguhnya terjadi adalah problem pada sisi pokok (core). Jadi  kalau ada masalah pada soal pendidikan politik, pendidikan ekonomi termasuk pendidikan agama, itu hanyalah cabang dari filosofi pendidikan yang belum berada pada jalurnya. Karenanya, sebelum masuk pada pokok bahasan tentang pendidikan agama, maka filosofi serta makna terdalam dari pendidikan secara umum, mesti direfresh terlebih dahulu.

Baca Juga  Gugur Gunung dan Megengan: Kebudayaan, Pengetahuan dan Simbol

Paulo Freire, bapak pendidik yang cukup disegani itu mengatakan bahwa pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat obyektif dan subyektif, tetapi juga harus kedua-duanya. Kebutuhan obyektif untuk merubah keadaan yang tidak manusiawi selalu memerlukan kemampuan subyektif untuk mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak manusiawi yang terjadi senyatanya, yang obyektif. Kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif, lanjut Freire, adalah suatu fungsi dialektis ajeg (constant) dalam diri manusia dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya.

Problem dalam level ini memang menjadi persoalan mendasar yang tak kalah pelik dalam dunia pendidikan kita. Sistem pendidikan yang berlaku saat ini lebih mengarah ke model pendidikan banking. Anak didik ditempatkan sebagai obyek investasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis lainnya yang lazim dikenal. Dan investornya adalah guru.

Anak didik pun kemudian diposisikan sebagai drum kosong yang siap diisi sebagai modal menanam ilmu pengetahuan yang akan dipetik kelak. Guru dengan demikian menjadi subyek aktif sementara peserta didik adalah obyek pasif. Pendidikan akhirnya bersifat negatif dan anti dialog, karena guru memberi informasi yang harus ditelan mentah-mentah oleh murid, diingat serta dihapalkan. Itu problem dari pojok filosofis.

Pendidikan Nir-Paradigma

Masalah berikutnya di dunia pendidikan adalah soal paradigma. Tepatnya, bingkai yang mampu memberikan  warna bagi pendidikan agama. Tak adanya bingkai itu yang menyebabkan pendidikan agama tidak memiliki kontribusi terhadap kebangsaan. Seperti yang disinggung di awal, pendidikan agama berjalan secara lurus sebagai sebuah entitas yang seperti tak bersinggungan dengan konteksnya.

Saya mencoba mereka-reka model pendidikan agama yang applicable dengan konteks keindonesiaan, meski secara teknis tentu bukan perkara mudah menerapkannya di lapangan. Secara filosofis, pendidikan agama yang diajarkan di pelbagai level pendidikan mestinya harus dibingkai oleh satu semangat yang melandasi kehidupan bersama sebagai sebuah bangsa.

Baca Juga  Penyelesaian Bisnis Prostitusi Tidak Sederhana

Jadi pendidikan agama, haruslah berada dalam bingkai keindonesiaan. Disini, maka pendidikan pancasila haruslah menjadi variable penting lainnya. Pendek kata, pendidikan agama yang diajarkan di lingkungan pendidikan, haruslah berada dalam bingkai pendidikan Pancasila. Ini harus berjalan secara konsisten mulai dari sekolah hingga perguruan tinggi.

Disinilah saya kira pendidikan agama yang inklusif-pluralis bisa diterima. Pendidikan agama yang mengajarkan tentang sistem keyakinan agama yang mendasar, perlu juga dibarengi dengan mengenalkan bahwa agama yang kita peluk itu hanyalah satu dari sekian banyak keyakinan yang ada di Indonesia.

Karena keyakinan yang banyak itu perlu dipahami sebagai satu kesatuan yang integral, maka perlu dikembangkan sikap saling menghormati diantara mereka yang berbeda agama dan keyakinan tersebut. Dengan begitu, maka pendidikan agama yang hadir di lingkungan institusi pendidikan, tentu saja sangat kontributif bagi pengembangan wawasan keindonesiaan yang menjunjung tinggi pluralitas serta heterogenitas.

Saya ingin mencontohkan satu tema tentang pendidikan agama yang dimaksud berada dalam bingkai pancasila tersebut. Dalam Islam, satu kata kunci yang menjadi doktrin pokok dalam teologi dasarnya adalah Tauhid, Monoteisme. Tauhid dijabarkan sebagai sikap untuk mengesakan Tuhan.

Dalam semangat kebangsaan, paradigma seperti ini perlu ditransformasikan (bukan diganti) dalam ranah nyata. Paradigma Tauhid yang ada dalam lingkup keindonesiaan menjadi bermakna kala mampu menjalankan peran sebagai satu konsep integratif dimana kesatuan (tauhid) adalah kata kunci untuk memahami kebangsaan dan keindonesiaan. Ini sekedar contoh saja tentang apa yang dimaksud oleh transformasi pendidikan agama dalam konteks keindonesiaan atau yang saya sebut berada dalam bingkai Pancasila itu.

Kredo yang ada dalam pancasila, jika benar-benar diejawantahkan dalam kehidupan nyata, bisa saja akan berwujud apa yang oleh Al Farabi dikenal dengan al Madinah al-Fadhilah atau Kota Utama. Teori yang diambil dari Plato dengan gagasan “king philosopher” itu memiliki relevansi dengna gagasan “nubuwwah” yang ada pada Islam. Dengan demikian, prinsip yang ada dalam pancasila, dalam batas-batas tertentu tidak jauh berbeda dengan al-Madinah al-Fadhilah. Satu tatanan masyarakat dimana cita kemanusiaan bisa diwujudkan didalamnya.

Baca Juga  Berdalih Minum Miras, JAT Pukuli Slankers Solo

 

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini