[Semarang –elsaonline.com] Seorang pemuka penghayat di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, pernah mencoba peruntungan di kancah politik sebagai calon anggota legistatif. Ada kisah terungkap bagaimana cara perwakilan penghayat itu memunculkan diri di tengah eksistensi di tengah masyarakat beragama, tapi terhalang oleh aturan internal partai. Begini kira-kira kisahnya.
Tanggal 9 April 2014 lalu, Pemilihan Umum Legislatif digelar serentak di seluruh penjuru negeri, tak terkecuali di Jawa Tengah. Di wilayah ini, ada sepuluh Daerah Pemilihan (Dapil) yang terpagi dalam beberapa penjuru. Satu diantara sepuluh dapil itu ada dapil X meliputi wilayah Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Pemalang. Di Kabupaten Pekalongan inilah muncul kisah itu.
Namanya Sri Pamugkas, dia masuk sebagai salah satu caleg dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dari Dapil Pekalongan 3 nomor urut 7 yang bertarung meliputi wilayah Kecamatan Bojong, Kecamatan Kesesi dan Kecamatan Sragi. Hanya dua wakil dari PKB untuk yang berhasil lolos ke gedung berlian diraih Sudirman (2) dan Masbukhin (4).
Meski tidak lolos, ada kesan mendalam bahwa dari Penghayat bisa mendaftar menjadi caleg, meski dengan cara yang tidak jujur. Kepastian demikian, didapat dari Asworo Palguno, tokoh penghayat Jawo Jawoto Kabupaten Pekalongan.
Menurut Palguno, Sri Pamungkas adalah seorang asli penghayat yang mendaftar diri melalui partai politik. Dia tak merinci mengapa pilihan politiknya jatuh ke PKB, tapi hal itulah yang kemudian menghantarkan menjadi salah satu caleg.
“Kemarin pada pileg, ada dari perwakilan penghayat yang hendak mendaftarkan diri sebagai caleg. Dia tahu ketika mendaftar sebagai caleg dari penghayat pasti tidak bisa diterima banyak orang. Akhirnya, dia menyamarkan identitas dirinya, dan mendapat masuk di nomor urut di PKB,” kata Palguno, Jum’at akhir bulan Juni kemarin.
Menurutnya, Pamungkas menginginkan ditaruh di posisi yang memungkinkan dia meraih suara banyak. Dia memilih wilayah perkotaan di kawasan Kajen dan sekitarnya. Menurut Palguno, Pamungkas hendak menggaet dukungan dari kalangan abangan.
Namun, fakta berkata lain. Dikatakannya, pihak internal PKB melakukan evaluasi dan penelusuran terkait asal-usul sang caleg yang diusung. Ditemukanlah bahwa Pamungkas bukan dari golongan Agamis, tapi dari kalangan penghayat.
“Penyamaran dia terbongkar sebelum Pileg. Dia kemudian dipindah jadi nomor urut 7, dari sebelumnya di nomor urut 3,” kata Palguno.
Pamungkas kemudian tidak ditempatkan pada pos yang tidak disukainya, kawasan pedesaan dengan mayoritas beragama Islam kultural. Dia mulai antipati dan sudah berkeyakinan tidak lolos.
‘Dia ditaruh di komunitas yang beragama Islam, bukan tempatnya di kalangan abangan. Dia sendri aslinya berasal dari Dapil yang sebetulnya abangan. Kalau dari kalangan Islamis ya tidak bakalan terpilih. Itulah faktanya,” paparnya.
Ketua Komisi Hukum Himpunan Kepercayaan Jawa Tengah, Tito Hersanto mengungkapkan hal dialami Pamungkas adalah fenomena yang kerap terjadi pada penghayat jika muncul di publik. Meski demikian, dia tak terlalu mempersalahkan dikriminasi yang dilakukan partainya kepada Pamungkas.
“Paling tidak sudah ada yang berani tampil di publik. Dia juga orangnya terbuka kepada siapapun,” paparnya. [elsa-ol/Nurdin-@nazaristik]