[Semarang –elsaonline.com] Munculnya pelbagai konflik, dari sudut pandang komunikasi, menunjukan ada pola komunikasi yang terpolarisasi (polarized communication). Model ini kemudian membentuk hubungan yang diametral sembari mendaku kebenaran absolut. Pandangan “saya” benar dan “kamu” salah.
Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Turnomo Rahardjo, pakar komunikasi sekaligus staf pengajar di Jurusan Komunikasi Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu. Tiadanya interaksi diantara kelompok-kelompok yang berbeda etnis atau budaya juga menjadi sebab munculnya komunikasi yang terpolarisasi tersebut.
Secara umum, kata Turnomo, ada dua model konflik; ekspresif dan instrumental. “Pola ekspresif ditunjukan dengan menunjukkan rasa tidak suka atau permusuhan terhadap mereka yang berbeda,” terang Turnomo. Model konflik ekspresif ini banyak terdapat pada masyarakat kolektivistik. “Kalau instrumental itu berkaitan dengan perbedaan dalam mencapai tujuan,” imbuhnya.
Prasangka terhadap mereka yang berbeda, muncul dalam lima jenis; antilocution, avoidance, discrimination, physical attack dan extermination. “Antilocution itu misalnya tercermin dalam pandangan kalau orang Batak itu keras, Jawa adalah penipu. Sementara extermination itu seperti kasus ethnic cleansing,” Turnomo menjelaskan.
Solusi terhadap konflik ada dua model yang bisa diajukan. Yang pertama adalah model “face-negotiation theory.” Bahasa lebih mudah untuk konsep ini adalah win-win solution. Diambil tanpa harus mempermalukan orang lain.
Sementara solusi kedua adalah dengan cara “mutual-face,” atau membina wajah orang lain. [T-Kh/@tedikholiludin/elsa-ol/001]