Oleh: Tedi Kholiludin
Sejak tahun 2014, tak kurang dari 10 peristiwa bernuansa agama terjadi di Kota Semarang. Peristiwa-peristiwa itu memiliki gradasi yang variatif. Sebagian kecil diantaranya melibatkan jumlah yang sangat besar. Penolakan peringatan Asyuro pada 11 Oktober 2016 salah satunya. Beruntung aparat keamanan sigap mengamankan acara, sehingga tidak terjadi konflik horizontal yang menajam. Lainnya, memang tidak dalam konteks pelibatan yang massif.
Pola yang dikembangkan biasanya dimulai dari protes. Pihak keamanan atau aparat pemerintah kemudian memanggil kelompok-kelompok yang terkait, yang menolak dan ditolak dalam sebuah meja mediasi. Dan kebanyakan, keberhasilan kelompok penekan ada di meja ini. Yang ditolak, biasanya kemudian mengalah atau ter (di) kalahkan lebih tepatnya. Caranya, dengan memindahkan tempat kegiatan yang dianggap sebagai win-win solution. Acara tetap digelar, tapi tidak di tempat yang semula direncanakan panitia.
Lingkaran diatas adalah pola yang berulang dalam setiap kasus penolakan kegiatan-kegiatan bernuansa agama di Kota Semarang (dan mungkin juga terjadi di kota-kota lainnya). Menariknya, argumentasi yang dibangun oleh mereka yang tidak sepakat, bukanlah latar yang bersifat legal. Alasannya selalu diambil dari satu sudut sempit pandangan keagamaan.
Peringatan Asyuro ditolak karena Syiah dianggap sebagai aliran sesat. Alasan sama digunakan untuk penolakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kelompok Ahmadiyyah. Pork Festival juga ditolak karena berseberangan dengan semangat Semarang yang religius. Begitu halnya dengan kegiatan Cap Go Meh yang sedianya akan dilaksanakan di pelataran Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Karena masjid adalah tempat yang sakral, menyediakan ruang untuk kegiatan di luar komunitas Islam dianggap meruntuhkan marwah tempat suci itu.
Ada banyak spekulasi yang dilemparkan untuk menjelaskan tentang keadaan ini. Dalam kasus Cap Go Meh dan Pork Festival, dugaan untuk membangkitkan sentimen anti Tionghoa yang paling sering dilemparkan. Beberapa kalangan juga melihat bahwa ini sangat terkait dengan situasi dan dinamika yang terjadi di Jakarta yang kemudian turut memantik reaksi mereka yang di luar Jakarta, termasuk Semarang. Dan ada juga yang melihat ini sebagai ekses dari dinamika politik global.
Di luar asumsi-asumsi di atas, secara sosio-kultur, ada beberapa situasi yang memang membuat Semarang laiknya cek kosong; siapapun bisa mengisi cek tersebut.
Tuan Rumah Kebudayaan
Tidak ada wilayah atau area yang bebas dari konflik (baik dalam pengertiannya yang paling sederhana, hingga pengerahan pasukan bersenjata). Konflik adalah peristiwa alamiah yang bisa terjadi dimana saja. Perbedaan satu kota dengan lainnya ada pada kualitas pengelolaan dan proses transformasi konflik. Karena jika dikelola, konflik dengan intensitas rendah seperti perbedaan pendapat missal nya, bisa menghasilkan kerja-kerja yang produktif.
Sentimen etnis terakhir yang muncul di Kota Semarang terjadi Bulan November tahun 1980. Itu pun sebagai akibat dari konflik yang terjadi di Surakarta, antara seorang tukang becak yang menabrak seorang keturunan Tionghoa. Isu menjadi liar karena dikabarkan sang tukang becak itu kemudian meninggal. Kemudian terjadilah huru-hara di Surakarta yang kemudian merambah Semarang. Dalam catatan sejarah itulah konflik terakhir yang terjadi di Semarang.
Orang-orang di Semarang, pada dasarnya mereka yang bisa duduk bersanding berdampingan. Beberapa elemen sosial dan kebudayaan ditengara menjadi faktor pendukung mengapa toleransi bisa terjaga. Dari obrolan-obrolan kecil dengan budayawan, sejarawan dan peneliti di Semarang, tiga hal bisa diidentifikasi sebagai faktor pendukung tersebut.
Pertama, karakter Kota Semarang sendiri yang sesungguhnya adalah kota dagang, memberi kontribusi terhadap psikologi masyarakatnya yang kontraktual. Masyarakat kontraktual dalam pengertian ini mewujud dalam sebuah sikap yang egaliter. Tidak ada stratifikasi sosial yang tajam dan mengakibatkan konflik terbuka. Dalam situasi ini, identitas agama menjadi sesuatu yang benar-benar privat.
Kedua, banyak ruang-ruang kultural dimana ada banyak perjumpaan yang relatif tidak memperbesar perbedaan. Jika kita mencermati peringatan dugderan, maka partisipannya tak hanya umat Islam, meski acara itu tinanda dimulainya Bulan Ramadhan. Simbol warak ngendog juga menunjukkan spasialitas yang cair.
Ketiga, di Semarang kita tidak menemukan adanya tuan rumah kebudayaan, house culture. Jika di Jakarta, Betawi adalah sang tuan rumah kebudayaan, dan Sunda adalah tuan rumah kebudayaan masyarakat Bandung, maka di Semarang kita tidak menemukan kelompok masyarakat yang mendaku atau didaku sebagai tuan rumah kebudayaan.
Hemat saya, tiga faktor itulah yang kemudian menjadikan Semarang sebagai tempat dimana perdamaian bisa ditemukan, entah perdamaian negatif (tiadanya konflik) atau perdamaian positif (adanya keterlibatan semua pihak dalam mengupayakan perdamaian).
Namun, fenomena mutakhir menunjukkan bahwa ada tindakan-tindakan intoleran di Semarang. Mulai pudarnya ruang-ruang kultural bisa jadi sebagai salah satu faktornya. Di luar itu, posisi Semarang sebagai ibu kota propinsi, menjadi daya tarik sendiri. “Berpanggung” di Semarang, tentu beda dengan di kota-kota kecil. Sorotan mata akan lebih banyak tertuju kepada mereka yang ada di Kota Semarang.
Dengan posisi seperti itu, maka tidak mengherankan jika magnet Semarang, menarik mereka yang ada di kota atau wilayah satelit seperti Demak, Ungaran, Kendal atau Temanggung. Bahkan dalam kasus penolakan peringatan Asyuro, masa datang dari Magelang, Solo dan lainnnya.
Di luar dua hal (posisi sebagai ibu kota dan kemudian menarik mereka di wilayah satelit) tersebut, tiadanya tuan rumah kebudayaan, juga berpotensi menjadikan Semarang menjadi arena kontestasi budaya. Mereka yang memiliki identitas budaya atau agama, ikut terlibat dalam upaya untuk “berebut” Semarang. Sayangnya, dalam banyak kasus, kontestasi itu kerap dibarengi dengan proses negasi bukan negosiasi. Meniadakan yang lain atau memaksakan satu perspektif untuk melihat keragaman kekayaan budaya dan agama.